Minggu, 11 September 2011

Mengenang Rasanya


Pagi ini, ketika menyapu lantai, garasi, dan halaman, saya berpikir ini adalah sapuan terakhir di rumah. Ketika membuka gorden, ini adalah bukaan terakhir di rumah. Dan ketika menyiram tanaman, saya juga tahu itu adalah siraman terakhir saya di rumah… Bahkan ketika menyapa Cila “Keikoh” Inggil pagi itu adalah sapaan terakhir untuknya…
*  *  *
Satu bulan sudah berlalu sejak tanggal 9 Agustus 2011. Tanpa terasa, liburan ini harus diakhiri. Puas atau tidak, keberadaan saya di kampung halaman cukup sampai di sini saja. Suka atau tidak, kenyataannya saya mesti kembali ke tanah perantauan. Tanpa terasa, semua yang dulu dinanti kini sudah usai. Saya kembali tidak bisa melawan kehendak sang waktu. Waktu yang terus melaju dan meninggalkan hari-hari yang telah lalu.
Rasanya seperti baru kemarin sore, saat armada scania bergambar penguin itu membawa saya dari Terminal Giwangan. Rasanya baru kemarin malam, saat saya dan mbak yang duduk di kursi nomor 2 itu berkenalan selepas RM Lestari di Kutowinangun. Rasanya baru kemarin, saat membelah Tol Kanci, saat melihat papan penunjuk ma’had di Patrol, dan saat harus memutar balik karena terjebak antrean truk di Tol Merak. Rasanya baru kemarin pagi, saat saya diseberangkan kapal feri di Selat Sunda. Lalu terjebak macet di Menggala. Dan rasanya baru dini hari kemarin, saat saya turun dari Bus Putra Remaja. Bumi Sriwijaya yang pertama saya injakkan adalah sebuah bus pool di Jalan Dr. M. Isa.
Rasanya masih seperti kemarin, saat saya jalan-jalan di Palembang Square (PS) dan Palembang Trade Center (PTC). Tidak jauh dari ungkapan “anak BA mentoknya ke mall paling Gramed”, waktu itu tujuan awal saya memang ke toko buku-nya. Lalu menyaksikan pembangunan RS Siloam di area PS membuat saya berpikir betapa akan semakin padatnya kota metropolis satu ini. Kemudian terbukti dengan semakin padat merayapnya lalu lintas di jalan raya, terutama di depan PTC. Hanya Palembang Indah Mall (PIM) yang tidak sempat saya sambangi, sebab (rasanya) tidak ada book store di sana. Hotel besar yang dulu terbakar di sebelah Gramedia Pusat kini sudah menjadi pusat perbelanjaan. Pasti akan menambah ruwetnya Jalan Kol. Atmo.
Rasanya juga masih seperti kemarin, saat saya merasakan nikmatnya sahur di tengah serbuan aroma amonia yang menyengat hidung. Seperti pesingnya bau air seni. Ceritanya, ada sebuah masjid di Kota Palembang yang mengadakan malam i’tikaf bersama di sepuluh hari terakhir Bulan Ramadhan. Masjid itu merupakan masjid terindah yang pernah saya datangi selama saya hidup di dunia ini. Masjid dengan ukiran khat Kufi, lampu warna-warni, dan pendingin ruangan yang modern yaitu AC. Masjid tersebut terletak di Komplek PT Pusri, komplek pabrik yang memproduksi pupuk urea. Masjid Al-Aqabah I namanya. Kalau di Jogjakarta, masjid terindah menurut saya adalah Masjid Kampus UGM; maka di Palembang, masjid terindah menurut saya adalah Masjid Al-Aqabah I.
Rasanya pun serupa kemarin, saat saya bersafari dari masjid ke masjid untuk berjama’ah shalat tarawih dan witir. Selama di kota kelahiran, saya punya kebiasaan untuk melakukan ibadah sunnah itu secara nomaden alias pindah-pindah tempat. Sebut saja Masjid Raya Taqwa, Masjid Al-Fatah di Sekip, Masjid Al-Falah di Rajawali, Masjid Al-Ghazali di Unsri Bukit, dan Masjid Al-Aqabah I di Pusri tadi. Satu masjid yang paling berkesan adalah Masjid Al-Balaagh di Dolog, selepas perempatan lampu merah Patal. Saya menyebutnya, “Masjid Sejuta Cerita”. Sebab banyak cerita lahir di sana. Banyak peristiwa bermula dari sana. Masjid itulah yang sudah mengenalkan saya kepada Ma’had Al-Zaytun. Sebuah kisah panjang tentang cinta, persahabatan, dan arti kehidupan, yang hingga kini pun kisah itu masih terus bersambung…
Rasanya belum lama dari kemarin, saat Lebaran Tahun 1432 Hijriyah tiba. Lebaran yang berbeda. Bukan hanya karena berbeda versi ormas dan pemerintah, melainkan saya dan keluarga berlebaran lain dari biasanya, yakni mengikuti petunjuk hari dari pemerintah. Bukan dari ormas seperti biasanya. Padahal keluarga kami yang di Jogjakarta berlebaran mengikuti petunjuk hari ormas tersebut. Sebagaimana program Ust. Nur Maulana, Islam itu indah, bukan? Betapa ia begitu menghargai perbedaan. Mau yang metode hisab ataupun hilal, selama masih dalam ajaran Al-Qur’an dan As-Sunnah, oke-oke saja… Begitu juga kami di Palembang, kali ini merujuk ke ulil amri. Toh ibadah sehari lagi tidak masalah, bukan?
Makanan-makanan itu…
Nah, hal yang spesial dari hari raya fitri di Palembang ya kulinernya… Dua tahun lebaran di Jawa, ini saatnya saya puaskan kembali di Sumatra. Mulai dari minumannya, minuman kaleng, baik yang dengan soda maupun tanpa soda. Lalu ke yang di atas piring, mulai dari makanan besar seperti opor dan malbi sampai ke makanan kecil seperti lapis dan maksubah. Kemudian ke yang di dalam toples, entah yang keripik, bertabur gula-gula putih dan irisan keju, dan yang berhiaskan coklat. Alhamdulillah… Betapa banyak rahmat dan karunia-Mu, Tuhan, sehingga dalam kesehatanku kala itu tak satupun dari mereka yang kupantang… Kecuali kalau nanti diare, tatkala Diapet dan Entrostop sudah tidak mempan, Lodia siap mengobati.
Ah…
Sepertinya takkan singkat jadinya apabila “rasanya” yang lain ikut dirunut detil dalam tulisan ini. Akan panjang nanti jadinya. Cukuplah “rasanya” yang begini saja yang saya bagi dengan teman-teman pembaca. Cukuplah “rasanya” yang menyenangkan saja. Para “rasanya” di atas (mungkin) tidak ada unsur kritis atau hikmah-nya. Tapi berbagi sedikit cerita tentang kenangan “rasanya” tidak ada salah agaknya. Selamat datang lagi, masa-masa pendakian. Pendakian menuju puncak cita-cita. Selamat berjumpa lagi, Jogjakarta…





Transit Palembang-Jogjakarta
Pada suatu sore di lorong Ruang Tunggu A3 Bandara Soeta

2 komentar:

  1. Hal yang menyenangkan harus berakhir ya, tapi kan untuk mengejar cita-cita dan bukan selamanya meninggalkan rumah

    BalasHapus
  2. hmm...emang berat meninggalkan semua hal yang ada kaitannya dengan "rumah"... --"

    BalasHapus