Sekali lagi, keinginan tidak
sejalan dengan kenyataan.
* * *
“Kenapa harus Bandung?”
Pertanyaan itu perlahan mengusik batin saya. Ya, begitu banyak pabrik
tekstil di Jawa Tengah, khususnya di sekitar wilayah Solo, namun kenapa saya tetap
ingin di Bandung. Ada apa di sana? Adakah suatu hal yang istimewa? Sebenarnya,
tidak ada apa-apa. Sebab alasan saya memilih Bandung sebagai lokasi kerja
praktek (KP) cukuplah sederhana saja: saya ingin berbeda, lain dari yang lain.
Di semester lalu, jauh hari sebelum key-in,
saya sudah bolak-balik ke Perpustakaan Fakultas Teknologi Industri Universitas
Islam Indonesia (FTI UII). Bukan, saya bukan anak rajin yang lantas ke sana
hanya untuk berkutat dengan lembar demi lembar kertas buku. Melainkan ada satu
rak di ruang referensi yang saya datangi hampir saban hari. Membuka-buka bundel
laporan-laporan KP milik kakak kelas, alias laporan-laporan KP terdahulu.
Riset awal saya sampai pada suatu kesimpulan, yakni daftar pabrik
(perusahaan) yang pernah kakak-kakak kelas saya jadikan lokasi KP. Sekilas pun
saya tahu, beberapa alumni ada di sana, sehingga riset kasar saya itu juga
sampai pada suatu hipotesis: koneksi orang dalam. Hipotesis itu pun berlanjut
menjadi analisis, bahwa seperti ada rayon-rayon yang terarah. Rayon yang saya
maksud bukan serat sintetis, melainkan jalur seperti pengertian SD anu rayonnya
ke SMP anu.
Selepas riset tersebut, saya berselancar di dunia maya. Saya juga berenang
dalam daftar perusahaan tekstil yang pernah teman saya berikan. Akhirnya, saya
membaca bahwa Jawa Barat dan Jawa Tengah adalah pusat dari sebaran pabrik
tekstil di Indonesia. Waktu itu, saya belum tahu jika yang paling banyak adalah
di Jawa Barat. Mungkin lantaran di perpus kebanyakan pabrik-pabrik di Jawa
Tengah.
Akhirnya, perjalanan saya berhenti di sana. Sebuah lokasi penuh nuansa
hijau, sebut saja “A”. Saya buat proposalnya dan meminta surat pengantar ke
Bagian Pengajaran. Dan amplop besar coklat itu terkirim melalui Tiki ke alamat
yang dimaksud. Seingat saya, saat itu awal Maret 2012. Seminggu berselang,
jawaban pun datang, “Saya rasa tidak ada masalah di bulan itu, kalau sempat
nanti ke sini dulu saja.”
Girang bukan kepalang. Terlebih saat itu baru saya yang sudah “pasti”
diterima. Pasti dalam tanda kutip karena baru diketahui secara lisan, belum ada
hitam di atas putih. Ketika ada waktu sela, saya berangkat ke Bandung. Senyum-senyum
sepanjang perjalanan. I come to you,
Bandung… Namun, senyum itu esok harinya menjelma muram. Mengganjal dalam
hati. Untuk sekian penjelasan yang tidak perlu saya ekspos, saya “ditolak”. Kalimat-kalimat
yang berputar-putar itu pada intinya saya tahu, saya dianggap sebagai “ancaman”,
dikhawatirkan mengganggu produktivitas. Lalu,
kenapa saat di telepon Anda mengatakan “tidak ada masalah”...?
Siang itu juga, saya diajak paklik berkeliling ke lokasi lain. Lokasi
yang lebih variatif: sepanjang Jalan Rancaekek. Ada pabrik serat sintetis,
pencelupan, pertenunan, dan juga sektor yang paling banyak “ditanamkan” di
kepala saya selama ini: pemintalan. Saya berpesan kepada paklik untuk tidak
membawa saya ke tempat-tempat berbau pemintalan kapas. Bosan. Namun demikian, lagi-lagi jawaban yang saya terima
senantiasa sama. Pintu demi pintu yang saya datangi kembali memberikan jawaban
yang nyaris serupa, “Selama ini belum ada, Dik, bukannya kami tidak ingin,
hanya saja nanti tidak ada yang membimbing, kami kan juga mengejar target produksi.”
Bandung.., oh Bandung.., segitu
sensitifnya soal “produktivitas”….
Sore harinya, kami pun pulang ke Cibiru. Lelah. Sepeda motor hitam biru
itu jadi saksi perjalanan kami satu hari tadi. Malam harinya sebelum naik
Budiman, paklik berujar akan mencoba mengusahakan lewat orang dalam. Paklik dan
bulik ternyata memiliki kenalan orang dalam. “Kalau tahu kamu mau di Bandung,
saya bilang ke teman saya, Bud,” kata paklik. Iya sih, salah saya juga tidak koordinasi dengan paklik.
Di kampus, saya bicarakan apa yang saya alami di Bandung kepada Pak
Sekjur. Beliau menawarkan alternatif, seperti ke “C” atau ke “S”. Saya putuskan
untuk menunggu kabar dari paklik. Beberapa hari setelah itu, kurang lebih ada
empat sampai lima nama yang ditawarkan paklik untuk saya. Saya pilah-pilah, ada
yang pabrik poliester, ada pabrik embroidery,
ada pabrik rajut, dan ada juga pabrik tujuan utama saya: pencelupan. Saya mulai
dengan “P”, saya kirim data-data yang diminta via e-mail. Beberapa minggu berselang: penolakan. Saya coba lagi dengan
“W”, kali ini saya kirim data-datanya via pos, terlebih paklik bilang yang ini
sudah pasti menerima. Satu lagi ada “V” yang juga menerima, tetapi saya pilih “W”
karena “V” itu modelnya ada juga di Jogja.
Dan penolakan itu terjadi lagi, namun kali ini bukan soal produktivitas.
Ada teman dari kampus lain yang juga mengajukan ke sana, perusahaan lebih
memilih dia daripada saya. Karena dia
dari kampus Bandung dan saya dari kampus Jogja? Ah, tidak tahu juga. Waktu
itu sudah masuk akhir Mei 2012. Saya sudah tidak bisa berpikir jernih mengingat
bulan Juli sebentar lagi. Saya pun menghadap Pak Sekjur, mengutarakan niat saya
untuk di Jogja saja, di “J”, berdua bersama teman satu kelas. Sebelumnya,
beliau juga menyarankan ke beberapa tempat, sama seperti saya dari Bandung
kemarin, dipilihkan di Semarang atau Purwakarta. Namun saya memilih untuk di Jogja
saja. Pencarian ini akan berakhir di Jogja.
Paklik sebenarnya masih menawarkan opsi lain, ke “B” dan ke “S”. Tapi
saya sudah capek, lelah ditolak sana-sini. Kalau ditolak dalam hitungan hari
masih mungkin dilanjut, tapi ini ditolak dalam hitungan minggu. Harus berapa
minggu lagi saya lalui dengan ketidakpastian. Terlebih saya juga tidak enak dengan
jurusan karena bolak-balik kabar ini-itu tapi nyatanya ditolak juga. “Ke yang
pasti-pasti saja,” nasihat itu menggema di sistem audio saya.
Pupus sudah harapan untuk berbeda, menjadi beda untuk sesuatu yang baru. Jika
dipikir-pikir, toh tidak hanya saya
yang mengambang begini. Teman-teman saya juga sama, masih pada mengambang. Belum
sampai ke tepian. Lantas, inikah yang dimaksud tekstil membutuhkan sumber daya
manusia (SDM) yang fresh? Inikah yang
disebut tekstil butuh tenaga-tenaga baru untuk mengimbangi tenaga asing?
“Kayaknya tiap perusahaan punya formulasi tersendiri yang tidak boleh
dipublikasikan, itu sulitnya. Oleh karena itu, alasannya macem-macem. Saya udah
menemui managernya, tapi keputusan ada di tangan direktur/bosnya. Coba nanti
setelah selesai kuliah, kamu coba bikin lamaran kerja, pasti beda,” hibur
paklik menanggapi kandasnya impian “kecil” saya. Kelak, saya saksikan apakah
ada beda antara status “mahasiswa” dengan status “sarjana”. Apakah cita-cita saya berkontribusi tekstil
mendapat respon negatif ataukah positif…
Selasa, 29 Mei 2012. Surat jawaban itu syukurlah sudah di tangan saya.
Hitam di atas putih itu kini nyata, bukan lagi sebatas awang-awang. Saya sudah
sampai ke tepian, tak lagi mengambang. Tidak ada lagi kata tidak ada pembimbing.
Tidak ada lagi kata mengganggu produktivitas. Tidak ada lagi kata nanti saya bicarakan
dulu dengan pimpinan. Sekarang, semuanya jelas, nyata. Sampai jumpa, 02 Juli
2012.