Kamis, 28 Juni 2012

Hadiah untuk Smashy



Hanya ini yang bisa kupersembahkan padamu…
* * *

Adakah teman-teman memiliki benda kesayangan? Sadar atau tidak, pasti ada. Tentu kita menjadikan benda itu sebagai kesayangan dengan alasan yang beragam. Ada yang karena pemberian seseorang, karena didapatkan dengan hasil keringat sendiri, atau karena benda tersebut memiliki nilai historis yang unik. Seperti benda kesayangan milik saya, sebuah “kuda besi biru” yang telah membawa saya berpetualang sejak tahun 2009.
Smashy, sebut saja demikian. Ialah saksi bisu perjalanan saya selama menetap di Kota Jogja. Ia yang paling tahu ke mana saja saya pergi. Ia yang paling tahu tempat-tempat yang saya datangi. Mulai dari semua kampus UII, mengantar dagangan bulik ke RS PKU, tempat jualan bude di Sunmor UGM, praktikum di Pabrik Primissima yang pernah sekalian jalan-jalan ke Ketep Pass, masa-masa survei ke Buper Sekipan dan WW Mojosemi, saat hunting ke Ponorogo dan Borobudur, malam tahun baru di Masjid Gedhe Kauman, dan tempat-tempat lainnya.
Ia, si kuda biru Smashy, tahu semuanya dalam diam.
Bahkan saat erupsi Merapi tahun 2011 lalu, ia yang paling tahu bagaimana saya membawanya menerjang hujan abu vulkanik di sepanjang ring road. Meski pasir silika itu bisa merusak dirinya, tapi ia mau saja menjawab rasa penasaran saya seperti apa hujan abu vulkanik itu. Hingga saya berpikir, siapa yang sungguh tidak berperasaan kala itu…
Smashy juga paling tahu siapa saja yang pernah menjadi boncengan saya. Namun, pembahasan mengenai hal ini biarlah cukup sampai di sini, tidak perlu dirinci.
Tak kenal waktu, ia selalu siap mengantar saya. Entah dini hari buta atau tengah malam sekalipun. Cuaca juga bukan halangan. Panas terik dan hujan deras, ia tetap setia. Meski kadang saya enggan membersihkannya, atau mengulur-ulur waktu ketika tiba waktu check up (baca: servis). Meski terkadang saya agak mengumpat ketika salah satu kakinya harus tertusuk benda tajam. Satu yang kadang saya tidak mengerti, kenapa ia begitu lemah saat harus membawa saya di jalan menanjak. Segala sesuatu memang ada kelebihan dan kekurangan. Saya memaklumi sekali kekurangannya yang satu ini.
Mungkin kebersamaan ini tinggal setahun-an lagi. Dan untuk tahun-tahun yang telah lewat, saya hanya bisa berucap terima kasih. Kamu begitu berarti, Smashy… Tidak ada yang bisa kupersembahkan padamu, selain stiker ini. Sebuah penanda yang menunjukkan identitas pemilikmu.
Semoga kau menyukainya. :)

Rabu, 20 Juni 2012

Sejumput Sesal


Andai saja ada mesin waktu
Aku ingin kembali ke masa itu
Menyelesaikan sesuatu
Yang belum selesai malam itu

Andai saja waktu bisa terulang
Satu hal yang pasti ingin kuulang
Memang tidak mudah untuk bilang
Tapi menyiksa jika tak terbilang

Ah, ini gara-gara sebuah foto
Potret yang datangkan dejavu
Bukan karena objek di foto itu
Oke, itu hanya sebuah foto

Andai saja..



Yogyakarta, 20 Juni 2012
Sambil menekuri soal UAS Metopel, 19.08 WIB

Senin, 18 Juni 2012

Aksi dan Audiensi



Massa yang reaktif, tidak selalu berujung represif.
* * *

Ujian Akhir Semester (UAS) kembali tiba, kali ini pada tahun ajaran (TA) 2011/2012. Senin itu, tanggal 18 Juni 2012, saya tidak ada jadwal. Hari ujian pertama saya justru dimulai pada hari Kamis-nya, atau dengan kata lain, tiga hari pertama UAS tidak ada jadwal ujian. Malam itu sekitar jam 12-an, sebuah pesan singkat masuk ke ponsel saya. Samar-samar saya baca, teman saya di persma memberitahukan besok ada aksi dan saya diminta datang liputan kalau tidak ada ujian. Pagi harinya, setelah kesadaran saya kembali penuh, saya meng-OK-an pesan teman tersebut.
“Ujian kok malah demo,” batin saya saat itu. Terlebih ketika sampai di kampus, ada acara peringatan dies natalis, acara seremonial penuh sambutan. Aksi dijadwalkan pukul 9 pagi, namun akhirnya dimulai di atas jam 11. Biasa, sudah jadi rahasia bahwa kesepakatan mahasiswa selalu melenceng dari ketetapan waktu yang sudah disepakati. Berbekal si hitam Standard AE7 dan selembar kertas yang dilipat-lipat, saya mencatat apa yang bisa dan perlu dicatat.
Tidak usah saya ceritakan apa yang menjadi isu dalam aksi hari itu. Biarlah, itu menjadi rahasia “dapur” kampus saya. Apa yang saya ingin utarakan hanyalah bahwa tidak selalu, aksi mahasiswa berakhir ricuh. Tidak selalu aksi mahasiswa berujung anarkis. Bagaimana subjek aksi (mahasiswa) dan objek aksi (petinggi kampus), tahu sama tahu saja, itu kunci pentingnya. Bagaimana kedua belah pihak sama-sama tahu diri saja.
Aksi hari itu berlanjut ke forum audiensi. Sungguh suatu kesempatan berharga bagi saya dapat turut serta masuk ke ruang sidang untuk mengikuti audiensi. Di sana, saya bisa melihat bagaimana antara petinggi lembaga mahasiswa dan petinggi kampus berdialog, meski luapan emosi kadang tak terelakkan. Namun, tidak sampai berujung (maaf saya gunakan istilah tidak sopan ini) vandalisme. Tidak ada lemparan, tidak ada makian, tidak ada pukulan. Semua terkendali. Mungkin para petinggi kampus itu menyadari bahwa anak muda masih dalam masa-masa penuh gejolak. Ekspresif.
Walaupun berlangsung alot, audiensi empat jam itu berakhir kesepakatan. Tuntutan mahasiswa memang tidak seratus persen dipenuhi. Ada pertimbangan dalam “menggodok” tuntutan itu. Mahasiswa menyampaikan apa yang menjadi sudut pandangnya dan orang-orang tua yang menjadi petinggi kampus juga menyampaikan apa yang dapat mereka lihat dari kacamatanya. Akhirnya, toh tercapai juga kata sepakat. Di sinilah rupanya, peran dari audiensi yang termasuk kunci penting meredam aksi dengan kesepakatan.
Berangkat lebih jauh ke luar. Para demonstran yang kerap beraksi depan istana negara, misalnya. Tidak serta merta aksi itu terjadi, pasti ada latar belakangnya. Aksi hanyalah ekspresi puncak tatkala birokrasi sudah tidak mampu lagi mengakomodir apa yang menjadi kehendak bersama. Setiap aksi tentunya harus ada koordinatornya. Hal ini supaya aksi yang terjadi tidak bersifat sporadis, apalagi anarkis. Sang koordinator harus mengingatkan massa aksi untuk bersikap sopan dan santun. Menjunjung tinggi etika dalam wujud aksi damai.
Yang menjadi batu pikiran saya adalah, apakah para petinggi istana (dalam hal ini yakni pemerintah) selanjutnya mengakomodir massa dalam forum audiensi? Ah, kenapa jadi berbelit begini bahasa saya: apakah pemerintah mau melakukan audiensi dengan para demonstran? Para demonstran, mungkin di mana-mana juga sama, menghendaki sosok nomor satu-lah yang hadir menjawab isu-isu mereka. Ketika si orang nomor satu ini tidak bisa hadir, entah alasan sedang ada urusan atau memang menghindar, orang-orang lain yang ikut menjadi petinggi bisa mewakilinya. Dengan catatan: apapun hasil keputusan harus sepakat! Tidak ada asumsi, sosok nomor satu itu tidak hadir!
Audiensi kiranya memang satu rangkaian dengan aksi. Ibarat kereta api, aksi adalah lokomotif dan gerbong-gerbong di belakang adalah audiensi. Orang-orang yang berkuasa di sana, sudahkah paham konsep ini? Atau paham tapi pura-pura tidak paham, malas dialog karena alasan kesibukan. Secara tidak sadar, justru mereka yang pura-pura ini tengah menunjukkan bahwa mereka penguasa, bukan pemimpin. Kalau mereka pemimpin, tentu mereka lebih mengayomi yang dipimpinnya daripada memupuk kuasa dengan jalan-jalan sana-sini. Ikut seremonial sana-sini.
Sekali lagi, aksi harus disertai audiensi. Audiensi pun harus dilakukan sampai pada titik temu. Meski memakan waktu lama, berjam-jam, berhari-hari, audiensi harus selesai jika sudah sampai pada kata sepakat. Bukankah dalam sila keempat Pancasila, secara tersirat mengajarkan kita, BANGSA INDONESIA, untuk bermusyawarah dalam mencapai mufakat? Dan audiensi adalah salah satu media bermusyawarah itu. Cobalah.

Sabtu, 16 Juni 2012

Permintaan Mimpi


Jika bermimpi di malam hari seperti diputarnya lagu di radio, aku ingin request:
“Sebuah ruangan dengan ubin lantai hijau muda, papan tulis lipat hijau tua, meja dan kursi dari kayu jati, rak buku juga dari kayu jati, deretan jendela yang banyak di sisi kiri-kanan, dan enam lampu neon jenis TL. Malam itu hari Kamis. Satu per satu dari mereka memberikan tebak-tebakan di depan. Meskipun rada ngasal, suasana jadi riuh. Sampai dua orang guru itu juga ikut tertawa.”
Entahlah, saat ini tiba-tiba ingin mendengar suara-suara jayus itu.

Sabtu, 09 Juni 2012

Menjaga Sebaik-baiknya



“Ibarat onderdil motor, suatu saat pasti bakal diganti.”
* * *

Sore itu berjalan seperti biasa, tidak ada yang berbeda. Terik mentari perlahan telah menjelma semburat senja. Sesekali angin sepoi berhembus membelai dahan pepohonan. Langit pun cerah tanpa awan mendung. Dan jari-jemari saya dengan lincahnya terus saja menari di atas tuts-tuts alfabet si komputer jinjing.
Hingga malapetaka itu datang: mati listrik! Lampu kamar yang sebelumnya terang tiba-tiba mati. Cahaya kejinggaan yang menerangi ruangan tiga kali tiga meter tadi seketika berubah hitam. Layar laptop yang semula terang ikut menjadi gelap. Celaka, saya melepas baterai dan menghidupkan si komputer jinjing dengan charger-nya saja.
Tidak sampai tiga menit, listrik kembali hidup. Namun, tidak dengan “si hitam”. Tiga menit yang baru berlalu adalah sebenar-benarnya malapetaka. Si hitam seolah ngambek dan tidak mau masuk ke tampilan Windows. Ketika saya menyalakannya, hanya layar gelap bertuliskan “Starting Windows” yang muncul, menit demi menit.
Saya berinisiatif memasang baterainya, tapi tetap sama. Si hitam benar-benar merajuk. Sepuluh menit. Dua puluh, tiga puluh. Dan pada menit yang keempat puluh, saya habis kesabaran. Tiga kali saya on-off-kan, yang ada hanya dua opsi: Launch (recommended) dan Starting Normally.
Opsi pertama hanya layar hitam dengan tulisan “Windows is loading file”. Sedangkan opsi kedua adalah layar hitam dengan tulisan “Starting Windows”. Oke, mungkin selepas sembahyang maghrib, akan ada kekuatan magis yang dapat menjadikannya normal lagi. Tapi, tetap sama saja. Si hitam tetap tidak mau masuk.
Akhirnya, saya bawa ia ke tempat langganan saya. Di sebuah jalan kecil dengan gapura dari Jalan C. Simanjuntak, dekat El’s Komputer. Beberapa bulan lalu, si hitam dioperasi di sana. Si hitam didiagnosa mengalami kerusakan hard disk akibat benturan dan hanya tindakan transplantasi yang mampu menyelamatkannya.
Kini, entah apa lagi hasil diagnosa mas-mas berjenggot itu. Saya pasrah, mengingat dulu dia sempat mengingatkan juga bahwa baterai si hitam suatu saat juga harus menerima transplantasi. Usia si hitam memang sudah tidak muda lagi. Begitu saya melangkah masuk, mas-mas itu langsung tahu kondisi terakhir si hitam.
Setelah saya kisahkan kronologi kejadian sore itu, si hitam dicoba untuk dinyalakan lagi oleh masnya. Dan, malapetaka berubah menjadi keajaiban. Kok bisa masuk ini? Saya heran, melongo sejadi-jadinya, mengingat kepanikan saya berpuluh-puluh menit sebelum membawa si hitam kemari.
Tidak berhenti di situ, saya mulai bertanya ini itu. Hasil diagnosa selanjutnya adalah si hitam “kaget” karena perubahan tegangan lantaran saya tidak memasang baterainya saat listrik mati tadi. Masnya bilang saya beruntung karena dalam beberapa kasus, hal ini dapat mengakibatkan kerusakan motherboard dengan biaya operasi yang "wah". Oh My God…
Saya pun bertanya lagi soal baterai si hitam yang semakin melemah. Apa jawabnya? “Kalau dari pabrik, garansi setahun. Biasanya, dua tahun minta diganti. Kalau sudah lebih dari dua tahun, berarti baterainya termasuk hebat. Perangkat-perangkat ini ibarat onderdil motor-lah, suatu saat pasti bakal diganti.”
Ibarat onderdil motor… Pikiran saya melayang ke si kuda biru. Onderdil-onderdilnya beberapa sudah ada yang diganti. Pikiran saya juga mendarat ke tubuh sendiri. Onderdil-onderdil di sini (mungkin) suatu saat juga perlu diganti. Jantung. Paru-paru. Ginjal. Liver. Bola mata. Gendang telinga. Adakah toko yang menjual organ tubuh manusia?
Kecuali, kita hidup di masa yang ada seperti dalam film “The Island”.
Kita tidak tahu apa yang bakal terjadi esok hari. Kita tidak tahu benturan atau perubahan tegangan seperti apa yang akan terjadi pada tubuh kita. Namun satu hal yang pasti, menjaga lebih baik daripada mengobati. Onderdil-onderdil dalam tubuh kita ini harus dijaga sebaik-baiknya agar dapat berfungsi lama. Dijaga supaya durabilitasnya tinggi alias tahan lama.
Bersyukurlah menjadi “setubuh” manusia yang sehat.

Selasa, 05 Juni 2012

Berakhir di Jogja


Sekali lagi, keinginan tidak sejalan dengan kenyataan.
* * *

“Kenapa harus Bandung?”
Pertanyaan itu perlahan mengusik batin saya. Ya, begitu banyak pabrik tekstil di Jawa Tengah, khususnya di sekitar wilayah Solo, namun kenapa saya tetap ingin di Bandung. Ada apa di sana? Adakah suatu hal yang istimewa? Sebenarnya, tidak ada apa-apa. Sebab alasan saya memilih Bandung sebagai lokasi kerja praktek (KP) cukuplah sederhana saja: saya ingin berbeda, lain dari yang lain.
Di semester lalu, jauh hari sebelum key-in, saya sudah bolak-balik ke Perpustakaan Fakultas Teknologi Industri Universitas Islam Indonesia (FTI UII). Bukan, saya bukan anak rajin yang lantas ke sana hanya untuk berkutat dengan lembar demi lembar kertas buku. Melainkan ada satu rak di ruang referensi yang saya datangi hampir saban hari. Membuka-buka bundel laporan-laporan KP milik kakak kelas, alias laporan-laporan KP terdahulu.
Riset awal saya sampai pada suatu kesimpulan, yakni daftar pabrik (perusahaan) yang pernah kakak-kakak kelas saya jadikan lokasi KP. Sekilas pun saya tahu, beberapa alumni ada di sana, sehingga riset kasar saya itu juga sampai pada suatu hipotesis: koneksi orang dalam. Hipotesis itu pun berlanjut menjadi analisis, bahwa seperti ada rayon-rayon yang terarah. Rayon yang saya maksud bukan serat sintetis, melainkan jalur seperti pengertian SD anu rayonnya ke SMP anu.
Selepas riset tersebut, saya berselancar di dunia maya. Saya juga berenang dalam daftar perusahaan tekstil yang pernah teman saya berikan. Akhirnya, saya membaca bahwa Jawa Barat dan Jawa Tengah adalah pusat dari sebaran pabrik tekstil di Indonesia. Waktu itu, saya belum tahu jika yang paling banyak adalah di Jawa Barat. Mungkin lantaran di perpus kebanyakan pabrik-pabrik di Jawa Tengah.
Akhirnya, perjalanan saya berhenti di sana. Sebuah lokasi penuh nuansa hijau, sebut saja “A”. Saya buat proposalnya dan meminta surat pengantar ke Bagian Pengajaran. Dan amplop besar coklat itu terkirim melalui Tiki ke alamat yang dimaksud. Seingat saya, saat itu awal Maret 2012. Seminggu berselang, jawaban pun datang, “Saya rasa tidak ada masalah di bulan itu, kalau sempat nanti ke sini dulu saja.”
Girang bukan kepalang. Terlebih saat itu baru saya yang sudah “pasti” diterima. Pasti dalam tanda kutip karena baru diketahui secara lisan, belum ada hitam di atas putih. Ketika ada waktu sela, saya berangkat ke Bandung. Senyum-senyum sepanjang perjalanan. I come to you, Bandung… Namun, senyum itu esok harinya menjelma muram. Mengganjal dalam hati. Untuk sekian penjelasan yang tidak perlu saya ekspos, saya “ditolak”. Kalimat-kalimat yang berputar-putar itu pada intinya saya tahu, saya dianggap sebagai “ancaman”, dikhawatirkan mengganggu produktivitas. Lalu, kenapa saat di telepon Anda mengatakan “tidak ada masalah”...?
Siang itu juga, saya diajak paklik berkeliling ke lokasi lain. Lokasi yang lebih variatif: sepanjang Jalan Rancaekek. Ada pabrik serat sintetis, pencelupan, pertenunan, dan juga sektor yang paling banyak “ditanamkan” di kepala saya selama ini: pemintalan. Saya berpesan kepada paklik untuk tidak membawa saya ke tempat-tempat berbau pemintalan kapas. Bosan. Namun demikian, lagi-lagi jawaban yang saya terima senantiasa sama. Pintu demi pintu yang saya datangi kembali memberikan jawaban yang nyaris serupa, “Selama ini belum ada, Dik, bukannya kami tidak ingin, hanya saja nanti tidak ada yang membimbing, kami kan juga mengejar target produksi.”
Bandung.., oh Bandung.., segitu sensitifnya soal “produktivitas”….
Sore harinya, kami pun pulang ke Cibiru. Lelah. Sepeda motor hitam biru itu jadi saksi perjalanan kami satu hari tadi. Malam harinya sebelum naik Budiman, paklik berujar akan mencoba mengusahakan lewat orang dalam. Paklik dan bulik ternyata memiliki kenalan orang dalam. “Kalau tahu kamu mau di Bandung, saya bilang ke teman saya, Bud,” kata paklik. Iya sih, salah saya juga tidak koordinasi dengan paklik.
Di kampus, saya bicarakan apa yang saya alami di Bandung kepada Pak Sekjur. Beliau menawarkan alternatif, seperti ke “C” atau ke “S”. Saya putuskan untuk menunggu kabar dari paklik. Beberapa hari setelah itu, kurang lebih ada empat sampai lima nama yang ditawarkan paklik untuk saya. Saya pilah-pilah, ada yang pabrik poliester, ada pabrik embroidery, ada pabrik rajut, dan ada juga pabrik tujuan utama saya: pencelupan. Saya mulai dengan “P”, saya kirim data-data yang diminta via e-mail. Beberapa minggu berselang: penolakan. Saya coba lagi dengan “W”, kali ini saya kirim data-datanya via pos, terlebih paklik bilang yang ini sudah pasti menerima. Satu lagi ada “V” yang juga menerima, tetapi saya pilih “W” karena “V” itu modelnya ada juga di Jogja.
Dan penolakan itu terjadi lagi, namun kali ini bukan soal produktivitas. Ada teman dari kampus lain yang juga mengajukan ke sana, perusahaan lebih memilih dia daripada saya. Karena dia dari kampus Bandung dan saya dari kampus Jogja? Ah, tidak tahu juga. Waktu itu sudah masuk akhir Mei 2012. Saya sudah tidak bisa berpikir jernih mengingat bulan Juli sebentar lagi. Saya pun menghadap Pak Sekjur, mengutarakan niat saya untuk di Jogja saja, di “J”, berdua bersama teman satu kelas. Sebelumnya, beliau juga menyarankan ke beberapa tempat, sama seperti saya dari Bandung kemarin, dipilihkan di Semarang atau Purwakarta. Namun saya memilih untuk di Jogja saja. Pencarian ini akan berakhir di Jogja.
Paklik sebenarnya masih menawarkan opsi lain, ke “B” dan ke “S”. Tapi saya sudah capek, lelah ditolak sana-sini. Kalau ditolak dalam hitungan hari masih mungkin dilanjut, tapi ini ditolak dalam hitungan minggu. Harus berapa minggu lagi saya lalui dengan ketidakpastian. Terlebih saya juga tidak enak dengan jurusan karena bolak-balik kabar ini-itu tapi nyatanya ditolak juga. “Ke yang pasti-pasti saja,” nasihat itu menggema di sistem audio saya.
Pupus sudah harapan untuk berbeda, menjadi beda untuk sesuatu yang baru. Jika dipikir-pikir, toh tidak hanya saya yang mengambang begini. Teman-teman saya juga sama, masih pada mengambang. Belum sampai ke tepian. Lantas, inikah yang dimaksud tekstil membutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang fresh? Inikah yang disebut tekstil butuh tenaga-tenaga baru untuk mengimbangi tenaga asing?
“Kayaknya tiap perusahaan punya formulasi tersendiri yang tidak boleh dipublikasikan, itu sulitnya. Oleh karena itu, alasannya macem-macem. Saya udah menemui managernya, tapi keputusan ada di tangan direktur/bosnya. Coba nanti setelah selesai kuliah, kamu coba bikin lamaran kerja, pasti beda,” hibur paklik menanggapi kandasnya impian “kecil” saya. Kelak, saya saksikan apakah ada beda antara status “mahasiswa” dengan status “sarjana”. Apakah cita-cita saya berkontribusi tekstil mendapat respon negatif ataukah positif…
Selasa, 29 Mei 2012. Surat jawaban itu syukurlah sudah di tangan saya. Hitam di atas putih itu kini nyata, bukan lagi sebatas awang-awang. Saya sudah sampai ke tepian, tak lagi mengambang. Tidak ada lagi kata tidak ada pembimbing. Tidak ada lagi kata mengganggu produktivitas. Tidak ada lagi kata nanti saya bicarakan dulu dengan pimpinan. Sekarang, semuanya jelas, nyata. Sampai jumpa, 02 Juli 2012.