Sabtu, 09 Juli 2011

Rumah Simbah 3


      Bencana Alam di Tengah Malam
Hari terakhir di Sumobito. Hari itu merupakan hari terakhirku berkunjung ke rumah simbah. Hari terakhir juga bertemu dengan Ujang. Sebelum kembali ke Jogja, Bude Anik –bude yang di Sepanjang, Surabaya– mengajak kami semua “rekreasi” ke Malang. Aku, Mbah Kung, Mbah Uti, serta ketiga adik sepupu Jogja-ku. Keberadaanku di Sumobito, selain menjenguk Mbah Kung yang barusan sakit adalah menjemput tiga kurcaci perempuan itu. Namun ketika aku tiba di Sumobito, mereka sudah bertolak untuk berlibur ke Sepanjang.
Sehabis ‘ashar, Bude Anik dan rombongan tiba di kediaman simbah. Tiba dengan Kijang LSX ungu muda. Rombongan terdiri dari Pakde Husin (suami bude), Mbak Ayu (sepupu Surabaya), dan ketiga bidadari cilik. Setelah santap bakso dan es sirup degan, sekitar jam setengah 5 sore, kami semua berangkat. Menghadiri acara resepsi pernikahan salah seorang anggota keluarga Bani Lathief terlebih dahulu.
Tidak ada firasat apapun ketika melaju di jalanan berkelok tersebut…
Langit sore yang diselimuti mendung perlahan mulai gelap. Petang datang membuat hari beranjak menuju malam. Kijang yang awalnya membelah persawahan di Kabupaten Jombang mulai membelah perbukitan ketika memasuki Kabupaten Malang. Jalan yang semula lurus mulai berbelak-belok. Naik-turun. Untunglah, tidak ada satu pun dari kami yang mengeluarkan isi perut secara paksa. Ya, jalan yang berliku itu benar-benar bisa membuat siapa saja berpotensi mabuk darat. Bagi yang belum terbiasa.
Kira-kira jam tujuh, kami sampai di gedung pertemuan. Gedung yang letaknya di depan Matos (Malang Town Square). Matos yang kalau diteruskan akan sampai di BA Restu, TK-ku dulu. BA Restu yang kalau lurus lagi akan sampai di Kampus UMM Jalan Bandung. Kampus UMM yang di seberang jalan ada Jalan Batujajar. Jalan dimana kuhabiskan masa kecil dulu selama 2 tahun. Menemani bunda yang kala itu tengah studi pascasarjana di Kampus UMM.
Nostalgia singkat yang bukanlah pertanda apa-apa…
Tidak berlama-lama kami di walimah al-ursy itu. Setelah bersalam-salaman, lanjut foto bersama, dan makan malam, kami segera bertolak ke tempat lain. Tempat inti dari agenda yang direncanakan bude. Dialah tempat yang hanya ramai di malam hari. Dialah tempat yang sesuai namanya hanya buka di malam hari. Tempat yang berlokasi di Desa Oro-oro Ombo, Kota Batu.
Batu Night Spectacular (BNS). Kami sampai di sana sekitar jam sembilan. Dari kejauhan sudah terlihat mobil-mobil yang parkir mengular. Berhenti di tepi-tepi jalan karena area parkir sudah penuh. Kami segera masuk dan pergi ke gedung pertunjukan. Kata bude, akan ada pertunjukan “air terjun menari”.
Pertunjukan tersebut ada di sebuah gedung dome besar yang terdiri dari meja dan kursi berjejer. Di kanan-kiri, ada food court yang menjajakan beraneka macam makanan dan minuman. Lalu, di bagian depan gedung, ada panggung yang menyuguhkan musik-musik yang dimainkan beberapa personil band. Di depan panggung ada kolam. Nah, air terjun menari (dancing fountain) itu akan keluar dari lubang-lubang yang ada di kolam. Airnya keluar dan naik-turun sesuai irama musik yang dimainkan, namun bukan dari band.
Bahkan saat menantinya pun tidak tebersit perasaan aneh…
Setengah jam kami menunggu show. Menunggu dengan sama-sama menikmati sekoteng hangat. Karena ditunggu lama tapi tidak show juga, kami akhirnya beranjak menuju wahana lain. Wahana permainan anak bagi ketiga kurcaci. Wahana seperti yang juga ada di Dufan. Setelah puas bermain, kami pergi ke Lampion Garden (LG). Wah.., di sini juga romantis. Ada berbagai bentuk miniatur yang dipenuhi pencahayaan warna-warni. Ada tokoh-tokoh kartun, ada binatang, ada bangunan, ada rumah pohon. Aku pun mengerti kenapa BNS hanya buka di malam hari. Karena kalau siang hari, warna-warni akan kalah oleh sinar matahari. Sebab LG itu ada di tempat terbuka.
Aspek yang dijual LG adalah momen kenangan berupa foto bersama. Ada pasangan-pasangan asmara, beberapa keluarga kecil, hingga gerombolan anak muda. Ada ayah-ibu-anak, berfoto bersama dengan latar miniatur yang banyak tadi. Wuaaahh..!!! Kami juga berfoto bersama. Foto kakek-nenek dan cucu-cucunya di LG dengan latar Menara Eiffel dan Bangku Love. Kami semua senang. Terlebih Mbah Kung dan Mbah Uti. Senang karena bertamasya malam-malam bersama kelima cucunya.
Malam semakin larut, semakin dekat dengan sesuatu di belahan bukit sana…
Kami pun memutuskan pulang setelah mengetahui bahwa show of dancing fountain sudah selesai. Sudah diputar ketika kami berada di LG tadi. Yah.., agak kecewa sih… Tapi ya sudahlah, sudah malam juga ini, sudah jam setengah 12. Mungkin lain waktu bisa mampir lagi ke sini sekalian mampir juga ke Jatim Park. Kami lalu naik lagi ke Kijang ungu muda. Pulang lagi ke Sumobito. Menembus jalan berliku di tengah malam.
Baru beberapa menit lepas dari Kota Batu, bude mulai agak curiga dengan kondisi jalan. Bukan karena gelap bercampur kabut. Bukan pula karena tetes hujan yang mulai menitik. Bukan karena pekatnya jurang-jurang yang sesekali terlihat. Namun, kenapa yang dari arah berlawanan sama sekali tidak ada kendaraan? Kenapa hanya arah Batu-Jombang saja yang dilalulalangi mobil dan bus? Arah Jombang-Batu sepi…
Bencana kecil itu ada di depan, longsor total di Pujon…
Ternyata ada bencana alam, tanah longsor. Tebing itu tanahnya luruh dan menutupi seluruh permukaan jalan raya. Total menutupi jalan raya. Membuat Malang-Jombang maupun Malang-Kediri ikut terputus sementara. Menyebabkan macet yang tidak seberapa panjang. Sebab kata warga di sekitar baru terjadi beberapa menit yang lalu. Semua kendaraan terpaksa berputar balik. Pakde ikut memutar balik.
Angker? Horor? Lumayan sih.. Tengah malam buta, coba kalau tadi kami terlalu cepat pulang. Pasti ikut tertimpa longsoran. Walaupun menurut warga tidak ada korban jiwa atau materi yang terkena longsoran. Syukurlah… Kami pun memutar lewat Pasuruan, kembali lagi ke Batu. Lalu ke arah Singosari, Purwodadi, Prigen, dan tekluk..!! Aku tertidur... Bangun-bangun sudah sampai di Mojokerto jam dua dini hari. Setengah jam kemudian, kami sampai lagi di rumah simbah. Rumah Sumobito. Semua bergegas berbenah seperlunya, lalu tidur. Tidur sesempatnya sampai adzan shubuh berkumandang.
Kemudian berangkat pulang ke Jogja, pagi-pagi sekali. Dan dengan diantar pakde, bude, dan mbak, bermobil sampai Mojoagung, kami “melompat” ke dalam bus Mira. Selamat tinggal, Mbah... Suatu kali nanti, kami pasti akan kembali lagi…

Epilog
Waktu rupanya masih memberikanku kesempatan untuk jalan-jalan. Kali ini tujuh pantai di Gunungkidul: Baron, Kukup, Drini, Sundak, Krakal, Siung, dan Wediombo. Aku bersama seluruh tim sukses “Fresh Fish” bertamasya sehari penuh ke sana. Intinya sih, mau ke Pantai Sadeng melihat tempat pelelangan ikan. Khususnya ikan tuna. Ikan tuna yang merupakan andalan produksi UKMM Fresh Fish milik paklik dan bulikku. Keduanya adalah orangtua dari ketiga sepupu Jogja-ku sebelumnya.
Dan di salah satu pantai itu, sebuah puisi tiba-tiba saja masuk ke kepalaku. Kutuangkan langsung di ponselku. Kalau sedang berada di alam bebas, inspirasi ternyata lebih mudah ditemui ya... ^_^

Kamis, 07 Juli 2011

Rumah Simbah 2


“Dibodohi” Tukang Sol Sepatu
Malam itu, sekitar pukul sembilan akhirnya aku tiba di Mojoagung. Setelah tujuh jam jarak Jogja-Mojoagung kutempuh dengan menjadi penumpang bus Mira. Aku yang sejak dari Jogja duduk tepat di kursi belakang sopir bergegas membawa tas ransel dan kantong plastik berisi oleh-oleh untuk simbah. Menuju pintu depan bus, duduk di lantai tangga seperti penumpang lainnya jika hendak turun. Kenek bus bertanya memastikan aku turun di mana yang kuiyakan dengan anggukan kepala.
Bus pun memperlambat lajunya. Bus belum berhenti sempurna ketika si kenek sudah menyuruhku keluar.
“Ayo Mas, cepetan.”
Dan mau tidak mau kuikuti instruksi itu.
Hap!
Aku pun meloncat. Dalam keadaan bus yang belum benar-benar berhenti, hampir saja jatuh. Agak terlompat-lompat. Lalu berjalan terseok-seok menepi ke pinggir jalan. Pintu bus pun tertutup dan langsung ia kembali tancap gas, melaju kencang menuju Surabaya. Membelah malam.
Baru beberapa langkah berjalan mencari ojek, aku merasa ada yang aneh di kakiku. Begitu kucek, ya ampun…, sandalku yang sebelah kanan ada yang lepas alias jebol! Sandalku yang sebelah kiri malah ‘mangap’ seperti orang minta makan. Wah, ini pasti gara-gara loncat dari bus yang belum betul-betul berhenti tadi.
Singkat cerita, aku sampai di rumah simbah setelah mengojek Mojoagung-Sumobito. Sepuluh ribu rupiah. Keesokan paginya, kuberitahukan perihal sandalku kepada Mbah Putri. Bertanya apakah di Pasar Sumobito ada tukang sol sepatu. Mbah Uti bilang ada tapi nanti bukanya agak siang. Nah, rupanya sambil menunggu siang itu, Mbah Kakung “berinisiatif” untuk mengelem sandalku dengan lem besi. Tanpa sepengetahuanku. Aku sama sekali tidak meminta Mbah Kung melakukannya. Aku sendiri malah tidak tahu kalau Mbah Kung melakukan hal itu. Tapi.., begitulah simbah dengan “caranya”.
Begitu aku mau ke pasar dengan Mbah Uti, tahu-tahu Mbah Kung sudah berujar, “Sandalmu sudah saya lem pakai lem besi, tapi masih perlu dijahit. Jadi nanti dibawa ke pasar, minta dijahitkan di sana.”
Sandalku pun berpindah tangan ke tukang sol sepatu. Setelah sepakat soal harga, ah.., ini Mbah Uti yang bicara dengan tukangnya dalam Bahasa Jawa, sandalku pun ditinggal. Diambil lagi besok harinya. Namun ketika mau diambil besoknya, ternyata sandalku belum jadi. Alasannya, “Kemarin darah tinggi saya kumat, jadi belum sempat dikerjakan. Nanti sejam ke sini lagi saja, ini mau saya kerjakan dulu.” Wah, Mbah Uti rada mencak-mencak sebal sama tukangnya itu. Tapi wajar sih.., soalnya kalau profesional kan tidak perlu bawa-bawa alasan pribadi segala.
Jam sepuluh hari itu saya kembali lagi ke pasar. Menggunakan sepeda biru berkeranjang punya Mbah Uti. Mbah Uti juga sudah kasih uangnya untuk membayar si tukang itu. Membayar untuk jasa jahit sandal (yang sebenarnya tidak perlu “iseng” dilem segala). Kali ini, dia menepati janjinya. Sandalku pun sudah selesai diperbaiki.
Menjelang maghrib, seperti biasa aku berjalan bersama Mbah Kung menuju Masjid Kauman Sumobito untuk shalat berjama’ah di sana. Tiba-tiba saja, Mbah Kung membuka pembicaraan dengan topik sandalku yang jebol itu.
“Tadi sandalmu sudah dibawa ke tukang di pasar. Tapi kayaknya belum dikerjakan,” kata Mbah Kung dengan nada kakek-kakek.
“Oh, tadi sudah saya ambil, Mbah. Sudah jadi dijahit kok,” sahutku agak keras di telinga simbah karena pendengaran Mbah Kakung sudah tidak sebaik dulu.
“Woo.., apanya?! Belum itu, belum dijahit! Kamu dibohongi.”
Eh..?
“Sudah kok, Mbah. Tadi memang pas sama Mbah Uti belum selesai, tapi agak siang saya ambil sudah jadi kok.”
“Belum.. Nggak dikerjakan itu, kamu dibohongi tukangnya. Dibodohi..”
Lho kok..?
“Sudah dijahit, Mbah,” kataku lagi lebih keras di telinganya.
“Belum..!” kali ini nada bicara Mbah Kung mulai meninggi. Dan sepanjang perjalanan sekian langkah itu, kami tetap mempertahankan keyakinan masing-masing. Semakin lama, semakin meninggi pula suara simbah. Semakin menyalahkan tukang sol sepatu. Semakin menyebut tukang sol sepatu itu penipu. Sampai orang-orang mulai memperhatikan kami.
Orang-orang yang ada di halaman masjid, di selasar masjid, semua menoleh ke arah kami. Mengamati kakek dan cucu yang saling adu argumen.
Ketika sudah sampai di teras masjid yang cukup terang oleh cahaya lampu, kutunjukkan sandalku ke Mbah Kung.
“Ini lho, Mbah, sudah dijahit kok ya..,” kataku sambil menunjuk ke jahitan.
“Apa itu, itu jahitan lama! Jahitan lama itu, kamu jelas-jelas dibodohi!”
“Lho, ini benang baru, Mbah. Ini lho,” jariku mengikuti alur jahitan yang baru.
“Iya, itu jahitan lama..!”
Aaarrggghhh…!!!
Benang jahitannya berwarna hitam. Mungkin penglihatan Mbah Kung juga sudah tidak sebaik dulu, jadi benang lama yang berwarna putih dikira benang hasil pekerjaan tukang sol sepatu. Padahal, benang hitam itulah benang yang baru. Benang hitam yang menyatu dengan alas sandal yang juga berwarna hitam. Akhirnya, setelah menahan malu dilihat orang-orang, kuiyakan saja pendapat simbah.
Ngalah aja deh, iyakan saja biar selesai…
Dan selesailah perdebatan itu.
Malam harinya sebelum tidur, Mbah Uti menghampiriku. Membicarakan pendapat Mbah Kung soal sandalku. Ya Tuhan.., seharian yang dibicarakan hanya masalah sandalku yang jebol. Untungnya, Mbah Uti tidak sekeras Mbah Kung (yang sudah salah masih saja ngotot). Kubilang yang sebenarnya ke Mbah Uti. Soal benang jahitnya yang berwarna hitam, yang agak menyatu warnanya dengan warna alas sandal dan warna pinggiran sandal. Mbah Uti menerima penjelasanku. Mbah Uti memahami penglihatan Mbah Kung. Berjanji meyakinkan Mbah Kung tentang argumenku. Syukurlah, esok harinya tidak ada lagi pembicaraan soal ini. Tidak ada lagi tukang sol sepatu yang “difitnah” oleh Mbah Kung, hihi.. Ada-ada saja kelakuan orang tua…
Besok kalau aku tua (atau kita semua menjadi tua), apakah kita juga akan membuat cucu kita bingung tujuh keliling? Wallahu a’lam bish shawwab.

Rabu, 06 Juli 2011

Rumah Simbah 1


Prolog
Keluar kota lagi, keluar Jogja lagi. Entah kenapa, rasanya kok sama seperti saat dulu. Saat pergi keluar Al-Zaytun dalam rangka belajar di masyarakat alias liburan. Setiap keluar AIS rasanya ringan sekali. Lepas tanpa beban. Enteng tanpa pikiran. Begitu juga kali ini, keluar Jogja pun serasa ringan, lepas, dan enteng. Namun ketika kembali lagi ke Jogja, yang dirasa juga sama seperti ketika pulang lagi ke AIS: berat, seperti tidak ada niat. Ups! Dalam artian yang tidak sebenarnya lho, hanya kiasan…
Tahun 2011 ini tampaknya selalu ada jadwal keluar kota untukku. Disengaja maupun tidak, minimal sebulan sekali. Hmm, setidaknya bisa sejenak melupakan apa yang perlu dilupakan sementara, hehe.. Kalau diingat dan dihitung lagi, kira-kira begini:
Desember 2010 >> Banjar (Jawa Barat), Sepanjang, dan Sumobito.
Januari 2011 >> Sepanjang (Surabaya) dan Sumobito (Jombang).
Februari 2011 >> Sepanjang, Sumobito, dan Tempurejo (Ngawi).
Maret 2011 >> Sepanjang dan Batu (Malang).
April 2011 >> BSD City dan Jakarta Selatan.
Mei 2011 >> Sepanjang dan Malang.
Juni 2011 >> Sumobito, Malang, dan Batu.
Semuanya itu dalam agenda yang bermacam-macam, kebanyakan sih acara keluarga. Antara lain walimah al-ursy (pernikahan), naik haji, ziarah makam, pertemuan bani, dan juga menjenguk simbah yang sakit. Seperti yang terakhir barusan. Nah, bulan Juli nanti mau ke mana lagi ya, hihi.. (kalau Agustus jelas mau pulang ke rumah di Palembang sana)

Hari Tua Seekor Ujang
Shubuh baru saja berlalu. Tanah di halaman belakang rumah simbah masih basah. Sisa-sisa hujan semalam yang bercampur embun. Aku baru saja melipat sajadah lusuh dan sarung hijau motif kotak-kotak. Baru saja usai menunaikan kewajiban. Keluar dari musola yang terletak di pojok selatan halaman belakang, kupakai bakiak semula. Berjalan menuju dapur. Tuk-tuk-tuk, terdengar bunyi ketukannya di lantai semen. Di sana, di atas meja kayu tempat sapu lidi dan botol-botol bekas diletakkan, sesosok makhluk yang sudah tidak asing duduk dengan tenangnya.
Kuusap kepalanya sepintas.
“Mraong.., mraong..,” suara berat makhluk berbulu itu seolah ingin mengatakan: selamat datang di Sumobito lagi..
Setelah menjilati punggungnya, dia turun dan berjalan ke arah ruang makan. Tepatnya, ke tempat Mbah Kakung duduk di kursi. Kursi kayu dengan dudukan anyaman rotan yang ada di depan ruang makan. Ruang makan tersebut berseberangan letaknya dengan musola. Mbah Kakung sendiri sedang menyeruput kopi paginya. Kemudian, bersiap menyalakan tembakau. Bersantai sejenak sebelum menonton berita dan menyapu halaman depan.
“Mraong.., mraong..,” sambil menggeliat manja di kaki simbah, kali ini pasti dia berujar: boleh aku minta tongkolku sekarang saja..
Namanya Ujang. Aku tidak tahu apa filosofi yang membuat Mbah Kakung dan Mbah Putri sepakat memberikan nama itu. Nama yang singkat dan menunjukkan jenis kelamin laki-laki. Ujang adalah seekor kucing jantan berbulu putih oranye. Bagian bawahnya berwarna putih dan bagian atas dari kepala sampai ekor dipenuhi warna oranye. Kucing yang setia tinggal di rumah simbah sejak masih kecil sampai setua sekarang. Dan selalu meminta jatah di pagi sehabis shubuh begini. Kalau tidak diberi, ia akan duduk manis lagi. Di meja yang semula tadi, keset di tangga pintu yang menghubungkan rumah dan halaman belakang, di atas mesin jahit tua sebelah ruang makan, atau pilihan terakhirnya di balai-balai kayu yang ada di dapur.
Duduk manis menikmati hari-hari tuanya.
Kalau Mbah Kakung pergi sembahyang di masjid, biasanya Ujang ikut menemani. Masjid itu terletak sekitar seratus meter dari rumah. Ujang hanya berjalan bersama sampai pintu pagar masjid. Ia tentu tidak ikut masuk ke dalam. Ia hanya menunggu di luar. Ketika Mbah Kung sudah selesai mengimami para jema’ah dan bersiap pulang dengan mengenakan bakiaknya, Ujang pun datang menghampiri. Lalu berjalan beriringan menuju rumah.
Tapi itu dulu, ketika ia masih muda, ketika belum setua sekarang.
Ada satu kebiasaan buruk Ujang yang pernah diceritakan Mbah Putri. Hobinya yang suka berkelahi. Hmm.., kucing jantan di mana-mana hobinya gelut. Kalau kucing betina di mana-mana hobinya manak. Mbah Uti bilang Ujang suka berantem dengan kucing lain yang ada di sekitar Masjid Kauman Sumobito sana. Rebutan wilayah atau berebut pacar. Pulang ke rumah tahu-tahu sudah penuh luka, hiii… Luka yang kalau infeksi menjadi borok. Borok yang kalau kelamaan bisa jadi koreng. Basah berlendir dan terasa lengket.
Bahkan bekas-bekasnya masih terbawa hingga usia senjanya.
Ujang kini semakin renta, ringkih, dan dekil. Sorot matanya saja tak lagi tajam. Langkahnya pun kian tertatih. Kuman menambah semarak kudis yang merusak bulunya. Kudis berbau amis nan menjijikkan. Seolah air liur tak lagi jadi obat mujarab. Satu yang tidak berubah adalah eongan baritonnya yang khas: mraong-mraong-mraong.. Ah, kau seakan hanya menunggu waktu untuk menghadap-Nya.
Apakah kau akan bereinkarnasi kembali, terlahir lagi ke dunia namun dalam wujud lain? Harimau misalnya…”
Tidak ada lagi kucing jantan yang suka berkelahi. Tidak ada lagi kucing jantan yang suka keluyuran. Tidak ada lagi kucing jantan yang suka pacaran. Yang ada hanya kucing jantan yang pendiam. Yang ada tikus lewat di depannya pun ia tetap diam tidak bereaksi. Yang ada cecak bersuara di dinding pun ia tidak terpancing untuk menoleh. Yang dia tahu hanyalah makan, tidur, dan buang air. Serta santai menjilati tubuh yang semakin ramai oleh kudis-kudis berbau anyir.
Kalau Mbah Kakung sudah mulai menyiapkan makan, Ujang akan naik-naik ke meja di depan ruang makan. Mengiba meminta. Sampai-sampai memanjat jendela ruang makan segala. Seraya mengeong-ngeong. Begitu selesai makan, ia akan minum dari air yang ada di ember-ember sebelah sumur. Di tempat mencuci pakaian. Setelah itu, ia mengambil posisi enak untuk tidur. Tidur, tidur, dan tidur. Nanti bangun langsung pergi keluar rumah. Mencari tanah untuk buang air. Selepas itu, ia tidur lagi. Sumpah.., pemalas benar kucing ini, pikirku. Tapi demikianlah Ujang si kucing tua. Tenaganya sudah tidak lagi muda.
Beruntung ia memiliki tuan seperti Mbah Kakung yang tidak pernah alpa memberikan nasi tongkol. Beruntung ia memiliki nyonya seperti Mbah Putri yang membiarkan saja ia tidur di balai-balai dapur. Tidur dimanapun ia suka tanpa diusir. Beruntung ia memiliki teman sepertiku. Yang bela-bela mengelus leher dan kepalanya, padahal sekitar mulut dan lehernya ada basah dari kudis. ^_^
Huft.., Ujang tua yang juga sakit-sakitan.
Bisa dibilang, mungkin waktuku malah tersita untuk Ujang daripada untuk simbah. Masya Allah, padahal tujuanku ke sini untuk bertemu orangtua bapak dan ibuku, bukan fokus kepada piaraannya. Tapi, sudahlah.. Sudah terlanjur menikmati berinteraksi dengan hewan kesayangan Rasulullah Saw. itu. Kalian tahu Abu Hurairah, salah satu ahli hadits? Bukankah beliau dijuluki “Abu Qith” yang artinya “bapak para kucing” saking sayangnya beliau dengan kucing. Aku tidak terobsesi ingin menjadi seperti beliau. Namun ada satu pertanyaanku yang cukup mendasar: Apakah Abu Hurairah juga terinfeksi virus Rubella? Wallahu a’lam bish shawwab.

Senin, 04 Juli 2011

Bukit Pantai


Bukit Pantai
Karya: Ahmad Satria Budiman



Ini bukan pertamaku ke sana
Melihat biru berpadu mesra
Laut dan langit bercengkerama
Seperti kita

Diterpa angin
Ditempa mentari
Kaki-kaki telanjang
Dijilati gelombang

Bukit dengan menara itu
Aku ingin menjamahnya bersamamu
Menyisir pasir, tapak demi tapak
Meniti anak tangga hingga ke puncak

Dan menyaksikan tarian ombak
Ditemani desiran angin
Sembari memandang batas laut dan cakrawala itu
Hanya bersamamu, Sayangku..


(Pantai Drini, 3 Juli 2011)

Jumat, 01 Juli 2011

Andai Ia Bisa Bicara

Andai Ia Bisa Bicara



Seandainya Al-Qur’an bisa berbicara,
mungkin ia akan mengatakan sedikit curahan hatinya kepada kita:

"Waktu kau masih kanak-kanak dulu,
kau bagaikan teman sejatiku
dengan wudhu, kau sentuh aku
dalam keadaan suci, kau pegang aku
dalam baju muslimmu, kau peluk aku
dengan jari-jari kecilmu, kau pangku aku
dan kau baca aku dengan riang nan syahdu..

Sekarang kau telah dewasa,
nampaknya..
kau sudah tak berminat lagi kepadaku
apakah aku ini bacaan usang
yang kini tinggal sejarah?

Sekarang kau simpan aku dengan rapi,
kau biarkan aku sendiri
teronggok di dalam lemari
kusam di sudut rak buku
berselimut debu..

Kumohon kembalilah padaku,
sentuhlah kembali diriku
bawalah dalam pelukmu
bacalah setiap hari
sebab aku akan menjadi penerang dalam kuburmu
sebab aku akan memberi syafa'at kepadamu
kelak di yaumul qiyamah.."

___________________________________________________

NB. Puisi ini dikirimkan seorang sahabat (yang katanya dapat dari Kaskus) pada bulan Februari tahun lalu. Saya gubah seperlunya dan saya coba posting kembali di sini. Semoga bermanfaat, semoga jika ada yang terlupa bisa kembali teringat, amin..