Jumat, 27 April 2012

Happy Birthday 26/04

Darinya yang menempati sebagian hati ini...

Apa yang terlintas di benakmu ketika disebut tanggal 26 April?
Buat saya, itu merupakan tanggal lahir seorang tokoh nasional. Seorang politikus yang menjadi Ketua MPR RI Periode 1999-2004. Ayah dari penulis buku “99 Cahaya di Langit Eropa”. Tepat tanggal 26 April 1944, Bapak HM. Amien Rais lahir di Solo, Jawa Tengah.
Buat saya, itu juga merupakan sebuah catatan penting bagi industri nuklir. Sebuah reaktor bocor dan menyebabkan terjadinya ledakan di Unit 4 PLTN Chernobyl, Ukraina, pada pukul 01.23 waktu setempat. Dunia mengenangnya sebagai bencana nuklir terbesar: Tragedi Chernobyl.
Dan secara pribadi, tanggal 26 April 1990 atau bersamaan dengan tanggal 01 Syawwal 1410 H, sekitar pukul 07.50 WIB, saya lahir ke dunia.
Serasa baru kemarin, selalu meminta susu sebelum tidur dengan rengekan, “Minum bobo”. Seperti baru kemarin, menenteng tas kecil berisi kotak makanan dan minuman, pulang dari sebuah busthanul athfal di Malang. Seakan baru kemarin, belajar matematika dan membaca UUD 1945 saat upacara bendera di sebuah SD Kota Palembang. Seakan baru kemarin, melangkah menjelang subuh dan petang menuju Masjid Al-Hayat dan menjadi paskibra saat upacara hari kemerdekaan di sebuah ma’had Kabupaten Indramayu.
Sekarang, saya sudah sedikit demi sedikit bisa mengerjakan tugas perancangan pabrik.
“Happy Birthday, wish all the best for you.”
Spesial buatmu yang sedari dulu tak pernah lupa, sekalipun tidak membuka facebook, kuharap memang tak pernah lupa, trims.

Sabtu, 14 April 2012

Perbedaan Itu...


“Tapi Bud, perbedaan itu kan indah..,” ujar seorang teman dalam obrolan singkatnya dengan saya, membuat saya lalu berpikir apakah benar demikian?
*  *  *


Ada perbedaan, ada persamaan. Berbicara tentang keduanya, saya punya sebuah pertanyaan relatif yang sedari dulu terus bergulir hingga kini: “Cinta itu sebenarnya dipertemukan oleh apa, oleh persamaan (similarities) ataukah perbedaan (differences)?” Setiap kita jika ditanya seperti itu tentu memiliki beragam jawaban. Pertanyaan tersebut bukanlah suatu masalah yang bisa diselesaikan secara eksakta, pendek kata, soal tersebut tidak bisa dijawab dengan rumus perhitungan. Maka dari itu, tanggapan adalah kunci jawaban yang sifatnya tidak mutlak, tidak mengikat, dan tentu sesuai masing-masing watak.
Ada dosen saya di kelas, yang apabila soal ujiannya tidak bisa dikerjakan secara eksakta, biasanya karena ada  variabel yang belum tercantum, akan di-clue­-kan beliau, “Asumsikan saja, atau berikan tanggapan, komentar Anda.”
Kembali pada lead di atas. Dalam obrolan tersebut, teman saya berpendapat apabila kita sudah terlanjur cinta kepada seseorang, akan berat bagi kita untuk melepasnya, baik jika orang itu yang memutuskan hubungan atau kita sendiri yang secara tidak sadar melakukannya. Meskipun dalam hubungan itu sudah banyak ketidakcocokan alias perbedaan, terlanjur cinta membuat kata “putus” bukan jalan keluar terbaik. Menurut hemat saya, itulah yang terjadi ketika hati lebih mengedepankan “rasa” ketimbang “rasio”. Jika memang tidak cocok lagi, menurut saya cukup diakhiri saja, namun saya kemudian sadar itulah yang terjadi saat saya lebih mengutamakan “rasio” daripada “rasa”.
Pada mata kuliah Etika Profesi, saya memperoleh pengetahuan tersebut, yaitu tentang dimensi subjektif dari hati nurani dimana ada rasa yang merupakan jelmaan perasaan dan ada rasio yang merupakan jelmaan logika. Sebagai seorang profesional di bidangnya, orang itu dituntut mampu menyeimbangkan antara rasa dan rasio, tidak berat sebelah. Tak jarang, orang yang mencoba bersikap adil seringkali terjadi peperangan dalam dirinya. Begitu juga dalam cinta, ada satu pihak yang dominan dengan logika dan ada pihak lain yang dominan dengan perasaan. Lantas, persoalaannya sekarang adalah bagaimana jika perbedaan itu semakin nyata dari hari ke hari? Semakin terentang jauh dari waktu ke waktu?
Mulanya, perbedaan itu bisa teratasi ketika masing-masing sepakat untuk mencoba. Tetapi tidak menutup kemungkinan, suatu hari, ada pihak yang merasa dirugikan sebab lamat-lamat ia sadar bahwa menghadapinya tidak mudah. Salah satu akhirnya akan lebih menuntut dan satu lainnya berdalih dengan pendapatnya. Apabila debat kusir, atau apalah bahasanya itu, tidak mencapai titik temu, kira-kira apa hal terbaik yang bisa diambil?
“Karena kalau sudah tidak cocok lagi, buat apa dipaksakan,” lontar saya.
“Tapi Bud, perbedaan itu kan indah, walaupun harus sakit karena jatuh bangun berkali-kali..” ujar teman saya itu.
Saya menyahutinya, ”Tapi kalau sudah terlalu mencolok juga buat apa dipaksakan, malah susah sendiri nanti. Perbedaan memang indah, tapi ada batas yang mengatur itu. Lebih baik ikhlas saja diakhiri, lalu fokus ke depan dan meyakini suatu hari Tuhan akan menggantinya dengan yang lebih baik.”
Dan obrolan itu terus bersambung dan bersambung. Setiap kita bertahan dengan keinginan masing-masing. Setiap kita bersikukuh dengan argumen masing-masing. Hanya, setiap kita “tidak memaksakan” kehendak masing-masing, sebab yang akan menjalani tentu adalah yang bersangkutan, bukan? Mengenai rasa dan rasio, hal tersebut memang rumit, melebihi rumitnya rumus-rumus matematis. Ketika rasio merumuskan Ne1 adalah panjang dalam hank (840 yard) dibagi dengan berat dalam pound (1 lbs), dalam hal rasa mungkin tidak semudah itu.
“Setidaknya usaha dulu, Bud, buat bertahan. Meskipun kadang bisa bikin galau atau jadi sedih sendiri. Yang jelas, ikhlas buat berpisah itu pasti berat untuk salah satu pihak, tidak semudah yang diucapkan,” katanya lagi.
Entah kita merasakan pengalaman yang sama, atau berangkat dari hal yang sama. Sebab nyatanya dalam beberapa hal kita sepakat, namun dalam hal lain kita punya pendirian sendiri-sendiri. Jadi, perbedaan itu adalah….

Sabtu, 07 April 2012

Pada Suatu Siang




Hujan memang tidak kenal kompromi. Tidak peduli siapa yang beraktivitas di muka bumi, ia selalu turun sesuka hati. Bahkan ketika teman-teman difabel hendak berparade di sepanjang Jalan Malioboro, Sabtu (07/04/2012). Siang itu, hujan menahan kami begitu pita di pintu pagar DPRD DIY hendak dipotong pertanda mulainya acara. Hujan memang payah!
Setengah jam kemudian, acara bisa dilaksanakan. Satu demi satu kloter sobat difabel berangkat untuk unjuk kebolehan masing-masing. Hujan lagi-lagi turun, tapi kami tidak ambil peduli. Parade kisah nusantara terus dilangsungkan di bawah rintik hujan yang menderas. Aku berjalan di trotoar sambil mengikuti rombongan demi rombongan.
Sampai seorang ibu yang terus melihat ke jalan menarik perhatianku.
“Nemenin siapa, Bu?”
“Oh, itu anak saya di sana.”
“Biasanya sudah pernah ikut kayak gini, Bu?”
“Belum, biasanya paling kalo 17 Agustus-an, di kampung, kalo yang besar kayak gini baru pertama kali.”
“Senang anaknya, Bu?”
“Iya Mas, dari mau berangkat tadi senang sekali dia. Senangnya lain kalo ikut lomba di kampung…”
Dan anak ibu itu tertangkap oleh anak mataku. Berbusana kebaya kuning seraya menari di jalan bersama kelompoknya. Raut wajah anak itu terlihat berbeda, namun dengan semangatnya, ia terus menari dan menari, tidak peduli padahal basah kuyup. Sesekali ia bertukar senyum dengan ibunya yang kuajak bercakap tadi.
Ah, hidung ini kok jadi kembang kempis, aku tidak boleh terharu lalu menangis…
Langsung saja kudahului ibu itu. Kembali berjalan sambil mengambil beberapa gambar untuk dokumentasiku. Hujan masih saja dengan sombongnya mengguyur kami. Dan kami pun tak kalah sombongnya melawan hujan dengan terus larut dalam kegiatan parade. Hingga kemudian, tangan-tangan yang menabuh rebana itu menarik lagi perhatianku.
“Sehat, Bu, anak-anaknya?”
“Ada yang kedinginan mungkin, Mas.”
“Sudah pernah ikut kayak gini sebelumnya, Bu?”
“Wah, paling sebatas lomba di sekolah, kalo di luar sekolah belum pernah.”
“Tapi senang kan, Bu?”
“Wah iya ini…”
Tiba-tiba aku bergumam, kenapa Tuhan tidak memberi mereka indra penglihatan yang sempurna? Kenapa harus mereka yang mengalaminya? Lihatlah, umur mereka sebaya anak SD, tapi mereka tidak bisa melihat dunia. Lihatlah, mereka tidak lantas sebal karena harus berhujan-hujanan. Lihatlah, jari-jari mereka terus saja menabuh dengan penuh semangat dan mulut mereka komat-kamit melantunkan shalawat.
Kenapa logika-Nya yang satu itu sangat sulit untuk dimengerti…
Ah, hidung ini kembang kempis lagi…
Setiap kita seharusnya bersyukur memiliki panca indra yang lengkap dan sempurna. Setiap kita seharusnya bersyukur memiliki kesehatan mental yang tidak terbelakang. Setiap kita seharusnya sadar untuk apa semua itu Tuhan berikan kepada kita, sebab suatu hari kenormalan tersebut akan dimintai pertanggungjawabannya.