Pernahkah kamu membayangkan (baca: bermimpi) untuk
hidup di luar negeri? Entah itu dalam rangka belajar atau bekerja, intinya berkeinginan
untuk tinggal di luar negeri. Di mana?
Jerman, Perancis, Jepang, USA, UK, Aussy, atau… Siapapun dia yang memiliki
impian demikian, tentu harus realistis, bahwa hal itu perlu usaha yang tidak
main-main. Hidup di luar negeri bagi orang biasa tidak semudah membalikkan
telapak tangan. Hidup di luar negeri bagi orang bukan artis, pengusaha, atau
pejabat negara tidak segampang mengedipkan kelopak mata.
Hal tersebut lambat laun kusadari melalui sebuah
proses. Proses menuju salah satu negara di lingkungan ASEAN guna melanjutkan
studi. Bagaimana menunggu Letter of
Acceptance, bagaimana mengurus tiket dan visa, bagaimana memikirkan living cost (oke, ada beasiswa tapi
belum tahu seberapa cukup kan), soal makanan, soal operator seluler, dan lain-lain. Okelah, bagi kamu yang pernah ke Eropa,
Amerika, Australia, atau negara-negara Asia Timur, tentu negara tujuanku ini
belum apa-apa. Negara tujuanku ini tidak memiliki empat musim yang tentu makin
membuat repot jika begitu, terlebih saat winter
bagi tubuh dengan imunitas terbatas sepertiku.
Aku pun memutuskan untuk mengambil keputusan tersebut
sebagai batu loncatan menuju negara-negara lainnya. Negara-negara yang ada
dalam daftar impianku. Bukan, bukan berarti aku tidak cinta Indonesia. Bukan berarti
aku menyepelekan studi yang diajarkan oleh Ibu Pertiwi. Bukan berarti aku
berniat untuk meninggalkan tanah tempatku dilahirkan. Study overseas, demikian istilahnya, bagiku adalah sebagai salah
satu jalan untuk menjadi pribadi yang lebih kuat. Pribadi yang penuh
pengalaman. Sebab hidup di negeri orang tentu berbeda dengan hidup di negeri
sendiri, isn’t it?
Skor Bahasa Inggris (IELTS), tiket pesawat, visa,
dan living cost. Hal-hal tersebut
adalah hal-hal yang berkaitan dengan uang. Semua memiliki besaran tersendiri tergantung
negara tujuan. Sekali lagi, bagi orang biasa (bukan artis, pengusaha, atau
pejabat negara), uang tentu adalah hal yang sensitif. Orang biasa dapat
mengusahakan beasiswa, meski terkadang jumlahnya masih harus ditutup dengan
kerja part time. Semudah itukah? Oh
tidak, pengajuan beasiswa tentu memerlukan waktu dan tenaga guna melengkapi
persyaratan yang ada. Ragu? Takut?
Khawatir? Ah, belum apa-apa sudah menciut, bagaimana nanti, hehe..
Berikutnya, adalah hal-hal terkait aspek nonfinansial.
Di antaranya adalah bahasa, budaya, makanan, agama, musim, dan sebagainya. Bagi
negara dengan orang-orang yang bisa dan mau berbahasa Inggris, tentu tak jadi
soal. Lain cerita jika negara itu orang-orangnya lebih memilih bahasa ibu dan
kurang tertarik berkomunikasi dengan Bahasa Inggris. Bayangkan, bagaimana jika
belanja di pasar dan harus tawar menawar harga? Sepertinya, akan digunakan
bahasa tubuh (baca: bahasa tarzan). Bayangkan, jika acara televisinya atau
surat kabar hariannya menggunakan dialog atau alfabet bahasa ibu? Mabok? Pastinya…
Begitu juga dengan agama. Jika di negara-negara
muslim, seperti Mesir dan Turki, agaknya tak terlalu jadi soal. Tapi bagaimana
jika itu misalnya seperti yang diceritakan dalam buku “99 Cahaya di Langit
Eropa”-nya Hanum Rais atau “Bumi Cinta”-nya Kang Abik? Ujian keimanan kita
(sebagai seorang muslim) akan benar-benar diuji! Terutama dalam menegakkan
shalat lima waktu yang merupakan bagian dari Rukun Islam. Kita mungkin akan
merindukan suara beduk, adzan, imsak, takbir, dan irama-irama religius lainnya.
Begitu juga makanan. Kita akan lebih selektif medapatkan makanan yang halal
100%. Sudahlah, bukan lagi zamannya untuk terlalu fokus pada bahasan aqidah dan
khilafah, langsung saja aplikasinya.
Hal terakhir (yang ini paling
membuatku khawatir) adalah masalah musim. Jika melihat salju, baik itu melalui
film, berita, atau berita internet, rasanya mungkin seru yaa.. Kesannya keren
bisa main ski dan saling lempar bola salju. Tapi pernahkah terpikir berapa besaran
suhu di musim dingin? Pernah kucoba mengeset suhu di notebook dengan salah satu kota di Eropa saat musim dingin lalu.
Dan kisarannya mencapai minus 4 derajat Celcius! Ya Tuhan, bahkan saat musim
hujan di Indonesia saja tak terhitung berapa kali pilek… Bahkan dinginnya Tawangmangu saja mungkin belum ada apa-apanya…
Sebagai orang biasa, semua itu
adalah tantangan. Bukan untuk menjadi sombong, melainkan menjadi lebih kuat dan
lebih kaya pengalaman. Di luar negeri toh ada Perhimpunan Pelajar Indonesia,
tentu mereka adalah orang-orang dengan pribadi yang kuat. Pribadi idealis yang
tidak manja dan tidak cengeng. Jadi, bagimu yang bermimpi tinggal di luar
negeri, tanamkan dalam hatimu, gantungkan lima sentimeter di wajahmu, bahwa impian
tersebut tidak semudah membalikkan telapak tangan, tidak segampang mengedipkan
kelopak mata. Ada usaha keras di balik semua itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar