Salah satu program kuliah kerja nyata (KKN) yang menjadi
program individu saya adalah Pembuatan Susu Jagung. Cara membuatnya hampir sama
dengan cara membuat jus. Hanya, karena jagung bukan buah, disebutnya susu.
Jagung yang digunakan adalah jenis jagung manis. Jagung tersebut mula-mula
direbus hingga matang, kemudian dipipil bijinya. Biji jagung lalu dicampur air,
diblender, lalu sari dan ampasnya disaring. Sari jagung inilah yang diminum
sebagai susu jagung.
Susu jagung dibuat bukan karena iseng tidak ada kerjaan.
Susu jagung dibuat sebagai alternatif konsumsi bagi penderita sakit gula atau
diabetes. Jagung manis dipakai supaya rasanya cukup manis. Bagi penderita
diabetes, susu jagung murni yang diminum, tanpa campuran apa-apa. Sedangkan
bagi orang sehat, susu jagung dapat diminum dengan campuran gula atau susu
kental manis, jika dirasa murni kurang pas di lidah.
Saya mencoba mendapatkan jagung manis di tiga tempat, yaitu
pasar pagi atau pasar tradisional, supermarket, dan pasar grosir. Harganya,
“wow”, berbeda-beda. Satu kilo di pasar tradisional harganya Rp3.000, satu kilo
di supermarket harganya Rp5.500, dan satu kilo di pasar grosir harganya
Rp7.950. Hal yang membuat beda, antara lain soal kemasan dan kuantitas biji. Di
pasar tradisional, jagung satu kilo dibungkus plastik yang satu plastik isinya
4-5 bonggol. Ada bonggol yang bijinya penuh, ada bonggol yang bijinya tidak
penuh. Kalau di supermarket, jagung satu kilo dibungkus plastik dengan diberi alas
styrofoam yang satu plastik isinya hanya 2 bonggol. Jagung sudah diberi
label harga dan ditaruh di rak yang dilengkapi pendingin. Sementara di pasar
grosir, kemasannya sama dengan di supermarket, hanya ditambah pendingin
ruangan, jadi bukan pendingin rak saja. Pembeli juga disuguhi musik, jadi
selain ruangan sejuk juga bisa sambil mendengarkan musik.
Well, kalau orang-orang mulai meninggalkan pasar
tradisional dan beralih ke pasar modern (seperti supermarket dan pasar grosir),
rasanya wajar. Bukan jadi soal tentang ada pendingin atau tidak atau ada musik
atau tidak. Soal kualitas pun juga berbeda. Jagung di pasar tradisional kualitasnya
kurang memuaskan. Ketika dicoba untuk dimakan pun, ternyata jagung di pasar
tradisional tidak terlalu manis, padahal namanya jagung manis. Jadi, wajar kalau
masyarakat beralih ke pasar modern. Pasar tradisional, setidaknya harus oke
dalam hal kualitas jika tidak ingin ditinggal pelanggan. Jika dalam kualitas
saja kurang, apalagi kuantitas, maka terang saja pasar tradisional “dibunuh”
pasar modern.
Fleksibilitas waktu juga ikut menjadi faktor. Pasar
tradisional sudah tutup saat hari beranjak siang, hanya beberapa yang masih
buka dan saya tidak menemukan ada jagung manis di sana. Ketika ke supermarket
dan pasar grosir, jagung manis selalu ada, tidak pernah kosong. Bukan masalah
malas pagi-pagi ke pasar, saya rasa ada orang yang tidak sempat pergi pagi ke
pasar tradisional karena beberapa hal, bukan semata rasa malas atau belum
bangun. Jadi kira-kira, ada tiga unsur agar pasar tradisional mampu berjalan
beriringan dengan pasar modern, yaitu selain kualitas dan kuantitas, juga ada
fleksibilitas. Memang tidak mudah, bukan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar