Massa yang reaktif, tidak selalu
berujung represif.
* * *
Ujian Akhir Semester (UAS) kembali tiba, kali ini pada tahun ajaran (TA)
2011/2012. Senin itu, tanggal 18 Juni 2012, saya tidak ada jadwal. Hari ujian
pertama saya justru dimulai pada hari Kamis-nya, atau dengan kata lain, tiga
hari pertama UAS tidak ada jadwal ujian. Malam itu sekitar jam 12-an, sebuah
pesan singkat masuk ke ponsel saya. Samar-samar saya baca, teman saya di persma
memberitahukan besok ada aksi dan saya diminta datang liputan kalau tidak ada
ujian. Pagi harinya, setelah kesadaran saya kembali penuh, saya meng-OK-an
pesan teman tersebut.
“Ujian kok malah demo,” batin saya saat itu. Terlebih ketika sampai di
kampus, ada acara peringatan dies natalis,
acara seremonial penuh sambutan. Aksi dijadwalkan pukul 9 pagi, namun akhirnya
dimulai di atas jam 11. Biasa, sudah jadi rahasia bahwa kesepakatan mahasiswa
selalu melenceng dari ketetapan waktu yang sudah disepakati. Berbekal si hitam
Standard AE7 dan selembar kertas yang dilipat-lipat, saya mencatat apa yang
bisa dan perlu dicatat.
Tidak usah saya ceritakan apa yang menjadi isu dalam aksi hari itu. Biarlah,
itu menjadi rahasia “dapur” kampus saya. Apa yang saya ingin utarakan hanyalah
bahwa tidak selalu, aksi mahasiswa berakhir ricuh. Tidak selalu aksi mahasiswa
berujung anarkis. Bagaimana subjek aksi (mahasiswa) dan objek aksi (petinggi
kampus), tahu sama tahu saja, itu kunci pentingnya. Bagaimana kedua belah pihak
sama-sama tahu diri saja.
Aksi hari itu berlanjut ke forum audiensi. Sungguh suatu kesempatan
berharga bagi saya dapat turut serta masuk ke ruang sidang untuk mengikuti audiensi. Di sana,
saya bisa melihat bagaimana antara petinggi lembaga mahasiswa dan petinggi
kampus berdialog, meski luapan emosi kadang tak terelakkan. Namun, tidak sampai
berujung (maaf saya gunakan istilah tidak sopan ini) vandalisme. Tidak ada
lemparan, tidak ada makian, tidak ada pukulan. Semua terkendali. Mungkin para petinggi
kampus itu menyadari bahwa anak muda masih dalam masa-masa penuh gejolak.
Ekspresif.
Walaupun berlangsung alot, audiensi empat jam itu berakhir kesepakatan. Tuntutan
mahasiswa memang tidak seratus persen dipenuhi. Ada pertimbangan dalam “menggodok”
tuntutan itu. Mahasiswa menyampaikan apa yang menjadi sudut pandangnya dan
orang-orang tua yang menjadi petinggi kampus juga menyampaikan apa yang dapat
mereka lihat dari kacamatanya. Akhirnya, toh
tercapai juga kata sepakat. Di sinilah rupanya, peran dari audiensi yang
termasuk kunci penting meredam aksi dengan kesepakatan.
Berangkat lebih jauh ke luar. Para demonstran yang kerap beraksi depan
istana negara, misalnya. Tidak serta merta aksi itu terjadi, pasti ada latar
belakangnya. Aksi hanyalah ekspresi puncak tatkala birokrasi sudah tidak mampu
lagi mengakomodir apa yang menjadi kehendak bersama. Setiap aksi tentunya harus
ada koordinatornya. Hal ini supaya aksi yang terjadi tidak bersifat sporadis,
apalagi anarkis. Sang koordinator harus mengingatkan massa aksi untuk bersikap
sopan dan santun. Menjunjung tinggi etika dalam wujud aksi damai.
Yang menjadi batu pikiran saya adalah, apakah para petinggi istana (dalam
hal ini yakni pemerintah) selanjutnya mengakomodir massa dalam forum audiensi?
Ah, kenapa jadi berbelit begini bahasa saya: apakah pemerintah mau melakukan
audiensi dengan para demonstran? Para demonstran, mungkin di mana-mana juga
sama, menghendaki sosok nomor satu-lah yang hadir menjawab isu-isu mereka. Ketika
si orang nomor satu ini tidak bisa hadir, entah alasan sedang ada urusan atau
memang menghindar, orang-orang lain yang ikut menjadi petinggi bisa
mewakilinya. Dengan catatan: apapun hasil keputusan harus sepakat! Tidak ada
asumsi, sosok nomor satu itu tidak hadir!
Audiensi kiranya memang satu rangkaian dengan aksi. Ibarat kereta api,
aksi adalah lokomotif dan gerbong-gerbong di belakang adalah audiensi. Orang-orang
yang berkuasa di sana, sudahkah paham konsep ini? Atau paham tapi pura-pura
tidak paham, malas dialog karena alasan kesibukan. Secara tidak sadar, justru
mereka yang pura-pura ini tengah menunjukkan bahwa mereka penguasa, bukan
pemimpin. Kalau mereka pemimpin, tentu mereka lebih mengayomi yang dipimpinnya
daripada memupuk kuasa dengan jalan-jalan sana-sini. Ikut seremonial sana-sini.
Sekali lagi, aksi harus disertai audiensi. Audiensi pun harus dilakukan
sampai pada titik temu. Meski memakan waktu lama, berjam-jam, berhari-hari, audiensi
harus selesai jika sudah sampai pada kata sepakat. Bukankah dalam sila keempat
Pancasila, secara tersirat mengajarkan kita, BANGSA INDONESIA, untuk bermusyawarah
dalam mencapai mufakat? Dan audiensi adalah salah satu media bermusyawarah itu.
Cobalah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar