“Tapi Bud, perbedaan itu kan indah..,” ujar seorang teman dalam obrolan singkatnya dengan saya, membuat saya lalu berpikir apakah benar demikian?
* * *
Ada perbedaan, ada persamaan. Berbicara tentang keduanya, saya punya sebuah pertanyaan relatif yang sedari dulu terus bergulir hingga kini: “Cinta itu sebenarnya dipertemukan oleh apa, oleh persamaan (similarities) ataukah perbedaan (differences)?” Setiap kita jika ditanya seperti itu tentu memiliki beragam jawaban. Pertanyaan tersebut bukanlah suatu masalah yang bisa diselesaikan secara eksakta, pendek kata, soal tersebut tidak bisa dijawab dengan rumus perhitungan. Maka dari itu, tanggapan adalah kunci jawaban yang sifatnya tidak mutlak, tidak mengikat, dan tentu sesuai masing-masing watak.
Ada dosen saya di kelas, yang apabila soal ujiannya tidak bisa dikerjakan secara eksakta, biasanya karena ada variabel yang belum tercantum, akan di-clue-kan beliau, “Asumsikan saja, atau berikan tanggapan, komentar Anda.”
Kembali pada lead di atas. Dalam obrolan tersebut, teman saya berpendapat apabila kita sudah terlanjur cinta kepada seseorang, akan berat bagi kita untuk melepasnya, baik jika orang itu yang memutuskan hubungan atau kita sendiri yang secara tidak sadar melakukannya. Meskipun dalam hubungan itu sudah banyak ketidakcocokan alias perbedaan, terlanjur cinta membuat kata “putus” bukan jalan keluar terbaik. Menurut hemat saya, itulah yang terjadi ketika hati lebih mengedepankan “rasa” ketimbang “rasio”. Jika memang tidak cocok lagi, menurut saya cukup diakhiri saja, namun saya kemudian sadar itulah yang terjadi saat saya lebih mengutamakan “rasio” daripada “rasa”.
Pada mata kuliah Etika Profesi, saya memperoleh pengetahuan tersebut, yaitu tentang dimensi subjektif dari hati nurani dimana ada rasa yang merupakan jelmaan perasaan dan ada rasio yang merupakan jelmaan logika. Sebagai seorang profesional di bidangnya, orang itu dituntut mampu menyeimbangkan antara rasa dan rasio, tidak berat sebelah. Tak jarang, orang yang mencoba bersikap adil seringkali terjadi peperangan dalam dirinya. Begitu juga dalam cinta, ada satu pihak yang dominan dengan logika dan ada pihak lain yang dominan dengan perasaan. Lantas, persoalaannya sekarang adalah bagaimana jika perbedaan itu semakin nyata dari hari ke hari? Semakin terentang jauh dari waktu ke waktu?
Mulanya, perbedaan itu bisa teratasi ketika masing-masing sepakat untuk mencoba. Tetapi tidak menutup kemungkinan, suatu hari, ada pihak yang merasa dirugikan sebab lamat-lamat ia sadar bahwa menghadapinya tidak mudah. Salah satu akhirnya akan lebih menuntut dan satu lainnya berdalih dengan pendapatnya. Apabila debat kusir, atau apalah bahasanya itu, tidak mencapai titik temu, kira-kira apa hal terbaik yang bisa diambil?
“Karena kalau sudah tidak cocok lagi, buat apa dipaksakan,” lontar saya.
“Tapi Bud, perbedaan itu kan indah, walaupun harus sakit karena jatuh bangun berkali-kali..” ujar teman saya itu.
Saya menyahutinya, ”Tapi kalau sudah terlalu mencolok juga buat apa dipaksakan, malah susah sendiri nanti. Perbedaan memang indah, tapi ada batas yang mengatur itu. Lebih baik ikhlas saja diakhiri, lalu fokus ke depan dan meyakini suatu hari Tuhan akan menggantinya dengan yang lebih baik.”
Dan obrolan itu terus bersambung dan bersambung. Setiap kita bertahan dengan keinginan masing-masing. Setiap kita bersikukuh dengan argumen masing-masing. Hanya, setiap kita “tidak memaksakan” kehendak masing-masing, sebab yang akan menjalani tentu adalah yang bersangkutan, bukan? Mengenai rasa dan rasio, hal tersebut memang rumit, melebihi rumitnya rumus-rumus matematis. Ketika rasio merumuskan Ne1 adalah panjang dalam hank (840 yard) dibagi dengan berat dalam pound (1 lbs), dalam hal rasa mungkin tidak semudah itu.
“Setidaknya usaha dulu, Bud, buat bertahan. Meskipun kadang bisa bikin galau atau jadi sedih sendiri. Yang jelas, ikhlas buat berpisah itu pasti berat untuk salah satu pihak, tidak semudah yang diucapkan,” katanya lagi.
Entah kita merasakan pengalaman yang sama, atau berangkat dari hal yang sama. Sebab nyatanya dalam beberapa hal kita sepakat, namun dalam hal lain kita punya pendirian sendiri-sendiri. Jadi, perbedaan itu adalah….
Aku rasa cinta itu bukan soal perbedaan atau persamaan, tapi kebutuhan. Siapa yang bisa memenuhi kebutuhan kita, itulah yang, seharusnya, kita pilih untuk dicintai.
BalasHapusKalau soal perbedaan seperti itu sih, aku rasa karena itulah ada yang namanya taaruf (bukan pacaran), saling mengenal pribadi 1 sama lain. Aku gak pake istilah pacaran, karena sepertinya pacaran sekarang ini agak lebay. Tapi, yah, yang jelas kita harus saling memahami karakter 1 sama lain, membangun komitmen, dan visi bersama utk kehidupan ke depannya.
Kesulitan itu pasti, tapi seharusnya jika memang sudah berkomitmen, dan saling mengenal masing2, dan terbangun kepercayaan bahwa masing-masing itu akan dan harusya menjaga komitmen itu sebagai hal yang sangat penting bagi mereka berdua, harusnya sih gak masalah. Meski dalam perjalanannya mereka sering adu pendapat, dan lain sebagainya. Selama masing2 masih memegang komitmen dan visi mereka bersama sih aku rasa gak masalah.
Kalau emang gak cocok, dalam artian sudah sangat berbeda dan tidak bisa ditemukan titik terang yah, menurutku memang lebih baik putus. Soal sulit, ya emang sulit. Tapi, kalau emang mau maju kadang, atau bahkan seringkali memang kita harus mengambil keputusan sulit, bahkan menyakitkan, hanya untuk berusaha mendapat kebahagiaan di depan nantinya.
Aku rasa begitu.
Btw, salam kenal ya. Sori, datang langsung komennya marathon :p
Thanks, Mbak Ika.
BalasHapusAku suka kalimat "karena sepertinya pacaran sekarang ini agak lebay", comic Raditya Dika juga pernah menjadikan itu sebagai materinya di stand up comedy.. :D
Semua memang bertujuan untuk bahagia di depan. Jika memang hanya ada kecewa dan sakit, kupikir it's better to be finished. Hanya jika masih mau bertahan dgn perbedaan, tdk ada salahnya juga lanjut.
Salam kenal juga..