Kamis, 25 April 2013

Memaknai Kata “Aktivis”



 Di kalangan mahasiswa, kata “aktivis” merupakan kata yang tidak asing lagi. Kata yang sudah sering kali didengar. Kata yang acap kali disematkan kepada para pelaku lembaga kemahasiswaan. Kata yang entah kenapa begitu diagung-agungkan sebagai posisi terbaik oleh mereka yang (katanya) mengerti betul apa yang disebut “logika organisasi”. Namun demikian, sudahkah kita mengerti sepenuhnya arti kata “aktivis”, baik secara leksikal maupun gramatikal?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “aktivis” berarti:
1.  Orang (terutama anggota organisasi politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita) yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan di organisasinya.
2.    Seseorang yang menggerakkan (demonstrasi dsb).
Dalam acara bedah buku “Api Putih di Kampus Hijau” semalam, saya merasakan seperti ada pengarahan definisi tertentu terkait kata “aktivis”. Aktivis identik dengan mahasiswa yang gemar melakukan pergerakan, terutama gerakan turun di jalan. Baca: demonstrasi. Meski tidak secara gamblang didefinisikan begitu, entah kenapa saya seperti dibelokkan bahwa kata “aktivis” hanya tepat diberikan kepada mereka yang vokal bersuara dengan lisan, mereka yang rajin aksi di jalan, dan mereka yang tidak terlalu peduli soal studi perkuliahan.
Sekali lagi, ini persepsi.
Saya coba membuka ingatan. Hari itu, 08 Mei 2012. Di Kampus UII, ada seminar nasional dengan pembicara Anies Baswedan, Ph.D. Rektor Universitas Paramadina tersebut sempat mengatakan, “Lulus cepat atau lambat adalah pilihan, yang penting kembangkan diri secara optimal. Jangan dengan jadi aktivis, lalu mengorbankan kuliah.” Penggagas Gerakan Indonesia Mengajar tersebut juga menyampaikan, “Bahwa pergerakan mahasiswa harus lebih luas, dalam artian tidak hanya pergerakan, tetapi mahasiswa pun harus profesional di bidangnya.”
Jika melihat kembali pengertian “aktivis” versi KBBI, aktivis jelas bukan mereka saja yang melakukan pergerakan mengawal isu kebangsaan dengan turun ke jalan. Mereka yang turun ke jalan memang aktivis, tapi makna aktivis tidak sampai di situ. “Orang yang bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan di organisasinya,” demikian bunyi KBBI terkait pengertian “aktivis”. Jadi, aktivis identik dengan mereka yang berperan sebagai pendorong.
Maka, ketika seorang teman bertanya, “Menurutmu, aktivis itu apa?”, saya mau tak mau berusaha mendefinisikan ulang agar jawaban yang keluar dari mulut saya sudah melalui berbagai pertimbangan dan beragam perspektif. Ketika kita rajin ikut lomba karya tulis dan mengharumkan nama kampus, itu aktivis. Ketika kita mencoba menghidupkan aktivitas mahasiswa di lingkup jurusan, itu aktivis. Ketika kita selalu ada di barisan depan dengan prinsip mandiri (tanpa disetir) untuk membawa nama kampus, itu aktivis. Ketika kita bekerja sambil kuliah, itu pun aktivis.
Singkatnya, kata “aktivis” versi saya adalah “mereka yang tidak hanya duduk manis di bangku kuliah sembari sibuk tenggelam dalam sekian deret teori, tugas, dan laporan praktikum, tapi mereka juga mampu memosisikan diri sebagai orang yang bergerak secara positif sehingga bermanfaat bagi lingkungannya.” Zaman senantiasa berubah, jika dulu aktivis identik dengan gerakan turun ke jalan, kini aktivis dapat dimaknai dengan beragam perspektif. Jika dulu musuh kita adalah “penjajahan” yang wujudnya nyata, kini musuh kita lebih pada paham-paham yang bentuknya abstrak.
Tak kalah penting, aktivis harus seimbang antara studi dan gerakan. Karena sekali lagi, kita adalah mahasiswa. Dan mengenai pengertian “seimbang” ini, saya kembalikan ke teman-teman semua. Sekian.

Rabu, 17 April 2013

Amien Rais: “Bisa Jadi Itu Titipan Asing”



 Rabu, 17 April 2013
“Di mana pun negara berkembang, IMF punya rumus, ‘If you want to cope with poverty, follow us’,” kata Prof. Dr. Amien Rais, MA. selaku pemateri keempat pada PSL hari itu. PSL seri terakhir diselenggarakan sekitar pukul 13.30 WIB dan masih di tempat sama yakni di Auditorium Kahar Muzakkir, Universitas Islam Indonesia (UII). Dengan dimoderatori oleh Prof. Jawahir Thantowi, Ph.D. (Guru Besar Fakultas Hukum UII), Amien membahas topik “Kontrak Karya Pro Asing: Indonesia Miskin di Ladang Emas.”
Foto: Dokumentasi Website UII
Tokoh Reformasi 1998 tersebut lebih dulu mengingatkan Pasal 33 UUD 1945 Ayat 4 yang berbunyi, “Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Setelah meminta maaf (jika terkesan menyalahkan), Amien menyinggung para tokoh bangsa yang sejak 40 tahun yang lalu mengerjakan apa yang tidak tertulis dalam pasal yang dimaksud. Atau dengan kata lain, pemimpin bangsa Indonesia sudah lama jatuh dalam bayang-bayang International Monetary Fund (IMF) dan World Bank (WB).
“Anjurannya antara lain privatisasi BUMN (Badan Usaha Milik Negara-red) dan deregulasi peraturan pemerintah sehingga campur tangan pemerintah sekecil mungkin” jelas Amien. Selain itu, lembaga-lembaga dunia tadi juga melakukan pemotongan belanja sosial (social suspending) dan penekanan upah buruh sehingga perekonomian nasional makin jauh dari kesan demokrasi ekonomi. “Kapitalis liberal menjadi sosialis liberal,” demikian Amien mengistilahkannya.
Setidaknya ada 3 tahap yang dilakukan oleh Barat untuk mencengkeram dunia, yaitu tahap persuasif melalui IMF dan WB yang menawarkan pinjaman modal, utang, dan sebagainya. Lalu, tahap menekan dengan mengancam negara yang dimaksud akan dikucilkan di pasar bebas (dunia) jika tidak mau diajak secara persuasif. Kemudian yang terakhir, tahap militer dengan perang.
Amien Rais membahas apa yang disebut “corporatocracy” dimana pemerintah, media massa, militer, dan intelektual, membentuk lingkaran yang berpengaruh pada perekonomian suatu negara. “Freeport tidak sekuat itu kalau tanpa kekuatan politik White House,” terang Amien. Begitu juga dengan kekuatan militer dan media massa. Bahkan, media massa saat ini cenderung sebagai watch dog dan guard dog. “Akhirnya duduk manis di pangkuan, seperti anjing sirkus,” Amien beranalogi. Media massa telah disetir oleh pihak-pihak di belakang yang memiliki kepentingan tertentu.
Corporatocracy di negara ini tidak mungkin masuk kalau elitenya tidak membuka pintu lebar-lebar,” lanjut Amien. Negara seperti kembali ke zaman VOC dimana yang dibela bukan kepentingan rakyat, melainkan kepentingan kompeni. “Kita termasuk tidak punya daya tahan dengan korporasi asing,” sesal Amien. Maka, Amien memberi istilah “negara komprador”, yaitu negara bagian dari korporasi asing yang mengusung komoditi luar. Campur tangan asing ini bahkan sudah sampai ke lingkup eksekutif, yudikatif, dan legislatif (undang-undang/UU). Contoh campur tangan asing dalam UU antara lain, migas (WB), BUMN (PWC), dan kelistrikan (ADB). UU sengaja diatur sehingga korporasi asing dapat berlangsung dalam jangka panjang. Amien juga mencontohkan salah satu peraturan presiden (perpres) yang salah satu halamannya ditulis dalam Bahasa Inggris, “Bisa jadi itu titipan asing, halaman itu dibuat oleh asing dan kita lupa menerjemahkannya ke dalam Bahasa Indonesia.”
Dalam mengadakan kontrak dengan pihak asing, dikenal 2 macam istilah kontrak. Pertama, Kontrak Karya, biasanya berhubungan dengan perusahaan mineral dan batu bara (minerba) dimana pihak asing datang dan sebatas mengatur sistem. Kedua, Kontrak Kerja Sama, biasanya berhubungan dengan perusahaan minyak dan gas (migas) dimana pihak asing datang dan turun langsung sebagai operator sistem. “Begitu jelas ketidakadilan, tapi kita tidak bisa apa-apa,” tutur Amien.
Tambang emas Freeport di Papua adalah contoh nyata. Sedikitnya, 10.000 Triliun sudah dibawa ke Amerika! Uang yang begitu bermanfaat jika dibagi-bagikan kepada rakyat! Amien pernah mencoba melihat perjanjian atau isi kontrak Freeport kepada DPR, namun DPR mengatakan bahwa kontrak tersebut tidak boleh dilihat oleh siapapun. “Tidak bisa gundulmu!” sesal Amien. Ketika datang ke lokasi pun, hanya boleh sampai di pintu masuk, tidak diperkenankan melihat ke dalam sehingga gambar-gambar di sana diperoleh dari foto satelit. Tampak lubang yang menganga begitu besar, “bagi hasil” yang sesungguhnya disisakan Freeport untuk Indonesia! “Even we, American citizens, are prohibited to enter,” demikian Amien menirukan perkataan jurnalis Amerika yang juga tidak boleh masuk ke Freeport.
And now, what is to be done?
“Ubah mental inlander dan hilangkan ketergantungan asing dengan mengakhiri dominasi IMF,” jawab Amien. Bolivia adalah contoh negara yang sudah melakukannya dimana pemimpinnya begitu berani menentang dominasi asing. Menyambut Pemilu 2014, Amien menyarankan karakter pemimpin yang berani, “Masing-masing capres jangan omdo (omong doang-red), tapi buatlah blue print ekonomi yang pro rakyat.”

Rabu, 10 April 2013

Anies Baswedan: “Mari Nyalakan Cahaya”



Rabu, 10 April 2013
“Menanam bibit itu pekerjaan besar, tapi membesarkan bibit itu tidak mudah,” kata Anies Baswedan, Ph.D. selaku pemateri kedua pada PSL hari itu. PSL kembali diselenggarakan pada pukul 13.00 WIB, bertempat di Auditorium Kahar Muzakkir, Universitas Islam Indonesia (UII). Dengan dimoderatori oleh Nandang Sutrisno, SH, LLM, M.Hum., Ph.D. (Wakil Rektor I UII), Anies membahas topik “Lewat Pendidikan Mari Kita Selamatkan Bangsa”. Rektor Universitas Paramadina tersebut kemudian menambahkan, “Dan Kita Menangkan Masa Depan.”
Foto: Dokumentasi Website UII
Berdasarkan data Global Growth Generator yang diperoleh dari sejumlah sumber, Anies memaparkan bahwa pada tahun 2030, Indonesia akan menjadi negara dengan urutan ketujuh yang menguasai perekonomian dunia. Selanjutnya pada tahun 2050, Indonesia diprediksi akan berada di urutan keempat setelah China, India, dan United States of America (USA). “Artinya apa? Dunia menengok kita dengan pandangan yang positif. Indonesia harus bisa diperhitungkan di level dunia dengan kualitas manusia yang baik,” lanjut Anies. Dengan demikian, pendidikan tidak hanya menyelamatkan bangsa, tetapi juga memenangkan Indonesia di tataran dunia. “Tidak hanya domestik internal,” begitu Anies mengistilahkannya.
Pada tahun 1700-an, bentangan kekuatan ekonomi dunia berada di antara Maroko dan Maluku. Asia menjadi penguasa ekonomi dunia kala itu. Hingga akhirnya meletus Revolusi Industri, perekonomian dunia perlahan dikuasai oleh Eropa, lalu Amerika. Dengan prediksi tahun 2030 dan 2050 tadi, Anies berpendapat, “Asia is re-imerging.” Karena sejarah yang berulang, Asia akan kembali menguasai perekonomian dunia. Penggagas Gerakan Indonesia Mengajar ini lalu mengungkap, “Pertanyaan berikutnya, ‘Asia yang mana’?”
Jika melihat Asia Barat, ada China, India, Pakistan, dan Bangladesh. Jika melihat Asia Timur, ada Jepang, Korea Selatan, dan Korea Utara. Apakah mereka terlihat dapat menyatu satu sama lain? Tidak juga, bahkan bisa kita lihat sekarang, Korea Utara dan Korea Selatan terancam perang! Maka, kita beralih ke Asia Tenggara, ada Indonesia, Malaysia, dan Thailand. Apakah mereka juga dapat menyatu? Terkadang, sesekali bergesekan kecil… Dan itulah, kekuatan ekonomi yang tengah dilirik dunia saat ini. “Anda semua harus bersiap memasuki era itu,” pesan Anies.
Berbicara Indonesia, mengapa dunia memperhitungkan Indonesia. “Because of big and young, but uneducated and unprepared,” sahut Anies. Data menunjukkan bahwa dari 165.491 orang yang duduk di SD, hanya 43.888 orang yang meneruskan ke SMP, hanya 25.332 orang yang meneruskan ke SMA/SMK, dan hanya 3.585 orang yang meneruskan ke bangku universitas (negeri dan swasta). Atau dengan kata lain, dari 100%, hanya 2% saja yang sampai ke bangku kuliah! “Anda harus bersyukur untuk itu,” nasihat Anies.
Negara yang menghargai pendidikan adalah negara yang menghargai masa depan. Dan salah satu aspek pendidikan yang penting saat ini adalah integritas, integritas bisa didapat melalui leadership. Indeks Prestasi (IP) yang baik itu penting, namun Anies mengingatkan bahwa IP hanya kunci untuk membuka pintu, setelah pintu itu terbuka, akan melaju ke mana tergantung dari karakter yang dibentuk oleh leadership. Persoalan integritas ini dicontohkan Anies dengan fenomena korupsi di berbagai lini kehidupan bangsa Indonesia. “Orang yang bisa dirupiahkan berarti tidak punya harga diri. Jangan harap bisa masuk dunia dengan cacat integritas. Orang yang dipanggil KPK, fotonya bisa dilihat sampai anak cucu, apa tidak malu,” sambung Ketua Komite Etik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini.
Kembali ke pendidikan, pendidikan tidak sekadar untuk kesejahteraan diri dan keluarga saja, tetapi melampaui itu. Masalah pendidikan saat ini hanya berkonsentrasi di permasalahan guru, seperti kualitas diri yang rendah, distribusi yang tidak merata, dan gaji yang rendah. “Pendidikan tidak hanya dijadikan persoalan oleh masyarakat yang secara konstitusional bertanggung jawab. Berhenti melihat pendidikan sebagai masalah pemerintah, berhenti mengecam kegelapan, mari nyalakan cahaya,” ajak Anies, “Yang absen hari ini bukan materi knowledge, tapi guru yang menginspirasi. Kita kekurangan guru yang mampu thinking outside the box.” Pendidikan adalah sebagai gerakan, bukan program semata.