Jumat, 14 Desember 2012

Bersama Mereka



Pada suatu permulaan malam, kita bertemu. Seakan sudah kenal dekat dan semua mengalir begitu saja setelah jabat tangan. Nama, asal, jurusan, dan lain-lainnya. Berujar canda, melontar tawa, sembari merencanakan 38 hari ke depan. Tidak ada rasa ketidakcocokan, yang ada cukup harmoni persaudaraan. Meski awalnya, aku sempat ragu apakah bisa melalui hari-hari itu bersama kalian. Berdelapan kita. Mengingat, akan ada kewajiban-kewajiban yang sejenak aku tinggalkan. Meski akhirnya, aku bersyukur, Tuhan mengelompokkan kita.
Kita tidak pernah berkonflik, hanya riak-riak kecil, batu-batu kecil, angin-angin kecil, atau apalah bahasanya. Wajar. Kita pun tidak pernah bermasalah dengan masyarakat, sekali lagi, hanya yang kecil-kecil itu saja. Kekhilafan yang lazim dimiliki manusia. Toleransi kalian boleh dibilang tinggi. Toleransi yang terkadang membuatku jengah, lantaran itu membuat irama terlalu santai. Saling tunggu-menunggu, hingga terburu-buru saat menyadari esok telah tiba. Saling memperlambat laju waktu, hingga tahu-tahu satu tanggal sudah di depan mata.
Boleh dibilang, kita ini gado-gado. Bukankah begitu, Kawan? Bukan semata perbedaan nama, asal, dan jurusan kita. Melainkan juga profesi dan keseharian kita. Ada comic stand up, ada fotografer, ada komunitas mobil, ada penulis, dan ada petualang cinta. Ada yang berisik ribet, ada pendengar yang baik, ada yang suka asal melucu, dan ada pendiam aktif. Satu-satunya yang tidak akan pernah kulupa, ketika salah satu dari kalian menyebut sosok itu sebagai “manekin”. Antara ingin tertawa dan marah campur jadi satu. Tertawa karena itu memang kurang ajar lucunya, sekaligus marah karena itu kurang ajar tidak sopannya.
Tapi itulah kita, sepiring gado-gado di sebuah pedukuhan. Saling melengkapi dengan masing-masing kadar gizi. Terbayang, berpuluh-puluh tahun lagi. Ada yang berjas dokter, berjubah pengacara, berjas manajer, dan bertopi insinyur. Atau, bahkan lebih dari itu. Kita bertrasnformasi sesuai ilmu dan hobi. Apapun nanti, aku hanya bisa berpanjat doa di malam perpisahan, semoga kesuksesan menyertai kita. Semoga kebersamaan ini selalu membayangi kita. Dan semoga ketaatan kepada Sang Pencipta selalu tersemai di dalam sanubari kita, amin.

Jumat, 07 Desember 2012

Harga Jagung Manis


Salah satu program kuliah kerja nyata (KKN) yang menjadi program individu saya adalah Pembuatan Susu Jagung. Cara membuatnya hampir sama dengan cara membuat jus. Hanya, karena jagung bukan buah, disebutnya susu. Jagung yang digunakan adalah jenis jagung manis. Jagung tersebut mula-mula direbus hingga matang, kemudian dipipil bijinya. Biji jagung lalu dicampur air, diblender, lalu sari dan ampasnya disaring. Sari jagung inilah yang diminum sebagai susu jagung.
Susu jagung dibuat bukan karena iseng tidak ada kerjaan. Susu jagung dibuat sebagai alternatif konsumsi bagi penderita sakit gula atau diabetes. Jagung manis dipakai supaya rasanya cukup manis. Bagi penderita diabetes, susu jagung murni yang diminum, tanpa campuran apa-apa. Sedangkan bagi orang sehat, susu jagung dapat diminum dengan campuran gula atau susu kental manis, jika dirasa murni kurang pas di lidah.
Saya mencoba mendapatkan jagung manis di tiga tempat, yaitu pasar pagi atau pasar tradisional, supermarket, dan pasar grosir. Harganya, “wow”, berbeda-beda. Satu kilo di pasar tradisional harganya Rp3.000, satu kilo di supermarket harganya Rp5.500, dan satu kilo di pasar grosir harganya Rp7.950. Hal yang membuat beda, antara lain soal kemasan dan kuantitas biji. Di pasar tradisional, jagung satu kilo dibungkus plastik yang satu plastik isinya 4-5 bonggol. Ada bonggol yang bijinya penuh, ada bonggol yang bijinya tidak penuh. Kalau di supermarket, jagung satu kilo dibungkus plastik dengan diberi alas styrofoam yang satu plastik isinya hanya 2 bonggol. Jagung sudah diberi label harga dan ditaruh di rak yang dilengkapi pendingin. Sementara di pasar grosir, kemasannya sama dengan di supermarket, hanya ditambah pendingin ruangan, jadi bukan pendingin rak saja. Pembeli juga disuguhi musik, jadi selain ruangan sejuk juga bisa sambil mendengarkan musik.
Well, kalau orang-orang mulai meninggalkan pasar tradisional dan beralih ke pasar modern (seperti supermarket dan pasar grosir), rasanya wajar. Bukan jadi soal tentang ada pendingin atau tidak atau ada musik atau tidak. Soal kualitas pun juga berbeda. Jagung di pasar tradisional kualitasnya kurang memuaskan. Ketika dicoba untuk dimakan pun, ternyata jagung di pasar tradisional tidak terlalu manis, padahal namanya jagung manis. Jadi, wajar kalau masyarakat beralih ke pasar modern. Pasar tradisional, setidaknya harus oke dalam hal kualitas jika tidak ingin ditinggal pelanggan. Jika dalam kualitas saja kurang, apalagi kuantitas, maka terang saja pasar tradisional “dibunuh” pasar modern.
Fleksibilitas waktu juga ikut menjadi faktor. Pasar tradisional sudah tutup saat hari beranjak siang, hanya beberapa yang masih buka dan saya tidak menemukan ada jagung manis di sana. Ketika ke supermarket dan pasar grosir, jagung manis selalu ada, tidak pernah kosong. Bukan masalah malas pagi-pagi ke pasar, saya rasa ada orang yang tidak sempat pergi pagi ke pasar tradisional karena beberapa hal, bukan semata rasa malas atau belum bangun. Jadi kira-kira, ada tiga unsur agar pasar tradisional mampu berjalan beriringan dengan pasar modern, yaitu selain kualitas dan kuantitas, juga ada fleksibilitas. Memang tidak mudah, bukan?

Sabtu, 01 Desember 2012

Simulasi IELTS


Beberapa hari lalu, saya mengikuti IELTS Simulation Test di sebuah institusi. Kalau yang belum tahu apa itu IELTS, IELTS adalah singkatan dari International English Language Testing System. IELTS hampir mirip dengan TOEFL, sama-sama tes yang menguji kemampuan Bahasa Inggris. Kalau yang belum tahu apa itu TOEFL, TOEFL adalah singkatan dari Test of English as Foreign Language. Hal yang membuat keduanya berbeda adalah tingkat kesulitan dan ragam bentuk soal yang harus dikerjakan.

TOEFL (yang pernah saya ikuti) terdiri dari 3 bagian: Listening, Structure, and Reading. Adapun penjelasan singkatnya adalah sebagai berikut:
Listening = Ada rekaman yang berupa percakapan beberapa orang atau dialog yang berlangsung di suatu tempat, kemudian ada soal berdasarkan rekaman itu, berupa pilihan ganda dan isian.
Structure = Ada kalimat yang harus dianalisis sesuai dengan grammar, kita diminta untuk menentukan kata yang salah menurut aturan tata bahasa.
Reading = Ada bacaan dengan topik bahasan tertentu, lalu ada soal terkait bacaan itu, berupa pilihan ganda.

Sementara itu, IELTS (yang kemarin saya ikuti) terdiri dari 4 bagian: Listening, Reading, Writing, and Speaking. Berikut paparannya masing-masing:
Listening = Pada sesi ini, rekaman yang diperdengarkan tidak sebatas dialog atau percakapan, tetapi bisa juga wawancara, penjelasan ahli, dsb. Saya mendapat rekaman wawancara responden penonton televisi, penjelasan produk perusahaan oleh seorang sales, penjelasan dosen ke mahasiswanya tentang rencana penelitian, dan penjelasan ahli tentang air resapan di Australia. Soalnya pun tidak sebatas isian dan pilihan ganda; ada pilihan ganda yang jawabannya lebih dari satu, ada soal mencocokkan benar atau salah, dan ada soal mencocokkan pernyataan dan penjelasannya. Berbeda sekali dengan model soal TOEFL, apalagi beda jauh dengan model soal UAN.
Reading = Pada sesi ini, bacaan yang disajikan bukan sebatas bahasan ringan. Saya mendapat tiga bacaan, yaitu tentang perawatan kucing Afrika di sebuah taman konservasi, hasil riset tentang insomnia di Eropa, dan opini para ahli tentang sistem pertanian di sebuah tempat bernama Oregon, AS. Soalnya, lagi-lagi tidak sebatas pilihan ganda. Ada soal mencocokkan benar, salah, atau informasi tidak diberikan bacaan. Ada soal mencocokkan pernyataan dengan satu, dua, atau kedua objek yang diceritakan bacaan. Ada soal mencocokkan pernyataan ini kata siapa dan pernyataan itu kata siapa. Ada soal melengkapi bacaan rumpang yang didasarkan pada bacaan sebelumnya. Dan semua itu benar-benar membutuhkan ketelitian ekstra karena banyak kalimat yang bisa multitafsir.
Writing­ = Pada sesi ini, terdapat dua tes menulis. Pertama, menulis tentang sebuah gambar, bisa berupa diagram atau grafik yang merupakan persentasi suatu penelitian. Kedua, menulis tentang sebuah opini, tergantung pokok bahasan yang diminta. Tulisan pertama berkisar 150 kata dan tulisan kedua berkisar 250 kata. Saya mendapat diagram batang tentang persentase literasi pada pria dan wanita yang dibagi menurut benua, lalu mendapat opini tentang penghapusan kegiatan ekskul dari kurikulum akademik karena tuntutan sekarang menghendaki nilai akademik yang bagus. Menurut saya, sebagus-bagus pemikiran, akan percuma jika kosa kata Bahasa Inggris terbilang minim. Untuk itu, pikir-pikir dulu ingin menulis apa sesuai kemampuan agar tidak macet di tengah menulis.
Speaking = Pada sesi ini, terdapat dua tes bicara. Pertama, bicara tentang data pribadi, seperti nama, alamat, keluarga, pendidikan, kegiatan, hobi, dsb. Kedua, bicara tentang topik yang ditentukan oleh penguji, namun setelah diberi tahu topiknya, ada waktu untuk mempersiapkan apa-apa yang akan dibicarakan. Tentunya, hal ini lagi-lagi berhubungan dengan kemampuan agar tidak macet di tengah bicara. Kemarin, saya mendapat topik mengenai film favorit, tokoh-tokohnya, kenapa menarik, alur cerita atau plotnya, dan pendapat tentang dunia film/televisi di Indonesia.

My Impression
Saya pribadi, jika disuruh memilih tingkat kesulitan IELTS, maka Speaking was the most difficult part. Saya sempat stuck, diam beberapa lama karena tidak tahu mau bicara apa lagi, lola alias loading lama! Dan, si penguji tidak membantu apa-apa, beliau menunggu dan tidak menanggapi apa-apa. Pun jika ada salah bicara, jangan harap dibenarkan. The next difficult part was Listening. Bukan model soalnya yang “menyiksa”, tapi juga aksen atau gaya bicara yang cepat, seperti sungguhan. Kalau pas UAN ada pengantar “what does the man mean” atau “what does the woman mean”, pas IELTS jangan harap ada, tahu-tahu sudah beralih ke rekaman selanjutnya padahal soal belum terjawab. I just enjoyed in Writing and Reading. IELTS kini adalah momok pengganti fisika, menurut saya.