Jumat, 30 Maret 2012

Karena Ragu

 
Asap hitam membumbung tinggi
Pecahan kaca berserakan
Batu dan bom berlemparan
Baku hantam kian tak terelakkan

Ada toko yang dirusak
Ada pom bensin yang diambil alih
Ada jalan tol yang diblokade
Ada bandara yang landasan pacunya diduduki

Dan aku tak tahu
Mana yang benar, mana yang salah
Sebab semua berawal
Dari sosok besar yang peragu


Hall FTI, 14.41 WIB

Minggu, 25 Maret 2012

46 Jam di Omah Petroek



Pernah kubaca kalimat itu sebelumnya, dalam bahasa tulis, tertempel di salah satu dinding ruangan Gedung UII Cik Di Tiro. Lalu kudapati kembali di sana, dalam bahasa lisan, di Pondok Zoutmulder, Omah Petroek: verba volant, scripta manent.
* * *

Semua berawal dari waroeng kopi "S" di dekat Jembatan Kleringan, Kota Jogja. Malam itu, kami berdua – saya dan seorang teman – sedang menyebarkan poster kegiatan lembaga mahasiswa. Pikiran saya sampai ke situ karena dulu bersama beberapa kawan pernah menghabiskan malam di sana. Setelah mendapatkan izin, kami menuju papan pengumuman. Sebelum menempel poster, anak mata saya menangkap poster lain yang sejurus kemudian kata-katanya menari dalam benak saya.
Menggoda jari jemari saya untuk segera menari pula.
Poster yang di waroeng kopi "S"
Ada tiga nama media di bagian bawah poster itu yang sudah berhasil menggoda saya: Kompas, Basis, dan Suara Muhammadiyah. Tepat tanggal 09 Maret 2012, sebelum shalat Jum’at, di gazebo Perpustakaan Kota Jogja saya selesaikan resensi itu. Sebuah buku karangan salah seorang jurnalis negeri ini. Dan.., klik! Tulisan yang menjadi persyaratan itu terkirim juga. Tinggallah saya menunggu hari pengumuman tiba.
Singkat cerita, saya lulus seleksi dan berhak mengikuti pelatihan. Hal lain yang lebih membuat senang adalah ada dua teman yang juga lulus seleksi. Kami bertiga; dua orang ikut pada gelombang pertama yang berjumlah 37 peserta dan satu lagi di gelombang kedua bersama 35 lainnya seminggu berselang. Saya kebagian yang gelombang pertama pada tanggal 23-25 Maret 2012. Alhamdulillaah
Omah Petroek, Karang Klethak, Hargobinangun, Pakem, Sleman, Yogyakarta. Kami berdua mula-mula kesasar mencari alamat tersebut. Tersesat sampai Pos Masuk Kaliurang jika melewati jalan arah Museum Gunung Merapi. Saya hitung sore itu ada empat kali kami bertanya kepada orang-orang sekitar. Dengan setengah ragu, akhirnya sepeda motor kami masuk ke jalan kecil yang terletak di antara pepohonan kelengkeng. Setengah ragu karena jalan itu sama sekali tidak menandakan ada sebuah pondokan di ujungnya.
“Hah, ini..?” tanya kami sangsi begitu melihat sebuah rumah kecil di antara pepohonan. Kesan pertama: horor. Namun, kesan itu perlahan terkikis ketika kami saksikan bangunan di belakangnya. Ada sebuah pendapa besar dengan dua arca di depannya yang bernama Pondok Zoutmulder. Setelah registrasi, kami dipersilakan menaruh barang di kamar. Dan kamar itulah yang secara total menghapus rasa sangsi kami tadi, mengubahnya menjadi decak kagum.
Empat pondok seperti rumah panggung, itulah yang disebut kamar. Pondok-pondok yang makin semarak dengan rindangnya pepohonan bambu. Masing-masing pondok sudah tertera nama penghuninya, nama para peserta pelatihan. Dua pondok untuk peserta putra dan dua pondok untuk peserta putri. Ada kran air di depan setiap pondok. Di sekitar pondok juga terdapat sebuah surau dan beberapa pendapa kecil. Dari salah satu pendapa itu, tampak bahwa Omah Petroek terletak bersebelahan dengan Kali Boyong yang masih diselimuti material pasir dan bebatuan sisa lahar dingin Merapi.
Saya habiskan sekitar 46 jam waktu yang dianugerahkan Tuhan di Omah Petroek. Mengisinya dengan belajar dan berlatih menulis bersama dengan teman-teman dari beragam latar belakang (baca: perguruan tinggi). Ada yang dari UGM, UCY, UNY, UPY, UTY, Atma Jaya, Sanata Dharma, UIN Suka, UAD, ISI, dan kami berdua mewakili UII. Banyak dari mereka yang mengambil jurusan noneksakta, seperti Sejarah, Sastra, Sosiologi, dan lain sebagainya, tapi itu bukan masalah bagi beberapa dari kami yang mengambil prodi eksakta.
Stempel name tag kami saat di lapangan
Berpikir Kritis menjadi materi pembuka pada malam hari, saya tahu betul materi itu di Himmah lebih dikenal dengan “ansos” atau Analisis Sosial. Esok harinya, setelah jalan pagi, secara sambung-menyambung kami diajarkan bagaimana menulis Berita, Opini, dan Resensi. Kami juga dikenalkan dengan Kompas Kampus dan Kompas Muda. Malam harinya sebagai materi penutup, yaitu cara menulis Feature. Semua materi disampaikan oleh mereka yang sangat kompeten di bidangnya, ahli-ahli dari Kompas, Basis, dan Suara Muhammadiyah, beliau-beliau yang sering menulis di media massa.
Selesai itu, kami melakukan permainan di sekeliling api unggun. Ada permainan menghafal nama, mengurutkan dengan barisan, rujakan, sampai menyanyikan lagu yang syair-syairnya dihilangkan. Tidak usah pusing bagaimana mainnya, yang penting celetukan-celetukan yang muncul selalu saja bisa membuat kami tertawa, sama seperti ketika outbond Himmah di Banyu Sumilir beberapa pekan lalu. Pada akhirnya, sama pula dengan outbond Himmah yang dihubungkaitkan dengan tugas-tugas jurnalistik, setiap permainan tersebut dihubungkaitkan dengan dunia tulis-menulis. Bahwa menulis itu perlu mengenal apa yang akan ditulis, menulis itu membantu melatih berpikir runut, menulis itu harus rela berisiko selalu teringat yang belum ditulis, serta menulis itu butuh perbendaharaan kata dan fokus kecermatan.
Hari terakhir pun tiba. Setelah seharian sebelumnya kami dibekali sejumlah materi di Pondok Zoutmulder, hari Minggu itu kami isi dengan praktik lapangan. Kami mencari data-data di lapangan untuk selanjutnya diolah menjadi sebuah tulisan. Hmm.., saya seperti mengikuti IHT (In House Training) Himmah Jilid II saja, hehe.. Di akhir kegiatan, kami ber-31 (tidak semua datang 37) membentuk forum untuk membahas agenda kami pascapelatihan: meneruskan shillaturrahim ini melalui social media dan mengadakan pertemuan berkala.
Dalam perjalanan pulang, kembali saya berucap syukur. Teringat beberapa tahun lalu saat sebuah organisasi kepenulisan yang cukup ternama, yang terdiri dari orang-orang PTN, menolak saya. Ah.., Tuhan baik sekali, Ia menggantinya dengan yang lain.. Di samping itu, saya pun beroleh pelajaran bahwa menjadi manusia itu jangan cepat puas. Sekali diterima jangan lantas berbangga diri. Menjadi manusia itu pun jangan mudah putus asa. Sekali ditolak jangan lantas berhenti diri. Proses akan terus berlangsung dan jalan menuju puncak itu tidak seketika. Dan yang terpenting, “Yang terucap akan berlalu bersama angin, yang tertulis akan tetap abadi.”


NB. Ternyata, minimal 800 kata itu kurang lebih sepanjang ini, huft..

Kamis, 22 Maret 2012

Di Suatu Sudut


Di suatu sudut
Pada jendela-jendela hitam yang mematut
Pada tanya-tanya tanpa runut
Ah, tiba-tiba membuatku menciut

“Sudah kubilang,
hentikan pengembaraan itu
hentikan jari-jarimu…”

Lalu di sini sebuah raga termangu
Sebuah fikir terpaku
Pada lidah yang kelu
Pada tanya-tanya tanpa jemu
Yang tiba-tiba menggiringku pada sendu

“Mungkinkah perjalanan ini bermuara pada husnul khatimah,
sama seperti mereka lakukan…”

Dan lagi-lagi hanya terjawab sepi!

Rabu, 07 Maret 2012

Paduan Mesra Si Jamur Tiram



Nuansa alami kemasan Sotoji
    Dalam ilmu kewirausahaan, ciri utama seorang entrepreneur adalah kreatif, inovatif, dan kompetitif, dalam menghadapi dinamika kehidupan. Kreatif dalam menemukan gagasan baru, inovatif dalam mengolah gagasan itu menjadi suatu hal baik yang dikenal luas, serta kompetitif dalam mendapatkan peluang sukses. Tiga kata kunci itulah yang diajarkan dosen saya di kelas para mahasiswa teknik. Dan tiga kata itu jugalah yang seketika melintas ketika mencoba Sotoji.
Apa itu Sotoji?
Sotoji merupakan akronim akrab dari soto jamur instan. Mungkin selama ini, masyarakat kita hanya mengenal makanan instan berupa mi, baik itu mi instan dalam kemasan plastik maupun dalam kemasan gelas. Selain itu, lidah masyarakat Indonesia tentu sudah tidak asing lagi dengan yang namanya soto, hanya saja mungkin yang mereka tahu soto itu dipadu dengan daging, entah itu daging ayam ataupun daging sapi.
Sotoji hadir sebagai wujud kreativitas dan inovasi dalam “industri” kuliner nusantara. Kreatif dalam menjadikan soto sebagai alternatif produk makanan instan yang memberikan suatu bentuk kepraktisan. Inovatif dalam mengolah soto itu menjadi makanan yang baik dalam artian memiliki nilai gizi yang cukup. Soto jamur lezat tinggi kandungan serat dan protein nabati, demikian kiranya jargon yang tertera di bagian atas kemasan hijau Sotoji.
Cara memasak Sotoji sangat mudah. Hal ini bisa dilihat di balik kemasannya yang menampilkan bagaimana cara kita “menyulap” Sotoji menjadi makanan lezat yang siap santap. Sotoji sangat pas untuk anak kos atau orang kantoran, yang senantiasa ingin simpel dalam hal makanan terutama sarapan pagi. Sotoji juga cocok dimasak para ibu sebagai menu simpel nan hangat pencipta keakraban tatkala hujan menahan anggota keluarga tercinta untuk berdiam diri di rumah. Simpel, namun tetap kaya gizi dan menyehatkan. Hal ini juga bisa dilihat di balik kemasannya yang menampilkan komposisi dan informasi nilai gizi per takaran saji 1 bungkus dengan berat bersihnya 70 gram.
Standardisasi lain yang terdapat pada Sotoji, yaitu izin Depkes RI, stempel halal dari MUI, dan gambar gelas-garpu serta segitiga daur ulang di samping barcode putihnya. Tak lupa pula, produk PT. Tri Rastra Sukses Sejahtera yang berlokasi di Bogor – Indonesia ini juga menyertakan kontak pelayanan konsumen dan data akurasi produk (informasi kadaluarsa). Artinya, Sotoji telah melalui sekian macam uji klinis sehingga aman untuk dikonsumsi.
Unsur tak kalah penting yang dimiliki oleh Sotoji adalah paduan jamurnya yang tergolong dalam kelompok jamur tiram (Pleurotus ostreatus). Berbagai literatur dapat kita temukan untuk mengetahui latar belakang makhluk bertudung tersebut. Mulai dari karakteristiknya, siklus hidup, syarat tumbuh, cara budidaya, hingga kandungan gizi dan manfaatnya bagi kesehatan. Jamur tiram mengandung protein, air, kalori, karbohidrat, dan sisanya berupa serat zat besi, kalsium, vitamin B1, vitamin B2, dan vitamin C. Jamur tiram juga bermanfaat sebagai penurun kolesterol, antibakterial, antitumor, dan penghasil enzim hidrolisis serta oksidasi (sumber: Wikipedia).
Terlepas dari itu semua, akan lebih baik lagi jika Sotoji memberikan opsi pilihan rasa yang kiranya akan lebih menggugah selera konsumen. Kata kunci wirausaha yang ketiga, yakni kompetitif, agaknya perlu diusahakan lebih ekstra dalam mendongkrak pangsa pasar Sotoji. Sebagai produk yang terbilang baru, promosi tentunya penting dan itu sudah dilakukan Sotoji melalui website dan juga form pemesanan sampel. Menurut hemat penulis, kemasan yang apik –dalam hal ini, pilihan rasa– juga mempunyai peran yang tak salah tempat. Seperti halnya aneka rasa mi instan yang disandingkan dengan ragam khas nusantara, misalnya ada mi rendang, mi coto makassar, dan mi dengan kuah mi celor palembang.
Bersama pangsit yang "kriuk-kriuk.."
      Berbicara soal rasa, Sotoji tentu enak dan nikmat di lidah. Terang saja, soto yang berpadu mesra dengan jamur akan menghasilkan kombinasi rasa yang unik namun tetap segar di indra pengecap. Di samping itu, kita bisa menambahkan sayuran sebagai aksesoris, contohnya tomat, kubis, mentimun, dan lainnya. Kita bisa juga menjadikan kecap, kerupuk, dan jeruk nipis sebagai teman. Nah, tunggu apalagi? Ayo lekas siapkan Sotoji-mu dan santaplah bersama dengan orang-orang dekat di momen yang tepat. Bersama keluarga, sahabat, dan rekan kerja sekalipun, Sotoji tentu sayang untuk dilewatkan.
Selamat mencoba…


Naskah ini diikutsertakan dalam Lomba Blog Sotoji