Rabu, 17 April 2013
“Di mana pun negara berkembang, IMF punya rumus, ‘If you want to cope with poverty, follow us’,”
kata Prof. Dr. Amien Rais, MA. selaku pemateri keempat pada PSL hari itu. PSL
seri terakhir diselenggarakan sekitar pukul 13.30 WIB dan masih di tempat sama
yakni di Auditorium Kahar Muzakkir, Universitas Islam Indonesia (UII). Dengan
dimoderatori oleh Prof. Jawahir Thantowi, Ph.D. (Guru Besar Fakultas Hukum UII),
Amien membahas topik “Kontrak Karya Pro Asing: Indonesia Miskin di Ladang Emas.”
Foto: Dokumentasi Website UII |
Tokoh Reformasi 1998 tersebut lebih dulu mengingatkan
Pasal 33 UUD 1945 Ayat 4 yang berbunyi, “Perekonomian nasional diselenggarakan
berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi
berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan
menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional.” Setelah meminta
maaf (jika terkesan menyalahkan), Amien menyinggung para tokoh bangsa yang sejak
40 tahun yang lalu mengerjakan apa yang tidak tertulis dalam pasal yang
dimaksud. Atau dengan kata lain, pemimpin bangsa Indonesia sudah lama jatuh
dalam bayang-bayang International
Monetary Fund (IMF) dan World Bank
(WB).
“Anjurannya antara lain privatisasi BUMN (Badan Usaha
Milik Negara-red) dan deregulasi
peraturan pemerintah sehingga campur tangan pemerintah sekecil mungkin” jelas Amien.
Selain itu, lembaga-lembaga dunia tadi juga melakukan pemotongan belanja sosial
(social suspending) dan penekanan
upah buruh sehingga perekonomian nasional makin jauh dari kesan demokrasi
ekonomi. “Kapitalis liberal menjadi sosialis liberal,” demikian Amien
mengistilahkannya.
Setidaknya ada 3 tahap yang dilakukan oleh Barat
untuk mencengkeram dunia, yaitu tahap persuasif melalui IMF dan WB yang
menawarkan pinjaman modal, utang, dan sebagainya. Lalu, tahap menekan dengan
mengancam negara yang dimaksud akan dikucilkan di pasar bebas (dunia) jika
tidak mau diajak secara persuasif. Kemudian yang terakhir, tahap militer dengan
perang.
Amien Rais membahas apa yang disebut “corporatocracy”
dimana pemerintah, media massa, militer, dan intelektual, membentuk lingkaran
yang berpengaruh pada perekonomian suatu negara. “Freeport tidak sekuat itu kalau tanpa kekuatan politik White House,” terang Amien. Begitu juga
dengan kekuatan militer dan media massa. Bahkan, media massa saat ini cenderung
sebagai watch dog dan guard dog. “Akhirnya duduk manis di
pangkuan, seperti anjing sirkus,” Amien beranalogi. Media massa telah disetir
oleh pihak-pihak di belakang yang memiliki kepentingan tertentu.
“Corporatocracy
di negara ini tidak mungkin masuk kalau elitenya tidak membuka pintu
lebar-lebar,” lanjut Amien. Negara seperti kembali ke zaman VOC dimana yang
dibela bukan kepentingan rakyat, melainkan kepentingan kompeni. “Kita termasuk
tidak punya daya tahan dengan korporasi asing,” sesal Amien. Maka, Amien
memberi istilah “negara komprador”, yaitu negara bagian dari korporasi asing
yang mengusung komoditi luar. Campur tangan asing ini bahkan sudah sampai ke
lingkup eksekutif, yudikatif, dan legislatif (undang-undang/UU). Contoh campur
tangan asing dalam UU antara lain, migas (WB), BUMN (PWC), dan kelistrikan
(ADB). UU sengaja diatur sehingga korporasi asing dapat berlangsung dalam
jangka panjang. Amien juga mencontohkan salah satu peraturan presiden (perpres)
yang salah satu halamannya ditulis dalam Bahasa Inggris, “Bisa jadi itu titipan
asing, halaman itu dibuat oleh asing dan kita lupa menerjemahkannya ke dalam
Bahasa Indonesia.”
Dalam mengadakan kontrak dengan pihak asing, dikenal
2 macam istilah kontrak. Pertama, Kontrak Karya, biasanya berhubungan dengan
perusahaan mineral dan batu bara (minerba) dimana pihak asing datang dan sebatas
mengatur sistem. Kedua, Kontrak Kerja Sama, biasanya berhubungan dengan
perusahaan minyak dan gas (migas) dimana pihak asing datang dan turun langsung sebagai
operator sistem. “Begitu jelas ketidakadilan, tapi kita tidak bisa apa-apa,”
tutur Amien.
Tambang emas Freeport
di Papua adalah contoh nyata. Sedikitnya, 10.000 Triliun sudah dibawa ke
Amerika! Uang yang begitu bermanfaat jika dibagi-bagikan kepada rakyat! Amien
pernah mencoba melihat perjanjian atau isi kontrak Freeport kepada DPR, namun DPR mengatakan bahwa kontrak tersebut
tidak boleh dilihat oleh siapapun. “Tidak bisa gundulmu!” sesal Amien. Ketika
datang ke lokasi pun, hanya boleh sampai di pintu masuk, tidak diperkenankan
melihat ke dalam sehingga gambar-gambar di sana diperoleh dari foto satelit. Tampak
lubang yang menganga begitu besar, “bagi hasil” yang sesungguhnya disisakan Freeport untuk Indonesia! “Even we, American citizens, are prohibited
to enter,” demikian Amien menirukan perkataan jurnalis Amerika yang juga
tidak boleh masuk ke Freeport.
And now, what is to be done?
“Ubah mental inlander
dan hilangkan ketergantungan asing dengan mengakhiri dominasi IMF,” jawab Amien.
Bolivia adalah contoh negara yang sudah melakukannya dimana pemimpinnya begitu
berani menentang dominasi asing. Menyambut Pemilu 2014, Amien menyarankan
karakter pemimpin yang berani, “Masing-masing capres jangan omdo (omong doang-red), tapi buatlah blue print
ekonomi yang pro rakyat.”
mudahan pempimpin yang mendatang dapat menjadi pemimpin yang terbaik
BalasHapus