Jumat, 09 September 2011

Kemis, 9 September 2004

Sebuah bom meledak di depan Kedubes Australia tepat tujuh tahun lalu. Tragedi pilu yang membawa duka dan membuat luka. Betapa mengerikan daya ledak bom high explosive tersebut. Setidaknya itu yang kurasakan saat melihat sendiri sebuah foto di halaman muka salah satu surat kabar ternama. Menyaksikannya di kamar 316 FR, Ma’had Al-Zaytun.

Selepas shalat Jum’at tadi sejenak kutertegun. Ketika melepas peci dan baru saja meletakkannya ke dalam lemari. Menyadari bahwa tanggal yang tertera di puisi itu adalah tanggal hari ini. Puisi yang (dulu) diam-diam kuambil dari surat kabar ternama tadi dan kutempel di lemari kamarku di rumah Palembang. Puisi yang kini sudah tampak lusuh.

Rasanya boleh saja jika kubagi denganmu puisi itu. Tidak, bukan maksudku mengorek cerita lama yang kelabu. Aku juga tidak bermaksud memperingati Hari Olahraga dengan mengingatkanmu pada satu kisah sedih. Aku hanya ingin berbagi kata-kata indah yang lahir dari tangan salah satu sastrawan kita, sang penyair Indonesia. Dan inilah dia, puisi itu:

__________________________________________________
Kemis, 9 September 2004



Tiba-tiba 9 September 2004 pagi hari,
bom meledak lagi di ibu kota Jakarta, di Jalan Kuningan,
dahsyat menggelegar gedung kedutaan dan perkantoran
tanah dan pasir berputar, potongan besi berlontaran
mobil-mobil jadi kerangka, api mengunyahnya
imaji kacau balau yang sampai ke seluruh dunia
kekerasan, nyala, batu, asap, puing dan mayat
dalam garangnya suasana, air mata panas terasa
orang-orang berlarian ke hospital, mencari sanak saudara
dengarlah sedu sedan sebagai suara yang tiada hentinya
dan dari jauh banyak yang mengirimkan doa.

Kami tercenung, tertunduk, menitikkan air mata
bom meledak di Bali,
bom meledak di Makassar,
bom meledak di Atrium Senen,
bom meledak di Hotel Marriot,
bom meledak di tempat-tempat lain,
belum habis suara ledakan itu,
belum kunjung selesai masalahnya terselesaikan,
sudah meledak amunisi ini
dan berjatuhan korban lagi

Sehingga setiap kita melangkahkan kaki di atas bumi,
kita cemas apakah akan ada ledakan lagi,
dan kita semua bertanya,
apakah bom dapat menyelesaikan persoalan
apakah tidak akan menambah dendam?

Kini lagi kerusakan dan puing terbentang di depan kita,
kini bertambah saudara-saudara kita yang meninggal dan luka-luka,
kita semua tercenung, tertunduk, menitikkan air mata
dan masing-masing kita memanjatkan doa
semoga bangsa lepas dari semua bencana
semoga rangkaian krisis ini segera habis
semoga dendam dipendam dalam-dalam

Kepada yang memegang kekuasaan,
kita imbau agar keadilan benar-benar dilaksanakan
agar hukum lurus dan kukuh ditegakkan
karena dengan demikian dapat diredam
apapun bentuk pertikaian
dan dendam dipendam perlahan-lahan

Semoga berhentilah menetes air mata kita
dan mendung yang kelam di atas sana
pergi jauh sehingga
cahaya yang terang melimpahi bumi kita.



Taufiq Ismail
2004
__________________________________________________



Tidak ada komentar:

Posting Komentar