Pernah kubaca kalimat itu sebelumnya, dalam bahasa tulis, tertempel di salah satu dinding ruangan Gedung UII Cik Di Tiro. Lalu kudapati kembali di sana, dalam bahasa lisan, di Pondok Zoutmulder, Omah Petroek: verba volant, scripta manent.
* * *
Semua berawal dari waroeng kopi "S" di dekat Jembatan Kleringan, Kota Jogja. Malam itu, kami berdua – saya dan seorang teman – sedang menyebarkan poster kegiatan lembaga mahasiswa. Pikiran saya sampai ke situ karena dulu bersama beberapa kawan pernah menghabiskan malam di sana. Setelah mendapatkan izin, kami menuju papan pengumuman. Sebelum menempel poster, anak mata saya menangkap poster lain yang sejurus kemudian kata-katanya menari dalam benak saya.
Menggoda jari jemari saya untuk segera menari pula.
|
Poster yang di waroeng kopi "S" |
Ada tiga nama media di bagian bawah poster itu yang sudah berhasil menggoda saya: Kompas, Basis, dan Suara Muhammadiyah. Tepat tanggal 09 Maret 2012, sebelum shalat Jum’at, di gazebo Perpustakaan Kota Jogja saya selesaikan resensi itu. Sebuah buku karangan salah seorang jurnalis negeri ini. Dan.., klik! Tulisan yang menjadi persyaratan itu terkirim juga. Tinggallah saya menunggu hari pengumuman tiba.Singkat cerita, saya lulus seleksi dan berhak mengikuti pelatihan. Hal lain yang lebih membuat senang adalah ada dua teman yang juga lulus seleksi. Kami bertiga; dua orang ikut pada gelombang pertama yang berjumlah 37 peserta dan satu lagi di gelombang kedua bersama 35 lainnya seminggu berselang. Saya kebagian yang gelombang pertama pada tanggal 23-25 Maret 2012. Alhamdulillaah…
Omah Petroek, Karang Klethak, Hargobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta. Kami berdua mula-mula kesasar mencari alamat tersebut. Tersesat sampai Pos Masuk Kaliurang jika melewati jalan arah Museum Gunung Merapi. Saya hitung sore itu ada empat kali kami bertanya kepada orang-orang sekitar. Dengan setengah ragu, akhirnya sepeda motor kami masuk ke jalan kecil yang terletak di antara pepohonan kelengkeng. Setengah ragu karena jalan itu sama sekali tidak menandakan ada sebuah pondokan di ujungnya.
“Hah, ini..?” tanya kami sangsi begitu melihat sebuah rumah kecil di antara pepohonan. Kesan pertama: horor. Namun, kesan itu perlahan terkikis ketika kami saksikan bangunan di belakangnya. Ada sebuah pendapa besar dengan dua arca di depannya yang bernama Pondok Zoutmulder. Setelah registrasi, kami dipersilakan menaruh barang di kamar. Dan kamar itulah yang secara total menghapus rasa sangsi kami tadi, mengubahnya menjadi decak kagum.
Empat pondok seperti rumah panggung, itulah yang disebut kamar. Pondok-pondok yang makin semarak dengan rindangnya pepohonan bambu. Masing-masing pondok sudah tertera nama penghuninya, nama para peserta pelatihan. Dua pondok untuk peserta putra dan dua pondok untuk peserta putri. Ada kran air di depan setiap pondok. Di sekitar pondok juga terdapat sebuah surau dan beberapa pendapa kecil. Dari salah satu pendapa itu, tampak bahwa Omah Petroek terletak bersebelahan dengan Kali Boyong yang masih diselimuti material pasir dan bebatuan sisa lahar dingin Merapi.
Saya habiskan sekitar 46 jam waktu yang dianugerahkan Tuhan di Omah Petroek. Mengisinya dengan belajar dan berlatih menulis bersama dengan teman-teman dari beragam latar belakang (baca: perguruan tinggi). Ada yang dari UGM, UCY, UNY, UPY, UTY, Atma Jaya, Sanata Dharma, UIN Suka, UAD, ISI, dan kami berdua mewakili UII. Banyak dari mereka yang mengambil jurusan noneksakta, seperti Sejarah, Sastra, Sosiologi, dan lain sebagainya, tapi itu bukan masalah bagi beberapa dari kami yang mengambil prodi eksakta.
|
Stempel name tag kami saat di lapangan |
Berpikir Kritis menjadi materi pembuka pada malam hari, saya tahu betul materi itu di Himmah lebih dikenal dengan “ansos” atau Analisis Sosial. Esok harinya, setelah jalan pagi, secara sambung-menyambung kami diajarkan bagaimana menulis Berita, Opini, dan Resensi. Kami juga dikenalkan dengan Kompas Kampus dan Kompas Muda. Malam harinya sebagai materi penutup, yaitu cara menulis Feature. Semua materi disampaikan oleh mereka yang sangat kompeten di bidangnya, ahli-ahli dari Kompas, Basis, dan Suara Muhammadiyah, beliau-beliau yang sering menulis di media massa.
Selesai itu, kami melakukan permainan di sekeliling api unggun. Ada permainan menghafal nama, mengurutkan dengan barisan, rujakan, sampai menyanyikan lagu yang syair-syairnya dihilangkan. Tidak usah pusing bagaimana mainnya, yang penting celetukan-celetukan yang muncul selalu saja bisa membuat kami tertawa, sama seperti ketika outbond Himmah di Banyu Sumilir beberapa pekan lalu. Pada akhirnya, sama pula dengan outbond Himmah yang dihubungkaitkan dengan tugas-tugas jurnalistik, setiap permainan tersebut dihubungkaitkan dengan dunia tulis-menulis. Bahwa menulis itu perlu mengenal apa yang akan ditulis, menulis itu membantu melatih berpikir runut, menulis itu harus rela berisiko selalu teringat yang belum ditulis, serta menulis itu butuh perbendaharaan kata dan fokus kecermatan.
Hari terakhir pun tiba. Setelah seharian sebelumnya kami dibekali sejumlah materi di Pondok Zoutmulder, hari Minggu itu kami isi dengan praktik lapangan. Kami mencari data-data di lapangan untuk selanjutnya diolah menjadi sebuah tulisan. Hmm.., saya seperti mengikuti IHT (In House Training) Himmah Jilid II saja, hehe.. Di akhir kegiatan, kami ber-31 (tidak semua datang 37) membentuk forum untuk membahas agenda kami pascapelatihan: meneruskan shillaturrahim ini melalui social media dan mengadakan pertemuan berkala.
Dalam perjalanan pulang, kembali saya berucap syukur. Teringat beberapa tahun lalu saat sebuah organisasi kepenulisan yang cukup ternama, yang terdiri dari orang-orang PTN, menolak saya. Ah.., Tuhan baik sekali, Ia menggantinya dengan yang lain.. Di samping itu, saya pun beroleh pelajaran bahwa menjadi manusia itu jangan cepat puas. Sekali diterima jangan lantas berbangga diri. Menjadi manusia itu pun jangan mudah putus asa. Sekali ditolak jangan lantas berhenti diri. Proses akan terus berlangsung dan jalan menuju puncak itu tidak seketika. Dan yang terpenting, “Yang terucap akan berlalu bersama angin, yang tertulis akan tetap abadi.”
NB. Ternyata, minimal 800 kata itu kurang lebih sepanjang ini, huft..