Senin, 04 Maret 2013

(Impian) Hidup di Luar Negeri



Pernahkah kamu membayangkan (baca: bermimpi) untuk hidup di luar negeri? Entah itu dalam rangka belajar atau bekerja, intinya berkeinginan untuk tinggal di luar negeri. Di mana? Jerman, Perancis, Jepang, USA, UK, Aussy, atau… Siapapun dia yang memiliki impian demikian, tentu harus realistis, bahwa hal itu perlu usaha yang tidak main-main. Hidup di luar negeri bagi orang biasa tidak semudah membalikkan telapak tangan. Hidup di luar negeri bagi orang bukan artis, pengusaha, atau pejabat negara tidak segampang mengedipkan kelopak mata.
Hal tersebut lambat laun kusadari melalui sebuah proses. Proses menuju salah satu negara di lingkungan ASEAN guna melanjutkan studi. Bagaimana menunggu Letter of Acceptance, bagaimana mengurus tiket dan visa, bagaimana memikirkan living cost (oke, ada beasiswa tapi belum tahu seberapa cukup kan), soal makanan, soal operator seluler, dan lain-lain. Okelah, bagi kamu yang pernah ke Eropa, Amerika, Australia, atau negara-negara Asia Timur, tentu negara tujuanku ini belum apa-apa. Negara tujuanku ini tidak memiliki empat musim yang tentu makin membuat repot jika begitu, terlebih saat winter bagi tubuh dengan imunitas terbatas sepertiku.
Aku pun memutuskan untuk mengambil keputusan tersebut sebagai batu loncatan menuju negara-negara lainnya. Negara-negara yang ada dalam daftar impianku. Bukan, bukan berarti aku tidak cinta Indonesia. Bukan berarti aku menyepelekan studi yang diajarkan oleh Ibu Pertiwi. Bukan berarti aku berniat untuk meninggalkan tanah tempatku dilahirkan. Study overseas, demikian istilahnya, bagiku adalah sebagai salah satu jalan untuk menjadi pribadi yang lebih kuat. Pribadi yang penuh pengalaman. Sebab hidup di negeri orang tentu berbeda dengan hidup di negeri sendiri, isn’t it?
Skor Bahasa Inggris (IELTS), tiket pesawat, visa, dan living cost. Hal-hal tersebut adalah hal-hal yang berkaitan dengan uang. Semua memiliki besaran tersendiri tergantung negara tujuan. Sekali lagi, bagi orang biasa (bukan artis, pengusaha, atau pejabat negara), uang tentu adalah hal yang sensitif. Orang biasa dapat mengusahakan beasiswa, meski terkadang jumlahnya masih harus ditutup dengan kerja part time. Semudah itukah? Oh tidak, pengajuan beasiswa tentu memerlukan waktu dan tenaga guna melengkapi persyaratan yang ada. Ragu? Takut? Khawatir? Ah, belum apa-apa sudah menciut, bagaimana nanti, hehe..
Berikutnya, adalah hal-hal terkait aspek nonfinansial. Di antaranya adalah bahasa, budaya, makanan, agama, musim, dan sebagainya. Bagi negara dengan orang-orang yang bisa dan mau berbahasa Inggris, tentu tak jadi soal. Lain cerita jika negara itu orang-orangnya lebih memilih bahasa ibu dan kurang tertarik berkomunikasi dengan Bahasa Inggris. Bayangkan, bagaimana jika belanja di pasar dan harus tawar menawar harga? Sepertinya, akan digunakan bahasa tubuh (baca: bahasa tarzan). Bayangkan, jika acara televisinya atau surat kabar hariannya menggunakan dialog atau alfabet bahasa ibu? Mabok? Pastinya…
Begitu juga dengan agama. Jika di negara-negara muslim, seperti Mesir dan Turki, agaknya tak terlalu jadi soal. Tapi bagaimana jika itu misalnya seperti yang diceritakan dalam buku “99 Cahaya di Langit Eropa”-nya Hanum Rais atau “Bumi Cinta”-nya Kang Abik? Ujian keimanan kita (sebagai seorang muslim) akan benar-benar diuji! Terutama dalam menegakkan shalat lima waktu yang merupakan bagian dari Rukun Islam. Kita mungkin akan merindukan suara beduk, adzan, imsak, takbir, dan irama-irama religius lainnya. Begitu juga makanan. Kita akan lebih selektif medapatkan makanan yang halal 100%. Sudahlah, bukan lagi zamannya untuk terlalu fokus pada bahasan aqidah dan khilafah, langsung saja aplikasinya.
Hal terakhir (yang ini paling membuatku khawatir) adalah masalah musim. Jika melihat salju, baik itu melalui film, berita, atau berita internet, rasanya mungkin seru yaa.. Kesannya keren bisa main ski dan saling lempar bola salju. Tapi pernahkah terpikir berapa besaran suhu di musim dingin? Pernah kucoba mengeset suhu di notebook dengan salah satu kota di Eropa saat musim dingin lalu. Dan kisarannya mencapai minus 4 derajat Celcius! Ya Tuhan, bahkan saat musim hujan di Indonesia saja tak terhitung berapa kali pilek… Bahkan dinginnya Tawangmangu saja mungkin belum ada apa-apanya…
Sebagai orang biasa, semua itu adalah tantangan. Bukan untuk menjadi sombong, melainkan menjadi lebih kuat dan lebih kaya pengalaman. Di luar negeri toh ada Perhimpunan Pelajar Indonesia, tentu mereka adalah orang-orang dengan pribadi yang kuat. Pribadi idealis yang tidak manja dan tidak cengeng. Jadi, bagimu yang bermimpi tinggal di luar negeri, tanamkan dalam hatimu, gantungkan lima sentimeter di wajahmu, bahwa impian tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan, tidak segampang mengedipkan kelopak mata. Ada usaha keras di balik semua itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar