‘UII’ atau Umat Islam Indonesia tidak boleh pesimis, tetapi harus selalu membangun optimisme dalam meraih kejayaan bangsa.
* * *
“Tahun 2011 merupakan tahun pergolakan di berbagai lini kehidupan, mulai dari sosial, politik, sampai dengan agama. Tidak hanya terjadi di Indonesia saja, tetapi juga di negara-negara Arab, seperti Maroko, Yaman, Syiria, Tunisia, Libya, Mesir, dan lain sebagainya,” kisah Prof. Dr. M. Amien Rais, M.A. mengawali sesi berikutnya pada Pengajian Refleksi Tutup Tahun di Masjid Gedhe Kauman, Yogyakarta, setelah Pak Busyro Muqoddas usai.
Ketua Umum PP Muhammadiyah Periode 1995-2000 tersebut lebih jauh menceritakan bahwa ekspos besar-besaran Revolusi Arab tadi dapat disaksikan di banyak stasiun berita internasional, seperti CNBC, CSBC, CNN, dan Al-Jazeera. Tapi anehnya, pergolakan yang mencekam di dunia Islam itu justru diminimalisir pemberitaannya di Indonesia. Ada yang beranggapan, Timur Tengah sedang memasuki musim semi-Arab. Timur Tengah sedang melepaskan diri dari winter atau musim dingin kepada spring atau musim semi. Melepas diri dari kedinginan yang panjang, gelap, dan mencekam kepada keadaan yang berseri-seri, subur, dan semilir.
Dari Libya, ada sosok Moammar Khadafi yang dengan potongan muslimnya ia wafat dengan cara tewas ditembak seperti kelinci. Kemudian, jenazahnya dibawa ke pasar kota, lalu diludahi beramai-ramai. Dari Irak, ada sosok Saddam Husein yang meninggal dengan cara digantung seperti binatang. Di Mesir, sosok pendiam Hosni Mubarak yang telah berkuasa selama sekitar 30 tahun terguling dari singgasana kekuasaan. Sekarang, ia berada di penjara yang dulu pernah digunakan untuk menyiksa para pejuang Ikhwanul Muslimin pada era Presiden Gamal Abdul Nasser. Selanjutnya, di Tunisia, presidennya lari tunggang langgang menjadi pengungsi di Saudi.
Mengapa nasib mereka berakhir tragis? Mengapa rezim-rezim yang berkuasa di banyak bangsa Arab berjatuhan? Sebab, para pemimpinnya melestarikan kekuasaan dengan model penindasan. Sebab, para pemimpinnya sedikit banyak mewarisi tradisi Fir’aun dan Namrud dimana hidup bermewah-mewah dengan membelakangi wahyu Ilahi, sehingga mereka pada akhirnya tersungkur dari singgasana kekuasaan karena menindas rakyatnya sendiri.
Dalam QS. At-Takaatsur:1, Allah Swt. telah mengatakan dengan jelas bahwa dunia itu bisa mencengangkan kita dengan sendirinya. Maksudnya, kemegahan/kemewahan dunia dengan sendirinya akan membuat kita lalai. Padahal dalam QS. Al-Hadiid:20, Allah Swt. sudah mengingatkan bahwa dunia ini hanya sebatas la’ibun atau main-main dan sebatas lahwun atau senda gurau. Bahasa Jawa-nya: cekakakan. Dunia ini tidak lain hanyalah mataa’ul ghuruur atau kesenangan yang menipu.
Lantas, bagaimana dengan Indonesia? Saat ini, pemerintah Indonesia tidak serius mengurusi rakyatnya. Meskipun ada ukuran yang menyatakan bahwa kondisi kita sudah lebih baik daripada zaman awal reformasi, kemiskinan dan pengangguran masih banyak di Indonesia. Ada orang yang beranggapan, wisdom atau kebijaksanaan adalah barang yang hilang dari kepunyaannya orang-orang muslim. Selain itu, ada pula yang beranggapan, andaikan dikelola dengan baik, Indonesia akan menjadi “BRICI”, yaitu rangkaian negara-negara Brazil, Rusia, India, China, dan Indonesia.
Setidaknya, ada tiga halangan yang menghambat kemajuan pembangunan di Indonesia. Pertama, pemimpinnya yang tidak mudeng-mudeng alias tidak lekas mengerti. Dalam proses pembangunan, infrastruktur merupakan unsur yang penting. Infrastruktur adalah kunci kemajuan ekonomi. Contohnya adalah jalan tol, bandingkan saja jalan tol yang dimiliki oleh Indonesia dan Malaysia, tidak perlu jauh-jauh mencari perbandingan. Kedua, korupsi. Korupsi jelas sekali menghambat kemajuan pembangunan. Uniknya, korupsi ini makin ditempeleng malah makin kuat (menjadi-jadi). Ketiga, etos kerja. Etos kerja umat muslim masih rendah jika dibandingkan dengan etos kerja orang-orang Barat.
Oleh karena itu, apabila Indonesia ingin fokus pada kemajuan: infrastuktur harus diperbaiki, korupsi harus dilawan, dan etos kerja harus ditingkatkan.
Terakhir, Pak Amien mengungkapkan ketakutannya akan kemungkinan lepasnya Papua dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Luas Papua adalah tiga setengah kali luas Pulau Jawa dengan jumlah penduduk sekitar tiga setengah juta jiwa. Jangan sampai, “tembang Papua melebihi pulau-pulau lain”. Jangan sampai Papua ikut melepaskan diri seperti apa yang dulu dilakukan Timor Timur (kini Timor Leste). Ah.., ternyata bapak turut merasakan ketakutan yang sama seperti apa yang saya rasakan…
Namun demikian, ‘UII’ jangan pesimis. UII atau Umat Islam Indonesia tidak boleh pesimis, tetapi harus senantiasa membangun optimisme dalam meraih kejayaan bangsa. Optimisme dalam membangun Indonesia yang bebas dari tekanan, ancaman, rayuan, dan juga bebas dari sogokan.