Selasa, 31 Mei 2011

Renungan Indah


Renungan Indah
Karya: WS Rendra




Seringkali aku berkata,
Ketika semua orang memuji milikku.

Bahwa sesungguhnya ini hanyalah titipan.
Bahwa mobilku hanyalah titipan-Nya.
Bahwa rumahku hanyalah titipan-Nya.
Bahwa hartaku hanyalah titipan-Nya.
Bahwa putraku hanyalah titipan-Nya.

Tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya:
Mengapa Dia menitipkan padaku?
Untuk apa Dia menitipkan ini padaku?
Dan kalau bukan milikku,
Apa yang harus kulakukan untuk milik-Nya itu?
Adakah aku memiliki hak atas itu?
Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku?

Mengapa hatiku justru terasa berat,
Ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya?
Ketika diminta kembali,
Kusebut itu sebagai musibah.
Kusebut itu sebagai ujian.
Kusebut itu sebagai petaka.
Kusebut itu sebagai panggilan apa saja.
Untuk melukiskan kalau itu adalah derita.

Ketika aku berdoa,
Kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku.
Aku ingin lebih banyak harta,
Ingin lebih banyak mobil,
Lebih banyak popularitas,
Dan kutolak sakit,
Kutolak kemiskinan,
Seolah semua kemiskinan,
Seolah semua “derita” adalah hukuman bagiku.

Seolah keadilan dan kasih-Nya harus berjalan seperti matematika:
Aku rajin beribadah,
Maka selayaknyalah derita menjauh dariku,
Dan nikmat dunia kerap menghampiriku.

Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang,
Dan bukan kekasih.
Kuminta Dia membalas “perlakuan baikku”,
Dan menolak keputusan-Nya,
Yang tak sesuai keinginanku.

Gusti,
Padahal tiap hari kuucapkan,
Hidup dan matiku hanya untuk beribadah.
“Ketika langit dan bumi bersatu,
Bencana dan keberuntungan sama saja”.



(Puisi terakhir Rendra yang dituliskannya di atas ranjang Rumah Sakit)

Sabtu, 28 Mei 2011

Jason Mraz - Life is Wonderful


Life is Wonderful
By: Jason Mraz



It takes a crane to build a crane
It takes two floors to make a story
It takes an egg to make a hen
It takes a hen to make an egg
There is no end to what I'm saying

It takes a thought to make a word
And it takes some words to make an action
And it takes some work to make it work
It takes some good to make it hurt
It takes some bad for satisfaction

Ha la la la la la la life is wonderful
Ha la la la la la la life goes full circle
Ha la la la la life is wonderful
Ha la la la la.. (mmm…)

It takes a night to make it dawn
And it takes a day to make you yawn, brother
And it takes some old to make you young
It takes some cold to know the sun
It takes the one to have the other

And it takes no time to fall in love
But it takes you years to know what love is
And it takes some fears to make you trust
It takes those tears to make it rust
It takes the dust to have it polished (yeah..)

Ha la la la la la la life is wonderful
Ha la la la la la la life goes full circle
Ha la la la la la life is wonderful
Ha la la la..

And it is so….
It is so…. (huu..)

It takes some silence to make sound
And it takes a loss before you found it
And it takes a road to go nowhere
It takes a toll to make you care
It takes a hole to make a mountain

Ha la la la la la la life is wonderful
Ha la la la la la la life goes full circle
Ha la la la la la life is wonderful
Ha la la la la la life is meaningful

Ha la la la la la la la life is wonderful
Ha la la la la la life, it is so.. wonderful
It is so meaningful
It is so wonderful
It is meaningful
It is wonderful
It is meaningful
It goes full circle

Wonderful
Meaningful
Full circle
Wonderful

Minggu, 22 Mei 2011

Tragedi Zat Warna Reaktif


Rabu pagi yang cerah. Hari pertama saya ke kampus sepulang dari Malang. Kata mereka berenam anak-anak tekstil (yang satu nggak masuk), hari itu jam kedua yang biasa diajar oleh Pak Dekan kosong. Dialihkan ke Laboratorium Kimia Proses untuk sesi Pengenalan Tekstil Angkatan 2010. Dan kami bertujuh pun melangkah ke Gedung FIAI Lantai 3 Sayap Barat.
Ada tiga percobaan yang akan dilakukan untuk mengenalkan tekstil kepada sekitar 50-an mahasiswa semester dua. Mahasiswa yang semester berikutnya akan dipecah ke dalam 2 jenis konsentrasi. Konsentrasi Teknik Kimia dan Konsentrasi Teknik Tekstil. Ah.., saya berharap suatu saat tekstil akan kembali menjadi jurusan, bukan lagi konsentrasi yang bernaung di ketiak Jurusan Teknik Kimia. Saya ingin suatu ketika nanti, tekstil menjadi satu jurusan yang berdiri sendiri. Oh iya, percobaan-percobaan tadi antara lain:
1)      Pencapan Kain Kapas dengan Zat Warna Pigmen
2)     Pembuatan Batik Tulis Menggunakan Zat Warna Reaktif Dingin
3)     Pembuatan Batik Cap Menggunakan Zat Warna Reaktif Dingin
Masing-masing percobaan dilakukan di dua meja praktikum. Kami bertujuh dibagi ke dalam meja-meja tersebut. Saya dengan seorang teman saya kedapatan Percobaan 3. Percobaan tersebut pada intinya adalah mengecap motif dengan alat cap yang telah dilumuri malam pada kain. Lalu setelah motif yang tercetak di kain mengering, kain dicelup ke dalam baskom berisi campuran zat warna reaktif dan beberapa zat kimia lain. Kemudian, kain dicelup ke dalam panci berisi larutan sabun panas untuk melepas (melorod) malam dari kain. Jadilah, kain berwarna dengan motif batik cap. Bukan batik tulis. Anyway, tahu kan bedanya batik cap dan batik tulis? Well, batik cap itu pakai alat cap, sedangkan batik tulis pakai alat canting tulis.
Zat warna reaktif-nya ditambah kata “dingin”, karena tidak menggunakan pemanasan suhu. Jadi, ada yang dikenal zat warna reaktif dingin dan zat warna reaktif panas. Di sini, kami menggunakan zat warna reaktif dingin.
Zat warna reaktif dingin yang digunakan dalam percobaan warnanya ungu. Warna janda. Saya kebagian tugas membuat larutan zat warna reaktif dalam baskom serta memandu anak-anak dalam pencelupannya. Sementara teman saya yang satu tadi memandu anak-anak dalam mengecap kain menggunakan alat cap. Untuk tahap lorod, nanti kita berdua bareng-bareng.
Setelah anak-anak selesai, tibalah waktunya untuk pencelupan. Mekanismenya, selama kain dicelup, nanti ditambahkan Na2CO3 (natrium karbonat) sebagai soda abu yang berperan menahan zat warna di dalam kain supaya tidak lepas terbawa sabun serta ditambah pula NaCl (natrium klorida) sebagai elektrolit yang berperan dalam penyerapan dan pengikatan warna (fiksasi warna). Sekitar 10 menit sesudah kain masuk ke dalam baskom, saya perintahkan mereka untuk menambahkan NaCl. Proses pun kembali berlanjut selama 10 menit yang sesudah itu kembali saya instruksikan untuk memasukkan Na2CO3. Terakhir, menunggu proses selama kira-kira 20 menit (aturannya 40 – 60 menit, tapi kelamaan ntar..).
Sampailah kepada tahap lorod malam.
Kain yang sudah dicelup zat warna reaktif dicelup lagi ke dalam larutan sabun panas. Tujuannya adalah menghilangkan malam sehingga tampak motif-motif batik pada kain yang sudah berwarna. Lalu, kenapa tiba-tiba ada yang berteriak.
“Mas, kok kainnya malah jadi putih lagi sih..?!”
Hah?!
Kamu yakin..?
Serius??
Sumpe loe…???
Eh, teman saya yang satu tadi malah KETAWA NGAKAK: Hahahahaha…!!!
“Hush, kamu tuh malah ketawa, bukannya mikir,” tegur saya dalam kondisi panik.
Dan yang lain mulai ikut-ikutan protes, “Iya nih, Mas, mana susah banget tadi bikinnya..”
“Wah, masa ngulang lagi?!”
“Gilaa.., jarang-jarang kan, Mas, dapat karya seni bagus dari seniman kayak saya..” <<< Maksud loh..??!
Sang Laboran kemudian datang dan menengahi. Mbak-nya menginvestigasi kami berdua dengan beberapa pertanyaan interogatif. Dari mulai tadi dicampur apa, berapa lama, jenis zat warnanya (ungu maksudnya), berapa kain yang dicelup, dan tetek bengek lainnya.. Hasilnya? Mbak-nya memutuskan untuk kali ini coba dengan yang warna biru saja.
“Inget lho, yang warnanya BIRU, jangan yang UNGU.”
Kami pun mulai lagi dari awal. Dugaan saya, waktu pencelupannya tadi kurang lama. Zat warna ungunya bagus kok, kan dari kemarin pas praktikum pakainya yang itu. Pada saat pencelupan yang kedua inilah, kecerobohan itu terdeteksi.
“Lho, emang tadi kamu kayak gini juga, Bud?”
“Kayak gini gimana?”
“Karbonat dulu baru en-a-ce-el?”
“Iya, Mbak.”
Hening.
“Lho, kebalik to ya.. Mestinya en-a-ce-el dulu, baru karbonat. Lha, kok bisa kebalik to..”
Atap laboratorium seketika runtuh, BRUK!! Peralatan-peralatan yang ada mendadak pecah, PRANG!! Kompor ikut-ikutan mengeluarkan api, WUSH!! Semua lenyap.. Tentunya hanya dalam imaji, sungguh malunya….
Dari meja lain, seorang teman saya yang lain nyeletuk, “Haha, inilah kerjaan Budi si nilai sempurna..”
Calon insinyur yang gagal. Mencelup dengan zat warna reaktif saja gagal, padahal zat warna jenis ini yang umum dipakai dalam industri tekstil. Kok bisa ya.. Saya nggak percaya. Begitu sampai kamar, saya periksa lagi modul praktikum. Ternyata memang benar, seharusnya NaCl dimasukkan lebih dulu, baru kemudian Na2CO3. Wkwkwk, bodoh-bodoh.. Dasar dodol!! Bayangkan kalau kejadian ini terjadi di pabrik dimana saya insinyurnya, pasti bakal: “Kamu dipecat! You are fire!” Namun sebelum itu benar-benar terjadi, saya harus bersiap diri dulu, sebab jalan menuju wisuda masih ada dua tahun lagi.
Kan masih ada waktu.. Masih ada dua tahun lagi untuk belajar dari kesalahan, itu hibur saya untuk diri sendiri..

Selasa, 17 Mei 2011

Pertemuan di Jakarta (Bagian 5)


Gilee.., setengah jam jalan malam dengan ditemani polusi udara.. Haha, semakin nggak mau deh hidup di Jakarta. Padahal sorenya tadi kan hujan, tapi tetep aja di jalan raya rasanya sesak.
Beberapa saat kemudian, kami sudah kembali berada di dalam gedung untuk mengikuti acara resepsi. Para tamu sudah pada datang. Saya langsung menuju barisan keluarga laki-laki, sementara Titi ke kelompok keluarga perempuan. Huaahh.., akhirnya ketemu AC lagi, sejuknya..
Perbedaan lain pernikahan ala Jawa dan ala Palembang adalah dalam hal susunan acara. Pada permulaan ala Jawa, mempelai dan orangtua masuk dengan diiringi lagu adat atau kata-kata yang juga dalam bahasa daerah. Saya nggak ngerti. Upacara adat daerah-lah pokoknya. Sebagian keluarga berdiri di tepi karpet merah, sementara sebagian lainnya mengiringi di belakang pengantin dan orangtua, berjalan ke arah panggung. Berjalan dengan ritme ala Putri Solo, pelan-pelan tapi pasti. Setelah di panggung, eh, langsung acara inti dan foto bersama. Sedangkan ala Palembang, pengantin dan orangtua masuk ke dalam gedung dengan pembacaan riwayat hidup kedua mempelai, cukup singkat. Setelah duduk di atas panggung, disambung tari-tarian, sambutan-sambutan, tari-tarian lagi, baru acara inti: santap bersama, wkwkwk..
Mungkin kalau ala Jawa, sambutan itu diberikan ketika pengajian..
Kalau nyanyi-nyanyi, dua-duanya sama kok. Sama-sama dilakukan di penghujung acara, tepatnya menemani sesi makan-makan. Ya, makan-makan.., hmm.. Nyummy! (lebay). Seperti saya kisahkan sebelumnya, konsumsi di gedung tidak berbeda jauh dengan konsumsi di rumah, bedanya hanya dalam hal “porsi”.
Setelah santap bersama selesai, kami berfoto bersama pengantin. Nah, selesai sesi foto, tiba-tiba mata kami semua tertuju pada meja organ. Bulik Anik mau nyanyi, haduh.., saya lupa lagunya apa. Yang jelas, itu interested banget. Bulik Anik itu yang baru sembuh dari sakit itu lho, bulik ditemani ibu tapi ibu nggak ikut nyanyi. Langsung deh, yang pada bawa tustel mengabadikan momen itu, termasuk Sony-nya Yoga.. Jepret!
Dan menjelang jam setengah 10, acara selesai. Kami pulang ke tempat masing-masing, Bintaro dan BSD City. Setiba di rumah, semua langsung tidur. Apalagi Titi.. Ya, mungkin saking capeknya tadi jalan malam, haha.. Siapa suruh juga pake keluar kompleks kementerian, wkwk.. Eits, tapi saya nggak langsung tidur. Saya jalan diam-diam ke kamar belakang rumah Pakde Ar, lalu menyetel tv. Tanggal 22 April 2011 kan hari Jum’at, nah malamnya di antv ada Penghuni Terakhir Ekstradisi, jadi saya nonton dulu, hohoho..

*  *  *
Lusa yang saya maksud kemarin akhirnya tiba. Lusa berarti saya harus kembali ke Jogja. Huhu.., padahal agenda hari itu katanya rekreasi alias jalan-jalan dalam arti sesungguhnya. Katanya mau ke KRB alias Kebun Raya Bogor. Saya kan belum pernah ke sana je..
That was the last day in Jakarta which I could my family face to face.. Pertemuan saya dengan Keluarga Palembang hanya satu setengah hari lebih sedikit, dua hari aja nggak ada tuh.. Saya pulang pake flight Lion Air jam 12.35 WIB.
Jam 8 tepat, kami berangkat meninggalkan rumah. Saya nantinya diturunkan di area ruko BSD untuk berganti X-Trans menuju Soeta. Sedangkan mereka yang lain akan bergabung dengan rombongan Bintaro untuk sama-sama beriringan menuju Bogor. Oh iya, X-Trans itu mobil travel, semacam minibus elf. BSD-Soeta habisnya Rp30.000 dengan waktu tempuhnya 1 jam, cepet juga.
Well finally, pertemuan harus diakhiri. Sepertinya, saya pulang ke Palembang pas Lebaran nanti, sekitar bulan Agustus. Dadah Papah, dadah Mamah, dadah Dedek, dadah Semuah.. Sayah pamith duluh yah.. (btw, kok jadi alay gini sih). Plak-plak-plak!!!
Sekian jam yang berkesan. Bisa makan bareng, ketemu langsung, foto bareng, ngobrol bareng, nyasar bareng juga, yah.., walau hanya sebentar sih.. Waktu di ruang tunggu airport, saya ingat pada kado dari Titi. Apa sih isinya.. Saya buka aja walaupun belum tanggal 26, haha.. Dan isinya adalah......, sebuah buku tentang Ken Soetanto, seorang Indonesia yang meraih gelar doktornya di Jepang.. Weleh, tau aja kakaknya mau overseas, makasih ya Dek.. Ternyata, itu kado berdua, dari Titi dan Yoga..
Setiba di Jogja, saya juga langsung ke Kaliurang untuk mengikuti IHT. Dan ternyata.., tara..!! Saat itu seluruh materi sudah selesai diberikan. Saat saya tiba, itu adalah sesi pembuatan buletin. What, pekik saya dalam hati. Satu pun materi nggak saya dapet, dan sekarang tau-tau udah mesti nggarap buletin.. Mana dikasih waktunya semalem, mau ngeliput apa dalam waktu sesingkat itu??
Akhirnya, saya mencoba reportase penjual jadah tempe. Keesokan paginya, saya wawancara dengan salah satu ibu penjual jadah tempe, sekitar sejam-an lah wawancaranya. Trus, langsung ditulis dalam bentuk feature, satu jam selesai. Oke, pekerjaan saya selesaikan dalam waktu 2 jam saja, dadakan cuy! Eh, ternyata pas malam harinya, sebelum penutupan IHT, pas sesi evaluasi buletin, kok ya tulisan saya katanya paling bagus.. Padahal satu materi IHT pun nggak saya dapat dengan jelas.
Satu pun nggak ada yang sempat saya pelajari!
Kok ya bisa, akhirnya malah jadi tulisan terbagus, aneh sekali, hehehe..
Ah, setidaknya pujian-pujian itu sedikit mengusir galau sisa pertemuan di Jakarta. Sanjungan itu sedikit menghapus siluet wajah-wajah yang baru saja saya temui di Jakarta. Mengusir bayang-bayang suasana penuh keakraban di Kompleks Kementerian Pertanian. Nggak tau juga kenapa, rasanya separuh jiwa saya masih tertinggal di Jakarta.
Jakarta sukses membuat saya homesick. Tapi sekaligus membuat saya bersyukur, karena punya keluarga yang utuh, baik itu keluarga kandung, maupun pakde-bude-paklik-bulik, semuanya.. Mutiara tiada tara adalah.., keluarga, kata Bude Novia Kolopaking. Alhamdulillaahirabbil ‘alamien..


NB.
Kok rasanya makin ke belakang, malah makin garing ya?? Ending-nya juga garing banget deh.. Duh-haduh.., saya emang nggak jago bikin ending.. Ajarin bikin ending yang bagus donk buat para senior sekalian, heheheh.. :-)

---Posting tanggal 17 Mei 2011 {hari ini}---

Pertemuan di Jakarta (Bagian 4)


Sebuah gedung yang terletak di kompleks Kementerian Pertanian Republik Indonesia..
Saya tidak ada pikiran apa-apa saat itu, padahal malam harinya saya dan adik bungsu saya akan berjalan sekian kilometer di tengah semburan asap knalpot, alias nyasar..!!
Begitu tiba di lobi gedung pertemuan, hujan pun berhenti. Kami semua langsung mengatur barisan. Dari depan ada pengantin pria beserta kedua orangtu dan adik-adiknya, lalu barisan keluarga di belakangnya, dan paling belakang mereka para sepupu yang membawa bingkisan untuk pengantin wanita. Bingkisan itu dibawa dengan tangan masing-masing.
Dress code-nya adalah stelan jas untuk laki-laki dan stelan kebaya untuk perempuan. Akad nikah berlangsung singkat. Jam setengah 3 dimulai dan sekitar 10 menit kemudian selesai. Selanjutnya adalah upacara adat, sebab Mbak Dian-nya Mas Andri itu orang Sunda. Ada lempar koin (sawer), pecah telur, pecah kendi, dan suap-suapan ayam. Rangkaian acara selesai jam setengah 4 dan akan dilanjutkan resepsi pada pukul 7 malam. Acara bebas.
Saya dan Titi pergi jalan-jalan di area gedung kementerian. Yoga sendiri berkumpul di dalam gedung dengan keluarga lainnya. Sementara kami berdua, asyik memotret bagian demi bagian gedung. Sesekali bagian demi bagian manusia yang memotret ikut juga memfoto dirinya, hehehe..
Tiba-tiba, ada kucing. Kucing hitam. Jinak sih, tapi.., you know what, meskipun kita suka kucing, tapi lagi belum boleh terlalu dekat dengan kucing. Kalau aturan itu dilanggar, hasilnya: hatsyi-hatsyi..!! Bersinnya bakal lama! Jadi, si pejantan kucing garong itu kami elus seperlunya, lalu hush! Kami usir sejauh-jauhnya, hohoho..
Kira-kira jam 5, kami kembali masuk ke dalam gedung. Berkumpul lagi bersama keluarga. Baru beberapa menit duduk, si Titi keluar lagi, nggak tau deh mau jalan-jalan ke mana. Saya sendiri mulai iseng memerhatikan detil sudut demi sudut gedung. Pintu masuknya diseting seperti lorong yang dindingnya dihiasi tirai-tirai dengan warna merah dan kuning. Ada meja resepsionis di dekat pintu masuk. Setiap jarak diberi hiasan bunga, kayaknya sih bunga beneran, bukan bunga boongan, ketauan kok kalau dicium baunya.. Setiap jarak juga digantung lampu di atapnya, walaupun di atas tirai tadi juga sudah ada lampunya, tapi lampu yang kecil kelap-kelip.
Di dalam gedung, suasana seperti walimah ala Jawa. Prasmanan. Kalau di Palembang kan kursinya disusun rapi di depan panggung, sementara meja makan ada sendiri tempatnya, biasanya di sisi pinggir gedung. Tapi kalau di Jawa, justru kursinya yang ditata di pinggir, di depan panggung malah diletakkan semacam kedai dengan meja-meja penuh hidangan. Ada puding, ada martabak, ada roti isi, trus makanan besarnya ada nasi minyak – nasi putih, gurami asam manis, salad, sup, mie goreng, lho.. Ini mah nggak beda jauh sama yang di rumah tadi. Buahnya juga sama, minumnya pun juga. Bedanya, di sini porsinya lebih banyak, hihihi..
Di panggung nantinya kedua mempelai akan diapit orangtua masing-masing. Karpet merah terhampar dari lorong pintu masuk sampai ke atas panggung. Oh iya, pintu keluarnya sama seperti pintu masuk.
Saya lalu berandai-andai. Kalau nikah nanti, saya mau konsepnya adalah batik. Ciri khas saya donk, ciri khas dunia tekstil. Tirainya motif batik, panggungnya motif batik, taplak meja hidangan motif batik, kursinya juga batik, dress code-nya batik, sampai kalau perlu piring dan gelasnya juga bercorak batik (ngayal atau ngimpi, heh?!). Karena batik identik dengan malam yang warnanya coklat, maka hidangannya juga temanya coklat. Nasi coklat, sayur coklat, es coklat, buah coklat, dan coklat-coklat lainnya. Pulang-pulang, semuanya dirubungi semut, wakakakaka.. Sebuah pernikahan dengan konsep konsumsi yang unik (atau aneh?). Tapi nggak ding, nggak mungkin lah ada menu makanan kayak gitu.. Ngaco aja.
Menjelang jam 6 atau menjelang maghrib, Titi minta diantar. Katanya sih mau didandani, di masjid katanya. Nah, saya ikut aja ketika dia mengajak. Kami keluar gedung. Setelah berjalan sebentar, lho, kok malah keluar area kompleks kementerian?
“Katanya di luar kantor kok, Kak..”
Ya sudah, saya ikut aja. Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit, kok nggak sampai-sampai.. Mana Jakarta rame banget, asap-asap udah bikin keringetan. Jalan pula kita di trotoar, kalau naik motor kan mending.. Saya mulai curiga. Saya inisiatif berhenti dan menelepon ibu. Baru menekan tombol hijau, eh.., hape saya mati..! Saya baru ingat tadi ponsel saya ngedrop batrenya karena dipake foto-foto sama Titi. Gubrak! Saya bilang sama dia, minta dia nelpon ibu. Eh.., pulsanya malah habis.. Gedubrak..!!
Tapi akalnya panjang juga.
Pinjem hape kakak bae, nak ku keluarke sim nyo, gek ku pindah ke hape aku bae..,” usulnya. Dan setelah itu dilakukan, setelah dering nada sambung terjawab, ternyata….., masjidnya ada di dalam kompleks kementerian.
Tuing-tuing-GUBRAK!!!
Kami langsung balik, sambil jalan cepat. Soalnya sebentar lagi jam 7, dan kami juga belum shalat Maghrib. Jalan cepat-cepat tanpa bicara, pokoknya pikiran kita berdua harus sesegera mungkin masuk ke dalam kompleks kementerian dan menemukan masjid yang dimaksud. Di luar auranya nggak enak, nggak begitu ramai pedagang berjualan, tapi kendaraan yang lalu-lalang cukup banyak. Asapnya bener-bener bikin sesak dan gerah.
Lima belas menit kemudian, kami masuk ke dalam kompleks Kemtan. Dan sekitar lima menit kemudian, kami temukan masjid itu. Titi langsung mencari rombongan para ibu untuk ikut berdandan, sementara saya langsung shalat. Gilee.., setengah jam jalan malam dengan ditemani polusi udara.. Haha, semakin nggak mau deh hidup di Jakarta. Padahal sorenya tadi kan hujan, tapi tetep aja di jalan raya rasanya sesak.
(bersambung)

---Posting tanggal 13 Mei 2011---

Pertemuan di Jakarta (Bagian 3)


Sampai pas turun ke bawah, kelupaan dibawa deh. Gubrak!
Hmm.., apa yah kira-kira isinya? Whatever that, saya ingin besok menjadi hari yang sempurna, sebab lusa saya sudah kembali ke Jogja..

*  *  *
Selepas shalat shubuh, para penghuni Rumah BSD segera bersiap-siap menyambut hari H. Saya perhatikan manual acara (rundown) pernikahan Mas Andri dan Mbak Dian. Pagi hari diisi dengan pengajian keluarga, lalu siangnya dilanjut dengan akad nikah, dan malam harinya disambung dengan resepsi.
Para ibu, ibu saya dan Bude Uning, sibuk di dapur menyiapkan sarapan pagi. Para bapak dan anak-anak muda mengatur ruangan, menggeser sofa dan lemari, mengangkat meja, menggelar hambal, dan menyetel sound system dan lcd.
Menjelang pukul 9, para tamu mulai berdatangan. Sebagian keluarga yang tinggal di Bintaro datang ke BSD. Kami berbincang-bincang seperlunya. Beberapa saat kemudian, pengajian pun dimulai untuk menghemat waktu, sebab hari itu adalah hari Jum’at. Pakde Ar memulai acara dengan bercerita tentang buku autobiografinya. Pakde juga berbicara tentang alur kehidupan manusia, dimana pernikahan merupakan salah satu sunnah rasul. Kemudian, bapak saya menyambung dengan ceramah. Kata pakde, sebenarnya bapak lah yang ditugasi untuk mengisi kajian keluarga itu.
Bapak bercerita kalau pertemuan keluarga itu biasanya dalam tiga peristiwa, yaitu kelahiran bayi, pernikahan, dan jika ada yang meninggal. Istilah Jawa-nya: manak, manten, mangkat, alias 3M. Bapak lalu berpetuah kalau sudah menikah artinya harus bisa saling menghargai, sebab setelah menikah biasanya sifat-sifat yang kurang berkenan dari pasangan kita akan muncul dan kita harus menghargai itu, bukan mempermasalahkannya, bahkan sampai cerai. Sebisa mungkin, “itu” dihindari.
Di tengah-tengah acara, ponsel saya tiba-tiba bergetar. Saya lirik layarnya, lho.., ini kan anak Himmah.. Saya diamkan saja karena saat itu saya ada di tengah ruangan. Nggak sopan kali ya tau-tau izin keluar hanya untuk mengangkat telepon, toh saya bukan bos ini.. Sesaat kemudian, sms itu masuk.
“Kamu di mana, Bud? Dicari Mas Pam-pam nih.”
Hohoho.., udah saya bilang saya lagi nggak di Jogja kok ya.. Saya balas seperlunya, saya bilang besok Sabtu siang saya baru balik ke Jogja. Tapi, kepikiran juga sih, sedang apa ya anak-anak di Kaliurang sana? Lagi pada kemping ceria atau “kemping cemberut” ya, hehe.. Tau lah ya maksudnya tanda petik.. Merujuk pada sen***itas.. Sudahlah, lupakan..!!
Setelah pengajian selesai, agenda berikutnya adalah pesan-pesan keluarga. Bulik Anik memberikan salah satu peninggalan alm. Paklik Sujud, suaminya bulik, yaitu sebuah surat dari alm. Mbah Suwardi. Surat tersebut berisikan nasihat untuk paklik semasa paklik dulu sakit kanker paru-paru. Bahwa suatu saat ketika maut menjemput hadapilah dengan ikhlas.. Dan kala itu, nyatanya paklik harus pergi lebih dulu daripada simbah.. Ah, waktu itu saya masih SD, ra ngerti opo-opo..
Makan siang adalah penutup pengajian, makan siang sebelum para lelaki menunaikan shalat Jum’at. Oh iya, selama acara berlangsung tadi, tak lupa adik saya memainkan tustelnya, jepret-jepret.. Tapi berhubung saya bukan orang yang suka fotografi, tidak ada foto yang saya tampilkan melalui tulisan ini, ehehehe.. Makan siang itu menunya nasi minyak – nasi putih, gurame asam manis, salad, mie goreng, hmm.., Makan siang itu menunya nasi minyak – nasi putih, gurame asam manis, salad, mie goreng, hmm.., nyummy!! Minumnya ada air putih, sirup, dan minuman bersoda.. Buahnya? Ada melon, semangka, sama papaya.. Eits, tak lupa hidangan penutup, puding dengan mayonnaise-nya.. Hayoo, siapa yang ngiler, wkwkwk.. Maklum, ini Jakarta! Jakarta, Bud! Jangan heran ya sama konsumsi semacam itu, hihihi..
Saya yang biasanya di Jogja jarang makan sama-sama di meja makan, bisa makan bareng sama orangtua dan adik-adik.. Subhaanallah..
Hari beranjak siang dan kami sudah melaksanakan shalat Jum’at dan shalat Zhuhur. Kami semua segera bersiap-siap menuju gedung untuk acara akad nikah. Gedung yang dimaksud terletak di kawasan Ragunan, Jakarta Selatan. Sebagai mempelai pria, bingkisan-bingkisan untuk mempelai wanita tak lupa dibawa. Kotak-kotak yang dihiasi pernak-pernik itu antara lain berisi alat kecantikan (kosmetik), alat mandi, kerajinan tangan, kue basah, dan buah.
“Besok gitu juga ya, Bud,” celoteh salah seorang pakde.
“Haha, masih lama, Pakde.. Nunggu Australia dulu,” balas saya.
Bermobil-mobil, kami berangkat dari Rumah BSD menuju Ragunan. Hujan mengiringi perjalanan kami melewati jalan tol. Dari kaca mobil, tampak gedung-gedung pencakar langit Kota Jakarta, entah itu mall, apartemen, perkantoran, bank, apa aja boleh.. Semua itu sedang diguyur oleh hujan. Sekitar dua puluh menit kemudian, kami sampai di sana.. Sebuah gedung yang terletak di kompleks Kementerian Pertanian Republik Indonesia..
Saya tidak ada pikiran apa-apa saat itu, padahal malam harinya saya dan adik bungsu saya akan berjalan sekian kilometer di tengah semburan asap knalpot, alias nyasar..!!
(bersambung)

---Posting tanggal 11 Mei 2011---