Jumat, 07 Desember 2012

Harga Jagung Manis


Salah satu program kuliah kerja nyata (KKN) yang menjadi program individu saya adalah Pembuatan Susu Jagung. Cara membuatnya hampir sama dengan cara membuat jus. Hanya, karena jagung bukan buah, disebutnya susu. Jagung yang digunakan adalah jenis jagung manis. Jagung tersebut mula-mula direbus hingga matang, kemudian dipipil bijinya. Biji jagung lalu dicampur air, diblender, lalu sari dan ampasnya disaring. Sari jagung inilah yang diminum sebagai susu jagung.
Susu jagung dibuat bukan karena iseng tidak ada kerjaan. Susu jagung dibuat sebagai alternatif konsumsi bagi penderita sakit gula atau diabetes. Jagung manis dipakai supaya rasanya cukup manis. Bagi penderita diabetes, susu jagung murni yang diminum, tanpa campuran apa-apa. Sedangkan bagi orang sehat, susu jagung dapat diminum dengan campuran gula atau susu kental manis, jika dirasa murni kurang pas di lidah.
Saya mencoba mendapatkan jagung manis di tiga tempat, yaitu pasar pagi atau pasar tradisional, supermarket, dan pasar grosir. Harganya, “wow”, berbeda-beda. Satu kilo di pasar tradisional harganya Rp3.000, satu kilo di supermarket harganya Rp5.500, dan satu kilo di pasar grosir harganya Rp7.950. Hal yang membuat beda, antara lain soal kemasan dan kuantitas biji. Di pasar tradisional, jagung satu kilo dibungkus plastik yang satu plastik isinya 4-5 bonggol. Ada bonggol yang bijinya penuh, ada bonggol yang bijinya tidak penuh. Kalau di supermarket, jagung satu kilo dibungkus plastik dengan diberi alas styrofoam yang satu plastik isinya hanya 2 bonggol. Jagung sudah diberi label harga dan ditaruh di rak yang dilengkapi pendingin. Sementara di pasar grosir, kemasannya sama dengan di supermarket, hanya ditambah pendingin ruangan, jadi bukan pendingin rak saja. Pembeli juga disuguhi musik, jadi selain ruangan sejuk juga bisa sambil mendengarkan musik.
Well, kalau orang-orang mulai meninggalkan pasar tradisional dan beralih ke pasar modern (seperti supermarket dan pasar grosir), rasanya wajar. Bukan jadi soal tentang ada pendingin atau tidak atau ada musik atau tidak. Soal kualitas pun juga berbeda. Jagung di pasar tradisional kualitasnya kurang memuaskan. Ketika dicoba untuk dimakan pun, ternyata jagung di pasar tradisional tidak terlalu manis, padahal namanya jagung manis. Jadi, wajar kalau masyarakat beralih ke pasar modern. Pasar tradisional, setidaknya harus oke dalam hal kualitas jika tidak ingin ditinggal pelanggan. Jika dalam kualitas saja kurang, apalagi kuantitas, maka terang saja pasar tradisional “dibunuh” pasar modern.
Fleksibilitas waktu juga ikut menjadi faktor. Pasar tradisional sudah tutup saat hari beranjak siang, hanya beberapa yang masih buka dan saya tidak menemukan ada jagung manis di sana. Ketika ke supermarket dan pasar grosir, jagung manis selalu ada, tidak pernah kosong. Bukan masalah malas pagi-pagi ke pasar, saya rasa ada orang yang tidak sempat pergi pagi ke pasar tradisional karena beberapa hal, bukan semata rasa malas atau belum bangun. Jadi kira-kira, ada tiga unsur agar pasar tradisional mampu berjalan beriringan dengan pasar modern, yaitu selain kualitas dan kuantitas, juga ada fleksibilitas. Memang tidak mudah, bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar