Jumat, 24 Juni 2011

Butir-butir Nasi


Butir-butir Nasi
Karya: Ahmad Satria Budiman



Aku berawal dari peluhnya
Aku tercipta oleh langkah kakinya
Aku lahir lewat tangan kerasnya
Aku ada karena jerih payahnya

Tegakah kau melihatku di sini?
Tercecer di piring
Dan bersiap untuk masuk saluran pembuangan..

Aku berawal dari peluhnya
Aku tercipta oleh langkah kakinya
Aku lahir lewat tangan kerasnya
Aku ada karena jerih payahnya

Tegakah kau menyaksikanku di sini?
Teraduk-aduk anjing
Bersama sampah organik-anorganik lainnya..

Aku berawal dari peluhnya
Aku tercipta oleh langkah kakinya
Aku lahir lewat tangan kerasnya
Aku ada karena jerih payahnya

Tegakah kau membiarkanku di sini?
Basi lantaran lama didiamkan
Berbau, sebab tak kunjung dimakan
Ditanak berlebihan

Aku berawal dari peluhnya
Aku tercipta oleh langkah kakinya
Aku lahir lewat tangan kerasnya
Aku ada karena jerih payahnya

Tegakah kau denganku kini?
Ditarik ulur para tengkulak
Diekspor padahal (katanya) surplus
Tak lagi jadikan Macan Asia..

Aku berawal dari peluhnya
Aku tercipta oleh langkah kakinya
Aku lahir lewat tangan kerasnya
Aku ada karena jerih payahnya

Akulah alasan raga yang kuat
Akulah butir-butir nasi malang




___________________________________________________

NB. Naskah ini diikutsertakan dalam Sayembara “Indonesiaku?” yang diselenggarakan LPM Profesi FTI UII. Naskah telah dimuat di buku “Antologi Puisi LPM Profesi FTI UII”, terbit Juni 2011.

Kamis, 23 Juni 2011

"Itu Ceritaku, Apa Ceritamu?"


Sore itu, ketika kepala masih rada berasap setelah mengikuti UAS makul PTK, sebuah pesan singkat masuk ke ponsel. Isinya membuat saya ngakak tertahan. Cukup menghibur setelah 90 menit bergelut dengan reaksi dan rumus-rumus.
Tapi sebelum saya tulis di sini, saya ingin mengatakan bahwa ini murni sebatas joke atau lucu-lucuan saja. Tidak ada maksud untuk menyinggung atau merugikan pihak-pihak tertentu, oke?
Berikut kutipannya yang sudah saya modifikasi dengan sedikit perubahan:

“Waktu nyantri di Zae dulu, yang paling aku cari.., ya Indomie.. Habis di sini, di mana-mana nggak ada yang jual.. Untungnya, aku dapet izin keluar buat ambil uang di ATM.. Aku bela-belain jauuuh ke Haurgeulis.., cuma buat, beli Indomie.. Itu ceritaku, apa ceritamu?”

Wkwkwkwkwk….. :D
*laugh

NB. Sekali lagi ini cuma buat lucu-lucuan ya..!

Sabtu, 18 Juni 2011

Ten Things About Me


“Aih.., what is that..,” screamed my heart when I got this task. Maybe for the next, I will mention it as a “game” because I didn’t see any formula here. Something called task if there were theoretical explanation and its formula, so it could be done, hehe..
This game forwarded by Mas Huda and Mbak Rabest. Thank you to both of you. I decided to write it in English. I want to more practice my English ability in writing. Well, to not waste the time, let’s check this one out:

Ten Things About Me
  1. Love cat very much
Since I was in elementary school until now being a college student, I like that furred creature. Though lazy and sometime dirty, they were so funny. And finally, I infected by Rubella disease. Last time in blood check up, the number still range in a hundred. Pray for me to get the negative, okay.., thanks..
  1. Hate cockroach very much
Every find this closet citizen, I transformed to be a psychopath. I always wanna beat them for dear life. I had some bad memories with them. They have “annoyed” my eyes while I slept in the night, when I was child. That’s why until now, I always obsess to kill when I saw them!
  1. Bad in public speaking
I am a silent person, that was I mean. I rather difficult to open my self to other people. Yeah.., I really know this is the most one of my weakness..
  1. Have a good handwriting
Even though the point number 3, I have a good writing in hand. Many others said it was neat and clean too. I often asked to write the lesson in front of the class, on the board. From the elementary until the senior high. Seldom again for now.. Maybe, it also has been one of the reason why I often believed in secretary or treasurer in job position.
  1. Do not smoke
I don’t smoke. But I was born in two sides of family type. One side enjoyed smoking, and the other didn’t. Though I don’t smoke, I am a passive smoker. You know why, because almost in everyplace, there were so many people smoke, smoke, and smoke.. Oh dear..
  1. Like eating lobster
Lobster can make some people being allergy in itch skin. But for me, lobster is nyummy, so delicious, hoho.. I like it in every kind of food, such kerupuk, bakwan, bakso, sate, noodles, etc. Something that regretted me is the price of lobster was rather expensive, huhu..
  1. Laugh with Mr. Bean
Do you know this foolish man? Haha.., I never bored to watch everything about him in television or movie. I known him for the first time in Putra Remaja bus.. That time, I was a small boy who travelled from Palembang to Yogyakarta. And in the bus, Mr. Bean turned on in its television. Rowand Atkinson became my favorite humor figure. You have to watch Mr. Bean’s Holiday too, wkwkwk…
  1. Cold allergic
I admit that I have a bad body immune. I am tall person, but thin. Don’t say me “lamp pole” or “bamboo tree”, please.., okay.. I don’t hold out with cold weather. Better for me hot than cold. Hot could be neutralized by fan, air conditioner, or swing. But cold? I just rely on my jacket, gloves, and socks. What a pity..
  1. Not smart in sport
I also admit if I am not smart in sport. You know what, I just interested in badminton and bicycling. Maybe, that’s way I am tall but thin.. I only focus in badminton. (stupid theory) About bicycling, maybe it caused by Al-Zaytun School which often made me walked from one place to the other by bicycle. The conclusion from this telling: don’t discuss sport with me, because I am not the right man to asked, hihi..
  1. Ambition to graduate in September 2013
Finally, I just wanna tell you if I have a a plan to graduate in September 2013. Graduate on time, not graduate in the exact time; that was my philosophy. Agree or not, it depends on your freedom, right..?

Thank you for knowing me so far after read this writing.. Now is time for me to tag this game to ten people. I present it to: DesiMeyta WiwinIchiMayaBayuI-oneAyi – and my new friends: DillaSafya.
The rules are: You have to write ten things about yourselves, then you tag again to ten people, you also tell in their blog if you tag them, but you don’t tag back. By the way, you can try it in Indonesia.. Okay, don’t wait too long, have a fun.. :D

Kamis, 16 Juni 2011

Menembus Kabut Mojosemi (Bagian 3)


Namun siapa sangka, perjalanan pulang kembali ke Jogja akan lebih penuh hambatan daripada saat berangkat..
Ketika sayup-sayup terdengar adzan maghrib di kejauhan, kami semua pergi meninggalkan Sekipan. Pergi untuk kembali pulang ke Jogja. Petang menjadi saksi pada dua belas kuda mesin dengan lampu-lampunya yang tengah menyusuri jalan berbatu, naik dan turun menuju jalan raya. Hebatnya, Smash-ku kuat-kuat saja. Padahal terakhir ke Sekipan, dia harus dituntun untuk bisa sampai ke jalan raya. Syukurlah, penggantian gear belakang itu cukup ada efeknya.
Setelah memastikan semua anggota lengkap, kami segera meluncur di jalan raya. Meluncur dengan kecepatan relatif tinggi karena jalan yang dilalui banyak turunannya. Turunan dan juga belokan. Lampu-lampu kendaraan lain berpadu dengan lampu-lampu kuda kami. Pun begitu dengan lampu-lampu rumah penduduk yang terletak di kanan-kiri jalan. Petang sudah berganti malam.
Kami terus meluncur dan meluncur. Sejauh ini, perjalanan sangat lancar. Semua kuda berpacu dengan kecepatan masing-masing, melawan angin malam pegunungan. Jaket, sarung tangan, dan sepatu yang kukenakan berhasil membuatku tidak menggigil lagi seperti saat melewati hujan kabut tadi. Sesuai kesepakatan, kami selanjutnya berhenti di sebuah SPBU yang ada di Delingan untuk beristirahat sejenak. Delingan merupakan daerah yang tidak jauh dari jalan masuk Kabupaten Karanganyar. Lepas itu, kami nantinya sampai di Solo.
Sekitar setengah jam, kami melepas penat. Ada yang memberi minum kuda-nya dengan Susu Premium (pagi minum jus, malam minum susu), ada yang menunaikan shalat berjama’ah, ada yang meneguk isi botol air mineral, ada yang asyik dengan rokoknya, ada juga yang sekadar ngobrol sambil tertawa-tawa. Setelah itu, kami kembali bergegas.
Kuda-ku sudah tidak lagi mengeluarkan suara seperti orang ngejan. Sebab jalannya sudah penuh dengan turunan. Spidometer menunjukkan kisaran laju kami antara 80-100 km/jam. Seakan melesat ingin menyamai kecepatan angin malam yang sesekali menerpa kami. Gelap di kanan-kiri jalan ketika rumah-rumah penduduk sudah digantikan lagi dengan wujud pohon-pohon dan sawah-kebun yang terhampar.
Tidak lama kemudian, kami tiba juga di Kota Solo. Kami lagi-lagi berhenti sebentar di sebuah minimarket. Dikira mau cari apa, eh taunya minuman berenergi. Itu lho, minuman dalam botol kecil yang bisa membuat mata tetap melek alias nggak bikin ngantuk.. Minuman yang kalau terlalu sering dikonsumsi berpotensi menyebabkan gagal ginjal. Jadi ingat salah satu dosen yang beberapa waktu lalu barusan anak-anak tekstil jenguk, beliau terkena gagal ginjal lantaran sudah tujuh belas tahun menderita diabetes.. Sekarang, setiap hari Selasa, beliau cuci darah dari pukul 9 pagi sampai pukul 2 siang di Sardjito.. Beliau berpesan kepada kami untuk tidak terlalu sering mengonsumsi minuman sejenis itu, hmm..
Kami berangkat lagi. Nah, di sinilah hambatan pertama dimulai. Karena Solo adalah kota yang jalannya cukup ramai, sebagian dari kami tersesat alias nyasar..! Ada beberapa kuda yang seharusnya belok kanan di sebuah pertigaan, eh.., mereka malah lurus. Aku dan Mami termasuk ke golongan orang-orang yang tersesat itu, hoho.. Tapi untungnya, kami cepat bertindak untuk putar balik, jadi tidak nyasar terlalu jauh.
Sekitar setengah jam, kami saling berkoordinasi untuk mengetahui posisi masing-masing. Setengah jam, kami saling telpon sana-sini untuk memberitahu satu sama lain. Akhirnya, setelah dipastikan lengkap dan diketahui masing-masing sedang berada di mana, kami tancap lagi. Mengegas sekencang-kencangnya di jalan pinggir Kota Solo. Hmm, lewat pinggir kota saja bisa terpisah begini, apalagi kalau lewat tengah kota, ckckck..
Di suatu sudut jalan, kami bersatu kembali. Dua belas kuda dengan namanya yang beragam, dengan lampu penerangan masing-masing. Kami kembali membelah jalan malam itu. Jalan tembus yang di kanan-kiri-nya gelap karena di sana banyak sawah dan kebun. Jalan tembus yang sesekali berlubang. Salah sedikit, bisa membuat perjalanan tidak nyaman. Salah sedikit, bisa membuat pantat yang sudah serasa seperti dicambuk makin terasa perih. Ya am..plop..
Perjalanan pulang termasuk cepat. Kami sudah masuk jalan tembus yang menghubungkan Solo dengan jalan besar menuju Klaten. Sesaat kemudian, kami pun sampai di jalan besar itu. Berpacu semakin kencang menuju Kota Klaten. Dan sesampainya di Klaten, kami semakin kencang menuju jalan besar yang menghubungkan Klaten dan Jogja.
Jalan besar itu masih saja sama dengan siang harinya. Bus-bus antar kota, truk-truk besar, dan mobil-motor pribadi masih memenuhi ruas-ruas jalan. Di jalan besar inilah, hambatan kedua dan ketiga terjadi. Selepas lampu merah keluar dari Klaten, kami semua tiba-tiba saja menepi. Kuda-ku yang ada di barisan depan tidak tahu ada apa yang membuat semua kuda sontak meminggirkan dirinya ke tepian jalan.
“Si anu tidur,” kata salah seorang temanku asal.
Apa? Tidur? Mengendarai sepeda motor kok tidur? Ooh.., ternyata matanya sakit, jadi agak menyipit begitu. Jadi dikira tidur.
“Tapi tadi hampir nyenggol truk kok,” kata yang lainnya.
Ah.., aku tidak tahu pastinya. Mereka ribut sana-sini. Semua mengerubungi si pengendara kuda yang tadi katanya tidur. Yang jelas kalau memang mengantuk, sebaiknya berhenti dulu agak lama. Daripada jalan lagi terus mata terpejam tanpa sadar? Kalau oleng, bisa-bisa wassalam kan..
“Kuncinya ada yang jatuh,” kata suara lain.
Haduh-haduh, apa lagi ini, pikirku.. Dan ternyata ada satu kuda yang karena tempat kuncinya sudah longgar alias dol, kuncinya jatuh entah di mana. Jadilah, tidak ada kunci pada kuda yang satu itu. Untung, akinya belum mati, motor matik ceritanya. Jadi masih bisa nyala mesinnya. Yang jadi masalah adalah bensinnya. Sudah tinggal setengah. Gimana kalau di jalan tiba-tiba bensinnya habis, kan kuncinya hilang, jadi nggak bisa buka jok-nya..
Setengah jam mungkin ada buat kami berdiskusi tentang bagaimana baiknya. Akhirnya, diputuskan kami berjalan lagi saja. Supaya lekas sampai Jogja lagi. Benar juga sih, yang penting sampai dulu di kota tercinta. Kami kembali memacu kuda masing-masing di jalan besar itu. Kecepatannya masih di kisaran 80-100 km/jam. Malam benar-benar membuat kami ingin segera cepat sampai di huma. Penat di badan ingin segera dilepaskan. Begitu juga pantatku yang baru saja “dicambuk” ingin segera mendarat di tempat yang empuk semacam busa. Sakit, panas, dan perih sekali; astaghfirullah..
Di jalan besar itu lagi-lagi terjadi hambatan yang keempat. Di belokan jalan tembus menuju Jalan Kaliurang, kami berbelok di tempat yang berbeda-beda. Kami kembali terpisah. Tapi, sudahlah.. Toh, ini sudah dekat juga dengan Jogja. Kami akhirnya berjalan sendiri-sendiri, sendiri-sendiri dengan jalannya masing-masing. Saat itu, kuda-ku hanya berdua saja dengan kuda lainnya. Jadilah kami berdua membelah malam jalan tikus yang sepi.
Malam semakin memuncak. Kami pun semakin kencang melaju. Tiba-tiba badanku kembali gerak-gerak sendiri. Dasar payah.. Padahal tidak ada kabut. Mungkin karena angin malam. Karena waktu itu, sudah jam sembilan lewat, sudah hampir jam setengah sepuluh. Angin malam pun membuat badanku menggigil walau tidak separah di Mojosemi tadi.
Kami sampai juga di aliran Kali Gendol. Ternyata.., kalau malam lebih mencekam! Pagi tadi selain truk yang lalu-lalang, ada juga warga yang beraktivitas. Tapi malam ini sunyi sekali. Hanya satu-dua truk yang melintas, dan juga kuda kami berdua. Ada penampakan nggak ya, hihi.. Hush! Ngaco lagi dah!!! Setelah melewati Kali Gendol, kami kembali memacu kencang laju kuda kami. Aku yakin pasti sudah jam sepuluh! Dan benar saja, ketika kami sampai dengan selamat tanpa kurang suatu apa di boulevard, layar ponselku menunjukkan angka 22.08. Setelah itu, matilah dia karena batrenya habis. Seolah ingin memberitahuku jam berapa ketika itu, kemudian dia “pergi tidur duluan”. Halah-halah, dasar ponsel payah..
Puji syukur, akhirnya satu demi satu kuda tiba di kampus. Saat kami berdua sampai, ternyata sudah ada yang sampai duluan. Kami berdua sampai tengah-tengah karena setelah kami masih ada kuda lain yang berdatangan. Touring pun selesai, menyisakan cerita beda-beda. Ada yang karburator-nya rusak, ada yang rem-nya blong, ada yang nyasar, ada yang ngantuk di jalan, ada yang kunci-nya hilang, eh.., dengar-dengar ada yang jatuh malam itu waktu melewati aliran Kali Gendol Merapi..!
Bagiku, perjalanan ini juga menyisakan cerita tersendiri. Cerita tentang Payung Awan, Bukit Terasering, dan Hujan Kabut. By the way, bukannya norak karena baru merasakan hujan kabut sekarang.. Dulu pas di Sekipan juga pernah sih, tapi kan kondisinya di alam bebas. Jadi ketika kabut turun, tinggal berlindung di tenda. Tapi yang ini lain. Yang ini kabut turun saat kami sedang melintas di jalanan, kami masuk ke hujan kabut itu, dan kurasakan sendiri sensasi magis yang membuat badanku bergerak-gerak sendiri.
Satu catatan penting, selain karya seni Tuhan di Mojosemi.
Estimasi waktu sepertinya penting dalam sebuah perjalanan. Kami berangkat jam setengah sembilan pagi dan sampai jam sepuluh malam. Dihitung dengan kendala di jalan, ada sekitar dua jam waktu terbuang. Jika tadi kami berangkat jam tujuh tepat, mungkin sampai lagi jam setengah sembilan. Kalau tidak dihitung kendalanya, syukur-syukur jam setengah tujuh-lah.. Dua jam itu bisa masuk ke safety time. Jadi, perkiraan waktu itu penting, oke..
Ah, sekarang waktunya pemulihan. Bagiku, pemulihan pantat yang sudah dibawa PP dari pagi sampai malam dengan medan yang penuh tanjakan, belokan, dan jalan berlubang. Buat Smash biru-ku: I say thank you so much for today, you have done and shown your best.. Though you couldn’t climb properly, you were so meaningful for me.. Jadi ingat kata teman perempuan-ku yang lain, tadi di warung makan dekat Cemoro Sewu. Dia memang pernah merasakan sendiri kerasnya perjuangan Smash-ku mendaki jalan ke Ketep. Katanya, “Kalau sudah gini, berarti emang motornya, Bud, yang mesti diganti..” Hahaha, kami tertawa-tawa saja.
Setiba di kamar, setelah ber-sms sebentar dengan seseorang yang masih terjaga tengah malam itu, setelah memosisikan bantal di bawah pantat, aku pergi lagi. Pergi tanpa sempat mandi, hihihi… Kali ini, berangkat menuju alam mimpi. Bermimpi tentang Payung Awan, Bukit Terasering, dan Hujan Kabut. Kali ini, tanpa ditemani Smash, karena dalam imajinasi itu, aku melayang-layang di udara. Memandang tak jemu-jemu sembari bertasbih. Mengepak sayap seorang diri, lalu menjadi seekor burung yang tengah bertengger di sebuah ranting pepohonan. Ah, namanya juga mimpi, setiap orang bebas merangkai mimpinya, bukan begitu..?
(selesai)

Rabu, 15 Juni 2011

Menembus Kabut Mojosemi (Bagian 2)


“Bud, ayolah kita doa dulu supaya motormu kuat naik jalan kayak gitu,” usul Mami sambil tertawa-tawa dan menunjuk-nunjuk jalan miring jauh di sana.
Haha, aku malah ikut ketawa. Oke, kudaku kembali berada di urutan depan, tapi di tanjakan pertama yang merupakan bagian dari jalanan miring tadi, wush-wush-wush.., satu demi satu kembali menyalip..!! “Ayo Bud, semangat,” semua kembali mengepalkan tangannya seolah sebagai permintaan izin untuk menyalip. Lagi-lagi berada di urutan nomor tiga dari belakang. Naik, naik, dan naik. Lagi-lagi 20-30 km/jam. Lebih ekstrem daripada sebelum-sebelumnya.
Lepas Lawu Resort, lepas Cemoro Kandang. Akhirnya, kami berhenti lagi. Sekarang berhenti-nya agak lama karena di warung makan yang terletak persis di Gapura Cemoro Sewu. Kami memutuskan untuk makan siang dulu. Oiya, Cemoro Sewu itu sendiri merupakan bagian dari Pos Pendakian Gunung Lawu. Di papannya tertulis: 3265 DPL. Dinginnyaaa…, brrr… Puncak Mahameru saja tingginya 3676 meter dpl. Dalam pikiranku terlintas, “Berarti udara di Mahameru tidak jauh beda dengan ini..”
Masing-masing memesan menu. Ada beberapa orang yang mengkoordinir. Nasi soto, nasi rames, atau nasi goreng. Minumnya kebanyakan pesan teh hangat. Sambil menunggu pesanan datang, aku dan beberapa teman memutuskan untuk menunaikan shalat zhuhur di sebuah masjid yang tidak jauh dari situ. Subhanallah… Airnya lebih dingin daripada air kulkas! Kran air untuk berwudhu aku alirkan kecil saja, percik demi percik lalu membasahi sebagian anggota badanku. Brrrrr…
Setelah shalat, sambil menunggu pesanan lagi, aku dan beberapa teman mencoba melihat-lihat ke dalam Cemoro Sewu. Sesekali angin berhembus dingin, dingiiiiinn.. Dari sini, kulihat kabut semakin tebal nun jauh di sana. Semoga tidak turun hujan. Eh, ada yang buang angin alias kentut coba.. Dia kentutnya di belakang, tapi kenapa aromanya sampai juga ke yang di depan, haha.. Udara yang aneh! Cukuplah, tidak perlu dibahas lagi sifat manusiawi yang ini.
Kami kemudian makan. Sesudah itu, berfoto sebentar, ada juga sebagian yang bertanya ke penduduk sekitar. Aku menunggu mereka selesai dengan duduk di sebelah bunga mawar yang tumbuh di depan warung.
“Bud, bunganya boleh aku petik nggak?” tanya seorang teman perempuan.
“Boleh,” jawabku sekenanya, padahal mawar itu tumbuh di area terbuka yang bisa dilihat banyak orang. Ada empat cabang kumpulan bunga yang sedang merekah.
Eh, dia langsung memetik salah satu kumpulan bunga tadi.
“Lho, emang boleh dipetik ya?” tanya teman perempuan lainnya.
“Tadi kata Budi boleh…”
Nah, mulailah rame.. Kalimat “kata Budi boleh” mulai jadi bahan pembicaraan.. Mulai pada rebutan untuk ikut metik juga.. Wah gawat, kabur ah..
Setelah naik kembali ke Smash biru, aku lalu ngeles, “Kalau hanya satu kan tidak akan merusak keseimbangan ekosistem..” Halah-halah.., ini nih tingkah anak KPTH setelah tidak lagi beraktivitas di Lab. Kuljar, jadi tidak peka lagi dengan lingkungan, hohoho..
Kami melanjutkan perjalanan. Layar ponselku menunjukkan jam dua-an. Jalan relatif stabil. Sesekali menanjak, sesekali menurun. Selepas Cemoro Sewu itulah, kabut yang dari tadi kulihat mencapai puncak ketebalannya. Kabut mulai menghampiri kami, kabut itu menyambut kami. Seolah ingin mengucapkan salam, dia turun semakin lebat, lebat dan lebat.. Semua kuda memastikan lampu sudah menyala. Jarak pandang semakin berkurang. Kabut itu memberikan sensasi yang benar-benar dingin. Dinginnya melebihi AC. Di kanan-kiri jalan pegunungan tampak batu-batu besar yang seakan-akan mau runtuh. Ada papan peringatan bebatuan runtuh kok di pinggir jalan.
Kabutnya semakin keroyokan sekitar dua kilometer-an.. Tiba-tiba, badanku bergerak-gerak sendiri. Dimulai dari betis, paha, lalu ke pundak. Haduh, kenapa pula ini…
“Budi, kamu kedinginan ya?” tanya Mami.
“Iya kali nih..”
“Mau pakai jaketku nggak?”
“Ah, nggak usah, nggak papa kok..”
Sambil fokus ke jalan, aku menyugesti diri sendiri sambil menarik dan menghembuskan nafas. Tenang, ini hanya kabut, tarik nafas, hembuskan.. Tarik nafas, hembuskan.. Tapi badanku tetap saja menggigil. Bergerak-gerak sendiri. Aku sendiri tidak pernah ingin seperti ini, aku tidak mau menggigil. Tapi kok ya ini badan masih saja gerak-gerak, hmm..
Setelah kabut mulai menipis, tampaklah keindahan itu.
Subhanallaah.. Subhanallaah.. Subhanallaah..
Di balik dinginnya kabut Mojosemi, tersibaklah lukisan Tuhan itu. Jauh di sana, pemukiman penduduk yang terlihat dari balik gunung, seperti dipayungi awan. Bagus sekali. Ada lagi yang lainnya. Jauh di sana, tampak pesawahan (atau perkebunan) yang selang-seling ada rumah-rumah, juga sama seperti sedang dipayungi awan. Indah memesona, subhanallaah..
Ah, walaupun medannya sulit, penuh tanjakan dan hujan kabut, ternyata Mojosemi punya keindahan tersendiri. Setiap penyair pasti akan menggerakkan penanya untuk berpuisi. Setiap pelukis pasti akan menyapukan kuasnya untuk menggambar keindahan itu. Setiap fotografer pasti juga akan menyimpan pemandangan itu dalam kameranya. Sungguh indah, indah sekali.. Betapa pencipta semua itu memiliki kuasa yang agung. Allaahu akbar..
Sepuluh kilometer dari Cemoro Sewu, sampailah juga kami di Wana Wisata Mojosemi. Jalan masuknya penuh dengan bebatuan, menanjak lagi jalannya. Cewek-cewek disuruh turun, diminta jalan kaki saja sejauh 500 meter. Mendaki jalan menanjak yang penuh batu-batu. Cowok-cowoknya membawa kuda masing-masing. Ngek-ngek-ngeeekkk… Lagi-lagi seperti orang ngejan..
Sesampainya di atas, rupanya sedang ada pelatihan pramuka. Kulihat layar ponselku sudah hampir pukul tiga sore. Setelah rombongan cewek sampai dengan agak misah-misuh karena disuruh jalan (hihi..), kami segera melakukan olah TKP. Ada yang bertanya kepada pengelola tempat, ada yang melihat kondisi wana wisata, dan lain-lain.
Tempatnya sih bagus, tapi nggak ada warungnya. Nggak ada warung makannya. Pemukiman warga pun terletak sekitar 700 meter dari sini. Udara di sini tidak jauh berbeda dengan Wana Wisata Sekipan. Dinginnya sih sama, hanya kalau ke Sekipan tidak lewat hujan kabut seperti tadi. Sekipan pun relatif dekat dengan pemukiman warga. Airnya juga sama, sama-sama seperti air kulkas. Ketika duduk di ubin yang ada di salah satu bangunan gedung Mojosemi, malah serasa kayak duduk di atas balok es. Pantat sudah sakit, duduk di atas es pula, hmm..
Di salah satu spanduk yang ada di sana, kubaca kalimat itu: Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Waw.., ternyata ini sudah masuk Jatim. Sudah bukan bagian dari Karanganyar lagi. Berarti kami semua berkendara Jogja-Jatim, hebat-hebat.. (norak deh lu, Bud!!). Setelah dirasa cukup, kami pun pulang. Tapi masih mau mampir ke dua tempat dulu. Kami melewati jalan yang sama. Kalau jalan yang tadi diteruskan, akhirnya nanti malah sampai Ngawi. Ngawi-Jogja sekitar empat jam.
“Kalau lewat tadi, berarti ntar ketemu kabut lagi ya, Mi.. Ntar badanku gerak-gerak sendiri lagi donk…” haha, kami tertawa. Kali ini, ceweknya tidak jalan lagi. Kami menuruni jalan bebatuan sambil boncengan dengan penuh kehati-hatian. Batu demi batu kami lewati sampai ke bawah, sampai ke jalan raya.
Setelah lengkap sampai di bawah semua, perjalanan dilanjutkan. Kini, tujuan kami adalah Lawu Resort yang terletak tidak jauh dari Cemoro Kandang. Kuda biru-ku alhamdulillah sehat-sehat saja. Walaupun tadi sempat berkali-kali seperti orang ngejan, sekarang sudah stabil. Nah, lagi-lagi hujan kabut. Dinginnya, masya Allah.. Badanku mulai gerak-gerak lagi. Lagi dan lagi. Tarik nafas, hembuskan.. Tarik nafas, hembuskan.. Sampai keindahan itu terlihat lagi. Kali ini, di salah satu bukit yang menjulang ke atas.
Bukit terasering. Area pesawahan yang disusun menyerupai tangga. Sambil sesekali anak mataku mengintip ke sela-sela jurang di kanan-kiri jalan. Pemandangan payung awan yang tadi. Sambil mengendalikan badan yang menggigil dan sembari fokus ke jalan raya, berkali-kali kuucapkan tasbih menyaksikan karya seni Tuhan itu. Aih.., kalau kamera ponsel-ku bagus, ingin rasanya berhenti sebentar. Tiga menit saja deh buat memotret semua itu. Sayangnya, kamera ponsel-ku tidak terlalu bagus. Jadinya, keindahan itu diabadikan dalam bentuk tulisan saja..
Wah.., ternyata kuda yang baru saja “dioperasi” karburatornya tadi masih belum fit benar. Dia masih tertinggal di belakang bersama sweeper. Sedangkan mereka lainnya sudah pada duluan bersama leader. Mereka menunggu di Cemoro Sewu. Setelah hujan kabut yang menyiksa, akhirnya disiram juga dengan sinar matahari sore di Cemoro Sewu, walaupun nggak panas-panas amat. Setelah kuda lengkap semua, perjalanan lanjut lagi.
Sekarang, mulai banyak turunannya. Jadi, urutan kuda-ku tidak di belakang lagi. Turun dan turun. Turun dan terus turun. Sebentar kemudian, kami berhenti lagi. Lho? Ooh.., ternyata ada satu kuda lagi yang memerlukan bantuan. Kaki belakangnya tidak bisa berhenti alias rem belakangnya blong! Bahaya kan.. Jadi dari tadi di jalan turunan, dia mengerem dengan rem depan saja.
Istirahatlah kami di klinik atau bengkel itu. Waktu itu jam empat sore. Beberapa dari kami mengisi waktu dengan menunaikan shalat ‘ashar di masjid terdekat situ. Kembali berwudhu dengan air kulkas. Pikirku, “Kok orang-orang di sini betah ya, hidup dengan air sedingin ini…” Dan temanku menjawab, “Kalau mereka ke Jogja, malah rasanya nanti air panas buat mereka.” Ah, ada-ada saja..
Seusai shalat, ketika kembali mengenakan sepatu, aku merasa pantatku sudah sampai level “dicambuk”. Sakit sekali.. Perasaan.., bermotor dari Sepanjang sampai Sumobito atau Surabaya-Jombang saja sudah sakit. Lha ini, Jogja-Tawangmangu PP! Biasanya yang satu setengah jam saja sudah sakit, lha ini enam jam-an.. Ampun dah.., benar-benar seperti barusan dicambuk! Gilee.., tapi pantatnya nggak lepas kok, masih nyantol kok, hehe..
Akhirnya, operasi rem belakang selesai. Kami kembali berkendara menempuh turunan demi turunan. Sampai di Lawu Resort. Di sana, sinar matahari sore benar-benar dominan. Udara terasa hangat, tidak terlalu dingin lagi. Di kanan-kiri, tampak pepohonan tinggi menjulang. Setelah urusan selesai, kami kembali lanjut. Terakhir ke tempat yang sudah tidak asing lagi: Sekipan. Ke Sekipan akhirnya kami datang lagi..
Jalannya berbatu, tapi tidak se-ekstrem di Mojosemi tadi. Dalam waktu singkat, kami sampai di Sekipan, di warung Pak Pono. Nah.., kalau di sini warungnya banyak. Sama-sama dingin, tapi warungnya lebih banyak. Begitu sampai, Pak Pono langsung menyambut kami.
“Ini nanti nginap?”
“Oh nggak, Pak, kita sebentar aja,” jawab salah satu dari kami.
Bla-bla-bla-bla…. Sekipan lebih ramai daripada Mojosemi. Mungkin salah satu faktornya karena lokasi Sekipan yang lebih mudah dijangkau dari Mojosemi. Tapi kalau ke Sekipan, tidak bisa lihat “payung awan” dan “bukit terasering”.. Tidak juga bisa merasakan “hujan kabut”.. Kabut bagaikan tirai, begitu tersibak tampaklah karya seni Tuhan yang memanjakan retina. Macam teater saja ya.. Setelah urusan selesai, kami sepakat untuk pulang. Sebelum pulang, sama seperti ketika berangkat dari Jogja, kami berdoa lebih dulu.
Namun siapa sangka, perjalanan pulang kembali ke Jogja akan lebih penuh hambatan daripada saat berangkat..
(bersambung)

Selasa, 14 Juni 2011

Menembus Kabut Mojosemi (Bagian 1)


Alhamdulillaahirabbil ‘alamien…
Ucapan syukur itulah yang kulafazhkan tatkala telah menyempurnakan tulisan ini. Setelah mengistirahatkan pantat di tempat yang empuk, berkutat dengan seratusan halaman materi pdf makul Biofinishing, bergumul dengan soal makul Sistem Manufaktur Serat Alam yang ternyata tidak bisa kunjung dipecahkan (hehe *nyengir..), berenang dalam kolam kumpulan rumus-rumus makul Statistik Industri, dan tenggelam dalam modul ppt makul Teknologi Garmen; akhirnya tulisan ini selesai juga.
Tulisan yang kubuat selama lebih kurang tiga hari, selang-seling. Tulisan tentang apa yang baru saja aku dan teman-teman lakukan pada hari Sabtu lalu.
Sabtu, 11 Juni 2011.
Pagi itu adalah pagi yang cerah di akhir pekan. Sinar mentari mulai mewarnai langit dan menyapu sisa-sisa embun. Lalu lintas jalan raya belum begitu ramai. Sesekali orang berlalu-lalang melakukan olahraga pagi. Entah itu jalan santai, jogging, ataupun bersepeda. Semua itu kurasakan dan kusaksikan dari atas kuda biru-ku. Kulajukan Smash biru-ku di Jalan Kaliurang menuju kampus UII atas. Berkumpul di depan Masjid Ulil Albab.
Hari itu, kami berencana melakukan sebuah touring ke kawasan Tawangmangu. Kawasan tersebut terletak di Kabupaten Karanganyar, spesifiknya dekat Gunung Lawu sana. Perjalanan dilakukan untuk melihat-lihat lokasi sekalian jalan-jalan sebelum ujian hari Senin esoknya. Kami sepakat berkumpul di Ulil Albab jam setengah tujuh, lalu tepat jam tujuh kami mulai berangkat. Nyatanya? Hei-hei-hei.., ini Indonesia, bung! Tidak sia-sia aku pergi dari rumah jam tujuh, lha sampai di Ulil baru beberapa gelintir orang saja. Sesaat kemudian, barulah yang lain mulai berdatangan.
Aku membantu mengisi waktu menunggu itu dengan mengontak beberapa orang yang belum datang. Sampai kusambangi pula ke beberapa rumahnya untuk menanyakan kepastian mereka serta menjemput mereka untuk dibawa ke Ulil Albab. Haduh-haduh.., akhirnya sekitar pukul setengah sembilan, perjalanan dimulai juga.
Kami semua menaiki sebelas “kuda mesin” dengan nama yang beragam. Setiap kuda dinaiki dua penumpang: satu cowok dan satu cewek. Cowok yang mengendarai, sementara cewek yang membonceng. Perjalanan dipimpin oleh satu kuda di depan sebagai leader atau pemimpin rombongan dan diawasi satu kuda di belakang sebagai sweeper atau pengawas rombongan supaya tidak ada yang nyasar. Dalam hati, kulantunkan sebait do’a, “Tuhan, semoga Smash-ku kuat, semoga Smash-ku tidak merepotkan kuda-kuda mesin lainnya, amien..”
Sepeda motorku itu memang agak bermasalah kalau yang namanya “naik gunung”. Tahu kenapa? Karena gunung itu tinggi, seperti kata lagu: naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali… Halah! Kalau hanya dibawa ke Kaliurang atau Gunung Kidul sih, no problem. Tapi kalau dibawa ke tempat sejenis Ketep atau Tawangmangu, hmm.., perlu di-check up dulu kesehatannya. Entah itu dicek giginya, dicek olinya, dicek rantainya, dicek remnya, dicek bannya; atau dengan kata lain: diservis dulu.
Aku sendiri kadang heran juga. Kenapa hanya kendaraanku yang begini, toh motor-motor lain nggak papa kalau dibawa naik gunung.. Lantas, ada apa dengan motorku, apakah ada kutukannya..? Hush! Ngaco aja!!! Biar bagaimanapun juga, Smash satu itu sudah berjasa sangat banyak. Dia sudah mengantarku ke mana-mana sejak aku menginjakkan kaki di Bumi Ngayogyakarta ini. Mulai dulu ke Kotabaru, Bulaksumur, Alun-alun, Kepuh, Imogiri, Amplaz, Condongcatur, Ngasem, Kampus ISI, Terminal Giwangan, Stasiun Lempuyangan, Bandara Adi Sucipto, sampai sekarang ke kampusku di Jalan Kaliurang. Betapa berartinya dirimu, oh Smash biruku…
Well, back to the topic.
Pemberangkatan kami berhenti terlebih dulu di SPBU daerah Ngaglik. Letaknya kira-kira dua kilometer dari belokan Jalan Kaliurang Km.12,5 ke arah Solo/Prambanan. Kami melakukan pengisian bensin dan pengisian angin. Setelah itu, dengan bermandikan sinar matahari dhuha dan angin sepoi-sepoi, barulah perjalanan yang sesungguhnya dimulai. Sang leader memimpin di depan. Sang sweeper mengawasi dari belakang.
Kami melewati daerah yang beberapa waktu lalu diterjang lahar dingin Merapi, yaitu kawasan Kali Gendol. Tampak pemandangan yang masih cukup mengerikan. Abu menutupi segala yang ada di daerah itu, pasir dan batu berserakan di mana-mana. Penuh debu. Sesekali truk-truk bolak-balik. Pepohonan kurus kering, ibarat tubuh tinggal tulangnya. Terlihat pula rumah-rumah yang sudah tidak layak huni lagi. Namun, ketidakenakan itu hanya berlangsung beberapa meter saja, tidak lama.
Selanjutnya, kami menyusuri jalan yang di kanan-kirinya penuh dengan sawah dan kebun. Kecepatan kuda masing-masing saat itu masih dalam taraf sedang, sekitar 60-80 km/jam. Kami melewati jalan tembus, jadi dari Jalan Kaliurang tidak lewat ringroad, tidak juga lewat Prambanan. Kemudian, kami mulai masuk Jalan Solo. Kami menjemput satu kuda lagi di salah satu sudut jalan sehingga total semua kuda pada akhirnya ada dua belas “ekor”.
Kecepatan mulai ditingkatkan, kisarannya menjadi 70-100 km/jam. Brum-brum-brum.. Ngeng-ngeeeeenngg.. (itu suara sepeda motor, bukan suara drum apalagi suara kaleng, hoho..). Kami berpacu dengan bus-bus AKAP dan kendaraan bermesin lainnya di jalan besar itu. Selanjutnya, kami sampai di Kota Klaten. Kami kembali menjelajah jalanan kota sampai tiba kembali di jalan besar ke arah Kota Solo. Namun belum masuk Solo, kami sudah berbelok lagi. Menelusuri jalan tikus alias jalan tembus. Jalan yang aspalnya sudah penuh lubang. Salah sedikit, membuat perjalanan tidak nyaman. Dan setelah itu, kami berhenti di peristirahatan pertama, di sebuah SPBU yang terletak di tengah pesawahan. Matahari mulai terasa teriknya.
Ah leganya, akhirnya aku bisa berdiri.. Pantat sudah mulai pegal. Baru tahap “pegal”, belum sampai tahap “sakit”, apalagi tahap tertingginya yaitu tahap “dicambuk”, wkwkwk.. Iseng aku bertanya, “Kita mau ke mana aja sih, Mi?” Teman yang saya boncengi menjawab, “Katanya ke Mojosemi aja, itu nah Sekipan masih ke atasnya lagi..”
Deg! Ya Tuhan, kuatkanlah Smash-ku… Saat itu, bensinnya sih masih cukup, tapi menurut pengalaman ke Tawangmangu sebelumnya dan juga ke Ketep, bensin akan turun drastis kalau sudah dipakai menanjak. Hmm… Sudah nggak kuat naik, bensin drop pula kalau nanjak, ckckck.. Apapun kondisimu, aku akan selalu menjagamu, Smash-ku yang penuh kenangan.. (haha, sok dramatis!!)
Setelah aku memasang sarung tangan dan meneguk air mineral, perjalanan dilanjutkan kembali. Kali ini, menjemput satu kuda yang bablas terlalu jauh. Bablas karena mendahului leader. Setelah kembali bersama, kami kembali berkonvoi. Semakin cepat dan cepat, sampai jarak antara kuda satu dengan kuda lainnya semakin berjauhan. Dan sampailah kami di Kota Solo, tapi mungkin pinggiran kota karena tidak terlalu ramai. Karena banyak kebun dan sawah di kanan-kiri jalan. Kami terus saja memacu kuda masing-masing. Syukurlah, sejauh ini lancar-lancar dan aman-aman saja. Beberapa saat kemudian, kami berhenti lagi di peristirahatan kedua, sebuah pelataran pertokoan yang diteduhi rindang sebatang pohon besar. Ah leganya, bisa berdiri lagi.. Sudah mulai sakit nih pantat..
Lima belas menit berselang, kami jalan lagi. Kali ini, mampir dulu di SPBU menjelang memasuki Kabupaten Karanganyar. Aku turut memberi minum kuda biru-ku dengan Jus Premium seperti pengendara lain lakukan dengan kuda mereka. Aih.., akhirnya mulai naik juga. Kalau sudah lihat tulisan “Karanganyar”, sudah siap-siap dengan jalan yang akan semakin naik dan naik. Jalan penuh tanjakan.
Benar saja. Jalan mulai miring ke atas. Selepas dari SPBU, kudaku ada di urutan keempat. Eh.., selama menanjak, langsung berubah posisi menjadi dua dari belakang! Kudaku sudah cukup kuat sih dibanding dulu ke Ketep, gear belakang sudah dinaikkan nomornya. Tapi.., ternyata belum kuat-kuat betul. Suaranya seperti orang ngejan, kata Mami, teman yang kuboncengi. Seperti orang mau berak.. Ngek-ngek-ngeeeeekkk… Haha, kami tertawa-tawa saja di tengah ringkihnya kuda kelahiran tahun 2006 itu berjalan naik. Sudah naik, belak-belok pula jalannya.
Semilir angin hangat mulai berubah dingin pelan-pelan. Hawa panas udara perkotaan mulai hilang sedikit demi sedikit. Digantikan semilir angin dingin. Rumah-rumah dan sawah-kebun juga mulai tidak tampak lagi. Digantikan pepohonan yang tinggi-tinggi. Ketika jalan sudah mulai belak-belok terus, mulai terlihat kalau posisi kami semua sudah mulai berada di atas ketinggian. Terlihat di bawah sana, rumah-rumah yang semakin mengecil dan sawah-kebun yang mulai seperti hamparan permadani hijau. Udara semakin dingin..
Naik dan terus naik. Kudaku masih tetap di belakang dengan suara mesinnya yang masih mirip orang ngejan. Tertinggal jauh dengan kuda-kuda lain. Mami terus menyemangati aku dan juga Smash biru-ku. Ketika sampai di Gerbang Masuk Tawangmangu, mereka semua sudah menunggu. Menungguku yang jalannya lama. Dan setelah membayar karcis masuk, kami menanjak lagi.
“Kita sekarang di depan, tapi tunggu sebentar pasti di belakang lagi,” ujarku kepada Mami, temanku di bangku belakang itu.
Benar saja. Satu.., dua.., tiga.., empat.., dan seterusnya. Semua menyalip perlahan. Menyalip sambil ngece. Kata mereka sambil mengepalkan tangan, “Ayo Bud, semangat-semangat!” Tapi, ada satu kuda yang agaknya bermasalah juga. Dia tertinggal di belakang kudaku. Jadi, kalau semula posisiku nomor dua dari belakang, sekarang nomor tiga dari belakang. Ada peningkatan rupanya, hehe..
Naik dan terus naik. Lepas Pasar Tawangmangu, lepas Wana Wisata Sekipan. Di pertigaan, kudaku naik sendirian. Mereka lainnya sudah jauh di depan, sementara dua lainnya tertinggal di belakang. Ngek-ngek-ngeeekkk… Ngek-ngek-ngeeeeekkk…!!! Gigi 1 dan gigi 2, terus saja begitu. Masih saja seperti orang ngejan, orang berak, orang sembelit, apalah sejenisnya. Hahaha, kami tertawa-tawa saja di tengah sepinya jalan itu. Sesekali satu-dua mobil menyalip. Ternyata, lepas pertigaan tadi, jalan semakin miring dengan ekstremnya. Sudah tidak ada bus di situ, kalau truk masih ada sedikit. Untungnya, Smash-ku masih kuat, walaupun… ringkih!
Ketika sudah sampai di tempat mereka berhenti menunggu, eh.., kudaku ditepuktangani. Horeee.., plok-plok-plok!! Kayak apaan aja… Sewaktu kuberitahu mereka kalau masih ada yang tertinggal di belakang, barulah mereka mulai ngeh. Kalau sebenarnya, kuda yang lebih butuh bantuan adalah kuda yang di belakang Smash-ku. Hihihi..
Dua kuda kemudian memutuskan untuk menyusul. Sesaat kemudian, kutahu dari sms bahwa kuda yang satu tadi mengalami kerusakan karburator. Jadilah kami menunggu dulu.. Leganya.., lagi-lagi bisa mengistirahatkan pantat yang sudah “semakin sakit” di bantal rumput-rumput.. Ditemani angin dingin pegunungan. Layar ponselku saat itu menunjukkan jam dua belas-an.
Nun jauh di atas sana, tampak kabut yang cukup tebal.
Kabut...
Kabut itu dingin, dingin sekali. Kalau Mojosemi ada di atas sana, artinya perjalanan ini akan melewati kabut. Untunglah, persiapanku sudah cukup. Jaket, sepatu, kaos kaki, sarung tangan, dan tas ransel yang menutupi dada. Terlihat pula jauh di sana, jalan-jalan yang semakin miring. Langit yang sejak kami berangkat tadi cerah dan lumayan panas, sekarang mulai tertutup mendung. Sekilas bisa diprediksi kalau hujan akan turun, tapi syukur tidak turun-turun. Janganlah ya, bisa repot nanti..
Kuda yang kami tunggu-tunggu tadi akhirnya tiba juga. Horeee.., kami pun menepuktangani dia. Setelah dirasa cukup, kami melanjutkan perjalanan lagi.
 “Bud, ayolah kita doa dulu supaya motormu kuat naik jalan kayak gitu,” usul Mami sambil tertawa-tawa dan menunjuk-nunjuk jalan miring jauh di sana.
(bersambung)

Sabtu, 11 Juni 2011

Media Kerja Sama Menuju Indonesia Maju


Media Kerja Sama Menuju Indonesia Maju
Oleh: Ahmad Satria Budiman *)


Alumni didefinisikan sebagai orang yang telah mengikuti atau tamat dari suatu sekolah atau perguruan tinggi. Dalam hal ini, alumni merupakan produk yang dihasilkan dari perguruan tinggi (bangku kuliah) dengan lulusan SMA/MA sebagai bahan bakunya. Input lulusan SMA/MA mengalami proses berupa pembelajaran di bangku kuliah, lalu menjadi output alumni. Universitas Islam Indonesia (UII) sebagai salah satu perguruan tinggi tertua di tanah air kini sudah memiliki ribuan alumni yang tersebar di seluruh pelosok negeri, bahkan sampai ke mancanegara. Tercatat sejak berdiri tanggal 8 Juli 1945 hingga tahun ajaran semester ganjil 2008/2009, UII telah memiliki alumni sebanyak 54.721 orang.
Potensi atau kekuatan yang melekat pada diri para alumni secara tidak langsung akan menunjukkan seberapa bagus kualitas UII di hadapan publik. Mengapa demikian, sebab alumni-alumni tersebut akan bersinggungan dengan dunia kerja, dimana semakin bagus daya serap alumni terhadap lapangan kerja, maka semakin berhasil UII sebagai sebuah institusi yang mencetak manusia-manusia berpendidikan. Kalau begitu, apakah orientasi bangku kuliah hanya untuk dunia kerja? Kurang tepat jika ditafsirkan seperti itu karena dunia kerja hanya bagian dari perpanjangan tridharma perguruan tinggi. Sebagaimana diketahui, tridharma perguruan tinggi adalah pendidikan, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian masyarakat. UII sendiri menambahkan satu dharma lagi, yaitu rahmatan lil ‘alamin sehingga di UII lebih dikenal dengan sebutan caturdharma. Selain sebagai perpanjangan dharma, ukuran dunia kerja juga menunjukkan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang dimiliki suatu bangsa pada sebuah peradaban.
Jumlah alumni UII yang sedemikian banyak membuat jaringan alumni sangatlah diperlukan keberadaannya untuk mengoordinasikan jejak langkah para alumni. Jaringan alumni merupakan suatu sistem yang mengikat setiap diri alumni menjadi satu kesatuan dalam mengoptimalkan keahlian masing-masing demi tercapainya manfaat yang berkesinambungan. Artinya, para alumni tidak dibiarkan berdiri sendiri-sendiri, namun dapat dikoordinasikan membentuk media kerja sama yang positif sehingga secara tidak langsung akan membantu terjaganya tridharma perguruan tinggi maupun caturdharma UII. Dan bukan hal yang mustahil, dharma-dharma itu suatu saat akan membawa kita menuju Indonesia maju jika dimanfaatkan secara optimal oleh para alumni.
Di tengah perkembangan teknologi yang semakin pesat, pengelolaan jaringan alumni menjadi sesuatu yang tidak terlalu sulit dilakukan. Banyak sarana yang dapat digunakan sebagai alat. Tidak terbatas pada telepon rumah dan telepon seluler saja, tetapi dapat melalui koneksi internet yang dari hari ke hari semakin canggih. Contohnya: e-mail, mailing list, twitter, dan jejaring sosial berupa facebook yang memiliki fitur group dan chatting. Namun demikian, tetap harus ada satu yang menjadi kontrol atau sebagai pusat pengendali semuanya supaya tidak dimonopoli pihak yang tidak bertanggung jawab. Adalah Ikatan Keluarga Alumni UII (IKA-UII) yang merupakan lembaga formal alumni UII yang ada baiknya menjadi induk dari sekian macam jaringan alumni yang disebutkan tadi. Selain agar tidak disusupi pihak yang ingin berbuat rusuh, induk jaringan juga dapat menjaga jaringan alumni supaya tetap berpegang teguh pada norma-norma kebaikan.
Lomba Artikel Blog UII mencoba mencari pemikiran baru mengenai pemberdayaan jaringan alumni di era teknologi informasi yang terus berkembang pesat. Seperti sudah dibahas sebelumnya, jaringan alumni dapat dimanfaatkan sebagai media kerja sama positif demi menjaga keberlangsungan caturdharma UII menuju Indonesia maju. Media kerja sama yang dimaksud tidak lepas dari peran alumni itu sendiri dalam menjalankan fungsinya sebagai output perguruan tinggi. Ada empat peran alumni dalam kapasitanya sebagai lulusan kampus, yaitu:
a)     Menjaga hubungan shilaturrahim. Alumni berasal dari perguruan tinggi dan alumni ditujukan untuk lingkungan masyarakat. Oleh karenanya, alumni berkedudukan sebagai penghubung antara perguruan tinggi dan lingkungan masyarakat. Sebelum menjadi alumni, alumni adalah mahasiswa yang berangkat dari keprihatinan atas suatu kondisi di lingkungan masyarakat, baik itu pada dirinya sendiri maupun hajat orang banyak. Mahasiswa akan berdinamika di bangku kuliah dan menjadi pribadi yang lebih melek daripada sebelumnya, yaitu alumni. Di sinilah, dharma pendidikan menjalankan fungsinya dalam meningkatkan taraf hidup manusia. Alumni perlu menjaga tali persaudaraan antara institusi yang sudah mendidiknya dan lingkungan masyarakat itu sendiri.
b)     Memberikan informasi seputar beasiswa dan peluang usaha. Alumni yang sudah berada di luar dunia kampus tentunya lebih berpeluang memperoleh informasi yang lebih banyak. Informasi itu adalah terkait seputar beasiswa dan peluang usaha. Beasiswa lebih terarah kepada dharma penelitian, sementara usaha lebih terarah kepada dharma pengembangan. Keduanya memang erat hubungannya dengan soal dana ataupun masalah finansial. Penelitian dapat menyegarkan wawasan terhadap munculnya berbagai inovasi baru, sementara pengembangan dapat membuat lulusan perguruan tinggi tidak melulu menjadi job seeker, tetapi lebih dominan sebagai job creator. Dan informasi yang diberikan alumni hendaknya tidak berdasarkan kepada kompetisi ego ingin menang sendiri, namun berlandaskan kolaborasi untuk saling memotivasi kekurangan masing-masing menuju kemajuan.
c)      Berbagi pengalaman hidup. Alumni tentu mempunyai pola pikir yang lebih matang daripada saat sebelum mereka berproses dulu. Alumni dapat bersinergi antara teori yang dulunya dipelajari dengan praktik secara langsung di luar dunia kampus, dunia yang sesungguhnya. Saatnya bagi alumni menerapkan hasil eksperimen yang dulu mereka lakukan semasa di perguruan tinggi menjadi sesuatu yang berguna bagi kemashlahatan masyarakat sebagai bentuk dharma pengabdian. Saatnya bagi alumni mampu bersikap dewasa dalam menghadapi tantangan hidup bernama globalisasi. Sikap yang tertuang dalam pengalaman hidup inilah yang dapat dibagikan kepada para mahasiswa calon alumni, misalnya, lewat seminar, diskusi ilmiah, kunjungan industri, dan kuliah umum.
d)     Fungsi rahmatan lil ‘alamin. Fungsi terakhir ini adalah peran yang paling berat untuk diemban amanahnya. Rahmatan lil ‘alamin artinya menjadi rahmat bagi seluruh alam. Maksudnya, menjadi anugerah bagi kehidupan, entah itu bagi sesama manusia, tumbuhan dan hewan, dan keseimbangan alam raya. Tidak cukup mengandalkan kecerdasan intelektual saja dalam peran yang terakhir ini, namun juga memerlukan kecerdasan spiritual dan emosional yang benar-benar maksimal.
Sekilas kemudian, timbul pertanyaan: sedemikian beratkah peran alumni dalam menjalankan fungsinya sebagai produk perguruan tinggi? Mari kembali ke konteks awal bahwa jumlah alumni terbilang tidak sedikit. Bahwa jaringan alumni perlu sekali dalam mengoordinasikan jumlah alumni yang tidak sedikit itu membentuk media kerja sama positif. Bahwa ada banyak sarana seiring perkembangan teknologi informasi dalam mengelola jaringan alumni. Peran alumni yang barusan disebut hanya fondasi bagi jaringan alumni di era teknologi informasi sebagai media kerja sama menuju Indonesia maju. Apabila keempat peran di atas benar-benar difungsikan secara total, bukan hal yang mustahil bahwa keselarasan tridharma perguruan tinggi maupun caturdharma UII akan membawa kita semua menuju Indonesia maju.


*) Penulis adalah mahasiswa Teknik Kimia UII angkatan 2009
___________________________________________________

NB. Naskah ini diikutsertakan dalam Lomba Artikel Blog Mahasiswa UII 2011, selengkapnya di sini.