Karena tugas praktikum dan tugas
kuliah (bagaimanapun akademik tetap nomor satu), serta terlalu larut dalam
pemberitaan jatuhnya Sukhoi Superjet 100, tulisan ini baru dapat saya
selesaikan sekarang. Lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali, bukan?
Semoga tulisan ini dapat sedikit mencerahkan teman-teman.
* * *
Dalam rangka milad ke-69, Universitas Islam Indonesia (UII) mengadakan
Seminar Nasional dengan tema “Islamic Leadership di Indonesia dalam Menjawab
Tantangan Global”. Berlangsung pada hari Selasa tanggal 08 Mei 2012, bertempat di
Auditorium KHA Kahar Mudzakkir Kampus UII Terpadu, kegiatan tersebut berjalan lancar
dengan tiga orang pembicara. Masing-masingnya adalah Anies Baswedan, Ph.D.
selaku Rektor Universitas Paramadina Jakarta; Prof. Djamaludin Ancok, Ph.D.
selaku Dekan Fakultas Psikologi dan Sosial Budaya (FPSB) UII periode pertama;
serta Muhammad Imam Nasef, S.H. selaku perwakilan pemuda yang merupakan lulusan
Fakultas Hukum (FH) UII.
Sebagai sesi pembuka, Rektor UII Prof. Dr. Edy Suandy Hamid, M.Ec.
memberikan sambutannya. “Salah satu ciri pemimpin adalah visioner, tidak
mengalir ke masa depan tapi ia mendesain masa depan, sehingga mampu menjawab
tantangan global,” kata Edy. Indonesia harus berangkat dari kegalauan terhadap
masalah kepemimpinan, dari korupsi sampai rok mini, dari narkoba sampai
pancaroba. Salah satu penyebab adanya krisis kepemimpinan adalah sistem partai
politik (parpol) tidak bisa menjadi penyalur aspirasi rakyat, nyatanya hanya sebatas
mesin politik saja.
Muhammad Imam Nasef sebagai pembicara pertama menyumbangkan pemikirannya
dalam bentuk internalisasi nilai-nilai Islamic
leadership (IL) dalam diri pemuda. Penerima Beasiswa IELSP 2011 ke Amerika
ini memulai dengan pepatah Arab, “syubbaanul
yaum rijaalul ghad”. Kata “syubbaan” berarti pemuda yang merupakan sosok
enerjik, idealis, dan berjiwa revolusioner. Selanjutnya, Nasef menyampaikan beberapa
data ironis, antara lain jumlah pengangguran, tersangka kasus narkoba, dan
pengidap AIDS, yang subjeknya cukup dominan dengan pemuda. Terjadi suatu
disorientasi pada diri pemuda karena tidak ada musuh yang nyata (seperti pada
masa penjajahan), sebab musuh masa kini bukan hal yang nyata, misalnya hedonisme.
Lalu, bagaimana menggagas IL tersebut untuk internalisasi dalam diri
pemuda? Nasef mengemukakan bahwa konsep IL terdiri dari aspek normatif dan
aspek praktis. Aspek normatif berupa nilai-nilai universal yang terdapat di
dalam Al-Qur’an, sementara aspek praktis mengulas kehidupan Nabi Muhammad Saw.
beserta keluarga dan para sahabatnya. Maka, cara menggagas IL yang dimaksud
Nasef adalah melalui pendidikan formal dengan mengatur kurikulum pendidikan
(secara pasif) serta melalui pendidikan nonformal dengan aktif berorganisasi
dan pengabdian masyarakat (secara aktif). Demikianlah, pemuda tidak bisa lepas
dari sejarah suatu bangsa, sebab pemuda adalah bagian dari sejarah.
Anies Baswedan sebagai pembicara kedua memulai dengan wacana Indonesia
dalam peta skala global: where are we
(Indonesia)? Pria kelahiran 07 Mei 1969 ini menganjurkan setiap peta
Indonesia yang diperuntukkan bagi anak-anak agar jangan hanya selembar peta
Indonesia saja, tetapi juga Indonesia yang berada dalam peta dunia. Hal ini
dikarenakan kita terkadang tidak sadar, bahwa jarak Aceh-India lebih dekat daripada
Aceh-Makassar dan jarak Jakarta-Singapura lebih dekat ketimbang Jakarta-Medan. Anies
juga memulai pembahasannya dengan Sumpah Pemuda, bahwa kesepakatan “satu
bahasa, bahasa Indonesia” adalah ekspresi budaya yang melampaui zamannya. Sebagai
contoh, pemuda Yogyakarta yang kala itu kembali ke daerahnya akan disambut “cemoohan”
masyarakat Yogya karena ia “mengingkari” bahasa Jawa yang sehari-hari digunakan
di Yogyakarta.
Kemudian, Anies menampilkan diagram statistik mengenai data ekonomi dunia
sejak tahun 1 sampai dengan 2007. Tampak bahwa kemajuan dunia Barat dan
kemunduran dunia Timur terjadi setelah peristiwa revolusi industri di Eropa. Namun
kini, perlahan Asia mulai meningkat kembali. Di kawasan Asia Timur, ada Cina,
India, Jepang, Korea, dan Taiwan. Pertanyaannya, bisakah mereka membantuk kerja
sama, mengingat karakter impresif salah satunya? Di kawasan Asia Tenggara, ada
Singapura, Thailand, Filipina, Malaysia, dan juga Indonesia. Pertanyaannya juga
sama, bisakah mereka membentuk cooperation
block, mengingat hubungan Indonesia-Malaysia yang terkadang “lecet-lecet”?
Di antara negara-negara tersebut, siapakah yang paling siap memimpin? Oleh
karena itu, sudah saatnya Indonesia berpikir melampaui zamannya.
Jogja –yang perlahan menjadi sebutan pengganti Yogyakarta– tidak pernah
menjadi pusat pergerakan semasa penjajahan. Tetapi setelah merdeka, barulah
Jogja muncul karena ada sosok Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang mampu melihat
perubahan zaman. Jogja akhirnya mempunyai peran unik (sebagai daerah istimewa/DIY)
dalam mempertahankan kemerdekaan. Kuncinya yaitu membaca peta zaman dan
melampaui zaman tersebut.
Sejumlah data statistik lain ditampilkan Anies melalui proyektor di depan
ruangan…
(bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar