Senin, 18 Juni 2012

Aksi dan Audiensi



Massa yang reaktif, tidak selalu berujung represif.
* * *

Ujian Akhir Semester (UAS) kembali tiba, kali ini pada tahun ajaran (TA) 2011/2012. Senin itu, tanggal 18 Juni 2012, saya tidak ada jadwal. Hari ujian pertama saya justru dimulai pada hari Kamis-nya, atau dengan kata lain, tiga hari pertama UAS tidak ada jadwal ujian. Malam itu sekitar jam 12-an, sebuah pesan singkat masuk ke ponsel saya. Samar-samar saya baca, teman saya di persma memberitahukan besok ada aksi dan saya diminta datang liputan kalau tidak ada ujian. Pagi harinya, setelah kesadaran saya kembali penuh, saya meng-OK-an pesan teman tersebut.
“Ujian kok malah demo,” batin saya saat itu. Terlebih ketika sampai di kampus, ada acara peringatan dies natalis, acara seremonial penuh sambutan. Aksi dijadwalkan pukul 9 pagi, namun akhirnya dimulai di atas jam 11. Biasa, sudah jadi rahasia bahwa kesepakatan mahasiswa selalu melenceng dari ketetapan waktu yang sudah disepakati. Berbekal si hitam Standard AE7 dan selembar kertas yang dilipat-lipat, saya mencatat apa yang bisa dan perlu dicatat.
Tidak usah saya ceritakan apa yang menjadi isu dalam aksi hari itu. Biarlah, itu menjadi rahasia “dapur” kampus saya. Apa yang saya ingin utarakan hanyalah bahwa tidak selalu, aksi mahasiswa berakhir ricuh. Tidak selalu aksi mahasiswa berujung anarkis. Bagaimana subjek aksi (mahasiswa) dan objek aksi (petinggi kampus), tahu sama tahu saja, itu kunci pentingnya. Bagaimana kedua belah pihak sama-sama tahu diri saja.
Aksi hari itu berlanjut ke forum audiensi. Sungguh suatu kesempatan berharga bagi saya dapat turut serta masuk ke ruang sidang untuk mengikuti audiensi. Di sana, saya bisa melihat bagaimana antara petinggi lembaga mahasiswa dan petinggi kampus berdialog, meski luapan emosi kadang tak terelakkan. Namun, tidak sampai berujung (maaf saya gunakan istilah tidak sopan ini) vandalisme. Tidak ada lemparan, tidak ada makian, tidak ada pukulan. Semua terkendali. Mungkin para petinggi kampus itu menyadari bahwa anak muda masih dalam masa-masa penuh gejolak. Ekspresif.
Walaupun berlangsung alot, audiensi empat jam itu berakhir kesepakatan. Tuntutan mahasiswa memang tidak seratus persen dipenuhi. Ada pertimbangan dalam “menggodok” tuntutan itu. Mahasiswa menyampaikan apa yang menjadi sudut pandangnya dan orang-orang tua yang menjadi petinggi kampus juga menyampaikan apa yang dapat mereka lihat dari kacamatanya. Akhirnya, toh tercapai juga kata sepakat. Di sinilah rupanya, peran dari audiensi yang termasuk kunci penting meredam aksi dengan kesepakatan.
Berangkat lebih jauh ke luar. Para demonstran yang kerap beraksi depan istana negara, misalnya. Tidak serta merta aksi itu terjadi, pasti ada latar belakangnya. Aksi hanyalah ekspresi puncak tatkala birokrasi sudah tidak mampu lagi mengakomodir apa yang menjadi kehendak bersama. Setiap aksi tentunya harus ada koordinatornya. Hal ini supaya aksi yang terjadi tidak bersifat sporadis, apalagi anarkis. Sang koordinator harus mengingatkan massa aksi untuk bersikap sopan dan santun. Menjunjung tinggi etika dalam wujud aksi damai.
Yang menjadi batu pikiran saya adalah, apakah para petinggi istana (dalam hal ini yakni pemerintah) selanjutnya mengakomodir massa dalam forum audiensi? Ah, kenapa jadi berbelit begini bahasa saya: apakah pemerintah mau melakukan audiensi dengan para demonstran? Para demonstran, mungkin di mana-mana juga sama, menghendaki sosok nomor satu-lah yang hadir menjawab isu-isu mereka. Ketika si orang nomor satu ini tidak bisa hadir, entah alasan sedang ada urusan atau memang menghindar, orang-orang lain yang ikut menjadi petinggi bisa mewakilinya. Dengan catatan: apapun hasil keputusan harus sepakat! Tidak ada asumsi, sosok nomor satu itu tidak hadir!
Audiensi kiranya memang satu rangkaian dengan aksi. Ibarat kereta api, aksi adalah lokomotif dan gerbong-gerbong di belakang adalah audiensi. Orang-orang yang berkuasa di sana, sudahkah paham konsep ini? Atau paham tapi pura-pura tidak paham, malas dialog karena alasan kesibukan. Secara tidak sadar, justru mereka yang pura-pura ini tengah menunjukkan bahwa mereka penguasa, bukan pemimpin. Kalau mereka pemimpin, tentu mereka lebih mengayomi yang dipimpinnya daripada memupuk kuasa dengan jalan-jalan sana-sini. Ikut seremonial sana-sini.
Sekali lagi, aksi harus disertai audiensi. Audiensi pun harus dilakukan sampai pada titik temu. Meski memakan waktu lama, berjam-jam, berhari-hari, audiensi harus selesai jika sudah sampai pada kata sepakat. Bukankah dalam sila keempat Pancasila, secara tersirat mengajarkan kita, BANGSA INDONESIA, untuk bermusyawarah dalam mencapai mufakat? Dan audiensi adalah salah satu media bermusyawarah itu. Cobalah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar