Sabtu, 07 April 2012

Pada Suatu Siang




Hujan memang tidak kenal kompromi. Tidak peduli siapa yang beraktivitas di muka bumi, ia selalu turun sesuka hati. Bahkan ketika teman-teman difabel hendak berparade di sepanjang Jalan Malioboro, Sabtu (07/04/2012). Siang itu, hujan menahan kami begitu pita di pintu pagar DPRD DIY hendak dipotong pertanda mulainya acara. Hujan memang payah!
Setengah jam kemudian, acara bisa dilaksanakan. Satu demi satu kloter sobat difabel berangkat untuk unjuk kebolehan masing-masing. Hujan lagi-lagi turun, tapi kami tidak ambil peduli. Parade kisah nusantara terus dilangsungkan di bawah rintik hujan yang menderas. Aku berjalan di trotoar sambil mengikuti rombongan demi rombongan.
Sampai seorang ibu yang terus melihat ke jalan menarik perhatianku.
“Nemenin siapa, Bu?”
“Oh, itu anak saya di sana.”
“Biasanya sudah pernah ikut kayak gini, Bu?”
“Belum, biasanya paling kalo 17 Agustus-an, di kampung, kalo yang besar kayak gini baru pertama kali.”
“Senang anaknya, Bu?”
“Iya Mas, dari mau berangkat tadi senang sekali dia. Senangnya lain kalo ikut lomba di kampung…”
Dan anak ibu itu tertangkap oleh anak mataku. Berbusana kebaya kuning seraya menari di jalan bersama kelompoknya. Raut wajah anak itu terlihat berbeda, namun dengan semangatnya, ia terus menari dan menari, tidak peduli padahal basah kuyup. Sesekali ia bertukar senyum dengan ibunya yang kuajak bercakap tadi.
Ah, hidung ini kok jadi kembang kempis, aku tidak boleh terharu lalu menangis…
Langsung saja kudahului ibu itu. Kembali berjalan sambil mengambil beberapa gambar untuk dokumentasiku. Hujan masih saja dengan sombongnya mengguyur kami. Dan kami pun tak kalah sombongnya melawan hujan dengan terus larut dalam kegiatan parade. Hingga kemudian, tangan-tangan yang menabuh rebana itu menarik lagi perhatianku.
“Sehat, Bu, anak-anaknya?”
“Ada yang kedinginan mungkin, Mas.”
“Sudah pernah ikut kayak gini sebelumnya, Bu?”
“Wah, paling sebatas lomba di sekolah, kalo di luar sekolah belum pernah.”
“Tapi senang kan, Bu?”
“Wah iya ini…”
Tiba-tiba aku bergumam, kenapa Tuhan tidak memberi mereka indra penglihatan yang sempurna? Kenapa harus mereka yang mengalaminya? Lihatlah, umur mereka sebaya anak SD, tapi mereka tidak bisa melihat dunia. Lihatlah, mereka tidak lantas sebal karena harus berhujan-hujanan. Lihatlah, jari-jari mereka terus saja menabuh dengan penuh semangat dan mulut mereka komat-kamit melantunkan shalawat.
Kenapa logika-Nya yang satu itu sangat sulit untuk dimengerti…
Ah, hidung ini kembang kempis lagi…
Setiap kita seharusnya bersyukur memiliki panca indra yang lengkap dan sempurna. Setiap kita seharusnya bersyukur memiliki kesehatan mental yang tidak terbelakang. Setiap kita seharusnya sadar untuk apa semua itu Tuhan berikan kepada kita, sebab suatu hari kenormalan tersebut akan dimintai pertanggungjawabannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar