Di kalangan mahasiswa, kata “aktivis” merupakan kata
yang tidak asing lagi. Kata yang sudah sering kali didengar. Kata yang acap
kali disematkan kepada para pelaku lembaga kemahasiswaan. Kata yang entah
kenapa begitu diagung-agungkan sebagai posisi terbaik oleh mereka yang
(katanya) mengerti betul apa yang disebut “logika organisasi”. Namun demikian,
sudahkah kita mengerti sepenuhnya arti kata “aktivis”, baik secara leksikal
maupun gramatikal?
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata “aktivis”
berarti:
1. Orang (terutama anggota
organisasi politik, sosial, buruh, petani, pemuda, mahasiswa, wanita) yang
bekerja aktif mendorong pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan di
organisasinya.
2. Seseorang yang menggerakkan
(demonstrasi dsb).
Dalam acara bedah buku “Api Putih di Kampus Hijau”
semalam, saya merasakan seperti ada pengarahan definisi tertentu terkait kata “aktivis”.
Aktivis identik dengan mahasiswa yang gemar melakukan pergerakan, terutama
gerakan turun di jalan. Baca: demonstrasi. Meski tidak secara gamblang didefinisikan
begitu, entah kenapa saya seperti dibelokkan bahwa kata “aktivis” hanya tepat
diberikan kepada mereka yang vokal bersuara dengan lisan, mereka yang rajin
aksi di jalan, dan mereka yang tidak terlalu peduli soal studi perkuliahan.
Sekali lagi, ini persepsi.
Saya coba membuka ingatan. Hari itu, 08 Mei 2012. Di
Kampus UII, ada seminar nasional dengan pembicara Anies Baswedan, Ph.D. Rektor
Universitas Paramadina tersebut sempat mengatakan, “Lulus cepat atau lambat
adalah pilihan, yang penting kembangkan diri secara optimal. Jangan dengan jadi
aktivis, lalu mengorbankan kuliah.” Penggagas Gerakan Indonesia Mengajar
tersebut juga menyampaikan, “Bahwa pergerakan mahasiswa harus lebih luas, dalam
artian tidak hanya pergerakan, tetapi mahasiswa pun harus profesional di
bidangnya.”
Jika melihat kembali pengertian “aktivis” versi
KBBI, aktivis jelas bukan mereka saja yang melakukan pergerakan mengawal isu
kebangsaan dengan turun ke jalan. Mereka yang turun ke jalan memang aktivis,
tapi makna aktivis tidak sampai di situ. “Orang yang bekerja aktif mendorong
pelaksanaan sesuatu atau berbagai kegiatan di organisasinya,” demikian bunyi
KBBI terkait pengertian “aktivis”. Jadi, aktivis identik dengan mereka yang
berperan sebagai pendorong.
Maka, ketika seorang teman bertanya, “Menurutmu,
aktivis itu apa?”, saya mau tak mau berusaha mendefinisikan ulang agar jawaban
yang keluar dari mulut saya sudah melalui berbagai pertimbangan dan beragam
perspektif. Ketika kita rajin ikut lomba karya tulis dan mengharumkan nama
kampus, itu aktivis. Ketika kita mencoba menghidupkan aktivitas mahasiswa di
lingkup jurusan, itu aktivis. Ketika kita selalu ada di barisan depan dengan
prinsip mandiri (tanpa disetir) untuk membawa nama kampus, itu aktivis. Ketika kita
bekerja sambil kuliah, itu pun aktivis.
Singkatnya, kata “aktivis” versi saya adalah “mereka
yang tidak hanya duduk manis di bangku kuliah sembari sibuk tenggelam dalam
sekian deret teori, tugas, dan laporan praktikum, tapi mereka juga mampu
memosisikan diri sebagai orang yang bergerak secara positif sehingga bermanfaat
bagi lingkungannya.” Zaman senantiasa berubah, jika dulu aktivis identik dengan
gerakan turun ke jalan, kini aktivis dapat dimaknai dengan beragam perspektif. Jika
dulu musuh kita adalah “penjajahan” yang wujudnya nyata, kini musuh kita lebih
pada paham-paham yang bentuknya abstrak.
Tak kalah penting, aktivis harus seimbang antara
studi dan gerakan. Karena sekali lagi, kita adalah mahasiswa. Dan mengenai
pengertian “seimbang” ini, saya kembalikan ke teman-teman semua. Sekian.