Sambungan dari bagian 1.
* * *
Sejumlah data statistik lain ditampilkan Anies melalui proyektor di depan
ruangan. Ada yang disebut tingkat keislaman (indeks islamisitas) yang
menunjukkan bahwa indeks Indonesia bernilai 104, jauh di bawah Denmark yang
nilainya 2. Hal ini antara lain karena Denmark telah berhasil mencontohkan
aspek kesederhanaan lebih baik daripada keislaman di Indonesia. Anies lalu memberikan
data dari Transparency International
yang menilai 182 negara, negara muslim berada di urutan 22 yakni Qatar dalam
tingkat kejujurannya.
Berikutnya, fakta lain dunia muslim, yaitu 23% populasi dunia, 70%
memiliki sumber energi, dan 40% menguasai kekayaan sumber daya alam (SDA)
dunia. Faktanya? Total pendapatan muslim hanya 8% dari pendapatan global,
sebanyak 39% populasi muslim di bawah garis kemiskinan dunia, 17 dari 48 negara
berkembang di dunia adalah negara muslim, dan 57 negara OKI GNI-nya hanya ¾
dari GNI negara Jepang. Ada lagi diagram yang menunjukkan kebutuhan pemimpin di
perusahaan-perusahaan Indonesia, atau kebutuhan pemimpin secara domestik ekonomi.
Dari demand 300, yang sudah supply baru 100, dan artinya ada gap 200 dimana gap ini apabila tidak diisi orang Indonesia akan diisi orang asing.
Anies mengatakan, “Jangan berpikir mengganti presiden, tapi bagaimana
menyiapkan generasi muda.” Ada banyak usaha yang dapat dilakukan dan usaha
paling fundamental adalah dalam hal karakter/akhlak. Ada pula indikator kesuksesan
mahasiswa, di antaranya indeks prestasi (IP) kelulusan minimal sebesar syarat
untuk melanjutkan strata 2 (S2), aktif kegiatan berorganisasi, mampu berbahasa
asing (minimal Bahasa Inggris), aktif menulis karya ilmiah/opini/blog/artikel
secara reguler, mampu membangun jaringan, bersikap kreatif, inovatif, dan mampu
memotivasi, serta yang terakhir menonjol sebagai ikon positif.
Djamaludin Ancok sebagai pembicara ketiga mengawali bahasannya dengan
mengutip QS. Ali Imran: 190 dan QS. Al-Hasyr: 18. Kedua ayat yang dimaksud
menandakan bahwa karakter seorang pemimpin adalah visioner. Kata “ulil albab”
pada ayat pertama bermakna orang-orang yang berpikir dan kata “lighad” pada
ayat kedua bermakna hari esok. Jadi, seorang pemimpin harus mampu berpikir
untuk hari esok, atau dengan kata lain: visioner. Sebagai contoh, dosen
Fakultas Psikologi UGM ini menggunakan kapal Titanic dan kapal Nabi Nuh dimana
kedua kapal tersebut menandakan kepemimpinan visioner di eranya.
Kemudian, Djamal mengungkapkan estimasi bahwa pada tahun 2030, Indonesia
akan menjadi negara keenam terkaya di dunia. Pertama adalah Cina, disusul
berikutnya India, Amerika Serikat, Brazil, dan Meksiko. Profesor humoris ini
menyampaikan materi dengan selingan joke
yang kerap mencairkan suasana. Salah satunya, ketika Djamal menyampaikan bahwa
generasi muda masa kini harus pandai berbahasa asing. “Ada yang ditanya ‘tell me about your family in English’ tapi
malah dijawab ‘I don’t have any family in
English’,” ujar Djamal yang lalu disambung dengan riuh tawa para hadirin.
Djamal juga kerap menggunakan ayat-ayat Al-Qur’an sebagai acuan, seperti
ketika membahas kriteria calon pemimpin yang efektif. Kriteria tersebut antara
lain bermodal intelektual (QS. Al-Mujaadilah: 11), bermodal emosional (QS. Ali
Imran: 134), bermodal sosial (QS. Al-Hujuraat: 13), bermodal ketabahan (QS. Ali
Imran:139), serta bermodal etika dan kesehatan.
Dalam sesi tanya-jawab, Anies Baswedan lebih dominan dalam menerima
pertanyaan dan memberikan jawaban. “Ubah kompetitor, mahasiswa UII jangan lagi
menganggap UGM atau UNY sebagai kompetitor tapi ubah menjadi University of
Melbourne misalnya, selanjutnya penguasaan bahasa asing, dan terakhir, bangun network dengan para pemikir mutakhir di
bidangnya,” terang pengagas Gerakan Indonesia Mengajar ini saat berpesan kepada
rekan-rekan mahasiswa tentang menggapai sukses.
Seorang dosen UPN wanita menanyakan bagaimana cara mengingatkan mahasiswa
untuk seimbang antara studi dan organisasi. Anies pun menjawab dengan
mengingatkan mahasiswa tersebut tanpa bersikap sinis. Misalnya, dengan
mengingatkan melalui sms atau menyapanya saat bertemu dan menanyakan kabarnya. Anies
juga berpesan kepada rekan-rekan aktivis bahwa pergerakan mahasiswa harus lebih
luas, dalam artian tidak hanya pergerakan, tetapi mahasiswa pun harus profesional
di bidangnya. “Lulus cepat atau lambat adalah pilihan, yang penting kembangkan
diri secara optimal. Jangan dengan jadi aktivis,
lalu mengorbankan kuliah,” imbuh Anies.
Djamaludin Ancok menambahkan bahwa negara Cina bisa maju karena hemat.
Orang Cina bangga menjadi Cina, nasionalismenya tinggi, sedangkan orang
Indonesia biasanya setelah sekolah ke luar negeri akan hilang identitasnya,
malah jadi antek asing. Untuk itu, orang Indonesia yang sekolah ke luar harus
siap mental agar tidak dikibuli. “Fokuslah ke masalah domestik, seperti energi,
bank, dan komunikasi, agar tidak sadar kalau kita dikerjai asing,” tutur
Djamal.
Dan acara pun selesai sekitar pukul 12.00 WIB.