Sabtu, 12 Mei 2012

Anies Baswedan: Berpikirlah Melampaui Zaman (Bagian 1)



Karena tugas praktikum dan tugas kuliah (bagaimanapun akademik tetap nomor satu), serta terlalu larut dalam pemberitaan jatuhnya Sukhoi Superjet 100, tulisan ini baru dapat saya selesaikan sekarang. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, bukan? Semoga tulisan ini dapat sedikit mencerahkan teman-teman.
* * *

Dalam rangka milad ke-69, Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan Seminar Nasional dengan tema “Islamic Leadership di Indonesia dalam Menjawab Tantangan Global”. Berlangsung pada hari Selasa tanggal 08 Mei 2012, bertempat di Auditorium KHA Kahar Mudzakkir Kampus UII Terpadu, kegiatan tersebut berjalan lancar dengan tiga orang pembicara. Masing-masingnya adalah Anies Baswedan, Ph.D. selaku Rektor Universitas Paramadina Jakarta; Prof. Djamaludin Ancok, Ph.D. selaku Dekan Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya (FPSB) UII periode pertama; serta Muhammad Imam Nasef, S.H. selaku perwakilan pemuda yang merupakan lulusan Fakultas Hukum (FH) UII.
Sebagai sesi pembuka, Rektor UII Prof. Dr. Edy Suandy Hamid, M.Ec. memberikan sambutannya. “Salah satu ciri pemimpin adalah visioner, tidak mengalir ke masa depan tapi ia mendesain masa depan, sehingga mampu menjawab tantangan global,” kata Edy. Indonesia harus berangkat dari kegalauan terhadap masalah kepemimpinan, dari korupsi sampai rok mini, dari narkoba sampai pancaroba. Salah satu penyebab adanya krisis kepemimpinan adalah sistem partai politik (parpol) tidak bisa menjadi penyalur aspirasi rakyat, nyatanya hanya sebatas mesin politik saja.
Muhammad Imam Nasef sebagai pembicara pertama menyumbangkan pemikirannya dalam bentuk internalisasi nilai-nilai Islamic leadership (IL) dalam diri pemuda. Penerima Beasiswa IELSP 2011 ke Amerika ini memulai dengan pepatah Arab, “syubbaanul yaum rijaalul ghad”. Kata “syubbaan” berarti pemuda yang merupakan sosok enerjik, idealis, dan berjiwa revolusioner. Selanjutnya, Nasef menyampaikan beberapa data ironis, antara lain jumlah pengangguran, tersangka kasus narkoba, dan pengidap AIDS, yang subjeknya cukup dominan dengan pemuda. Terjadi suatu disorientasi pada diri pemuda karena tidak ada musuh yang nyata (seperti pada masa penjajahan), sebab musuh masa kini bukan hal yang nyata, misalnya hedonisme.
Lalu, bagaimana menggagas IL tersebut untuk internalisasi dalam diri pemuda? Nasef mengemukakan bahwa konsep IL terdiri dari aspek normatif dan aspek praktis. Aspek normatif berupa nilai-nilai universal yang terdapat di dalam Al-Qur’an, sementara aspek praktis mengulas kehidupan Nabi Muhammad Saw. beserta keluarga dan para sahabatnya. Maka, cara menggagas IL yang dimaksud Nasef adalah melalui pendidikan formal dengan mengatur kurikulum pendidikan (secara pasif) serta melalui pendidikan nonformal dengan aktif berorganisasi dan pengabdian masyarakat (secara aktif). Demikianlah, pemuda tidak bisa lepas dari sejarah suatu bangsa, sebab pemuda adalah bagian dari sejarah.
Anies Baswedan sebagai pembicara kedua memulai dengan wacana Indonesia dalam peta skala global: where are we (Indonesia)? Pria kelahiran 07 Mei 1969 ini menganjurkan setiap peta Indonesia yang diperuntukkan bagi anak-anak agar jangan hanya selembar peta Indonesia saja, tetapi juga Indonesia yang berada dalam peta dunia. Hal ini dikarenakan kita terkadang tidak sadar, bahwa jarak Aceh-India lebih dekat daripada Aceh-Makassar dan jarak Jakarta-Singapura lebih dekat ketimbang Jakarta-Medan. Anies juga memulai pembahasannya dengan Sumpah Pemuda, bahwa kesepakatan “satu bahasa, bahasa Indonesia” adalah ekspresi budaya yang melampaui zamannya. Sebagai contoh, pemuda Yogyakarta yang kala itu kembali ke daerahnya akan disambut “cemoohan” masyarakat Yogya karena ia “mengingkari” bahasa Jawa yang sehari-hari digunakan di Yogyakarta.
Kemudian, Anies menampilkan diagram statistik mengenai data ekonomi dunia sejak tahun 1 sampai dengan 2007. Tampak bahwa kemajuan dunia Barat dan kemunduran dunia Timur terjadi setelah peristiwa revolusi industri di Eropa. Namun kini, perlahan Asia mulai meningkat kembali. Di kawasan Asia Timur, ada Cina, India, Jepang, Korea, dan Taiwan. Pertanyaannya, bisakah mereka membantuk kerja sama, mengingat karakter impresif salah satunya? Di kawasan Asia Tenggara, ada Singapura, Thailand, Filipina, Malaysia, dan juga Indonesia. Pertanyaannya juga sama, bisakah mereka membentuk cooperation block, mengingat hubungan Indonesia-Malaysia yang terkadang “lecet-lecet”? Di antara negara-negara tersebut, siapakah yang paling siap memimpin? Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia berpikir melampaui zamannya.
Jogja –yang perlahan menjadi sebutan pengganti Yogyakarta­– tidak pernah menjadi pusat pergerakan semasa penjajahan. Tetapi setelah merdeka, barulah Jogja muncul karena ada sosok Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang mampu melihat perubahan zaman. Jogja akhirnya mempunyai peran unik (sebagai daerah istimewa/DIY) dalam mempertahankan kemerdekaan. Kuncinya yaitu membaca peta zaman dan melampaui zaman tersebut.
Sejumlah data statistik lain ditampilkan Anies melalui proyektor di depan ruangan…
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar