Rabu, 06 Juli 2011

Rumah Simbah 1


Prolog
Keluar kota lagi, keluar Jogja lagi. Entah kenapa, rasanya kok sama seperti saat dulu. Saat pergi keluar Al-Zaytun dalam rangka belajar di masyarakat alias liburan. Setiap keluar AIS rasanya ringan sekali. Lepas tanpa beban. Enteng tanpa pikiran. Begitu juga kali ini, keluar Jogja pun serasa ringan, lepas, dan enteng. Namun ketika kembali lagi ke Jogja, yang dirasa juga sama seperti ketika pulang lagi ke AIS: berat, seperti tidak ada niat. Ups! Dalam artian yang tidak sebenarnya lho, hanya kiasan…
Tahun 2011 ini tampaknya selalu ada jadwal keluar kota untukku. Disengaja maupun tidak, minimal sebulan sekali. Hmm, setidaknya bisa sejenak melupakan apa yang perlu dilupakan sementara, hehe.. Kalau diingat dan dihitung lagi, kira-kira begini:
Desember 2010 >> Banjar (Jawa Barat), Sepanjang, dan Sumobito.
Januari 2011 >> Sepanjang (Surabaya) dan Sumobito (Jombang).
Februari 2011 >> Sepanjang, Sumobito, dan Tempurejo (Ngawi).
Maret 2011 >> Sepanjang dan Batu (Malang).
April 2011 >> BSD City dan Jakarta Selatan.
Mei 2011 >> Sepanjang dan Malang.
Juni 2011 >> Sumobito, Malang, dan Batu.
Semuanya itu dalam agenda yang bermacam-macam, kebanyakan sih acara keluarga. Antara lain walimah al-ursy (pernikahan), naik haji, ziarah makam, pertemuan bani, dan juga menjenguk simbah yang sakit. Seperti yang terakhir barusan. Nah, bulan Juli nanti mau ke mana lagi ya, hihi.. (kalau Agustus jelas mau pulang ke rumah di Palembang sana)

Hari Tua Seekor Ujang
Shubuh baru saja berlalu. Tanah di halaman belakang rumah simbah masih basah. Sisa-sisa hujan semalam yang bercampur embun. Aku baru saja melipat sajadah lusuh dan sarung hijau motif kotak-kotak. Baru saja usai menunaikan kewajiban. Keluar dari musola yang terletak di pojok selatan halaman belakang, kupakai bakiak semula. Berjalan menuju dapur. Tuk-tuk-tuk, terdengar bunyi ketukannya di lantai semen. Di sana, di atas meja kayu tempat sapu lidi dan botol-botol bekas diletakkan, sesosok makhluk yang sudah tidak asing duduk dengan tenangnya.
Kuusap kepalanya sepintas.
“Mraong.., mraong..,” suara berat makhluk berbulu itu seolah ingin mengatakan: selamat datang di Sumobito lagi..
Setelah menjilati punggungnya, dia turun dan berjalan ke arah ruang makan. Tepatnya, ke tempat Mbah Kakung duduk di kursi. Kursi kayu dengan dudukan anyaman rotan yang ada di depan ruang makan. Ruang makan tersebut berseberangan letaknya dengan musola. Mbah Kakung sendiri sedang menyeruput kopi paginya. Kemudian, bersiap menyalakan tembakau. Bersantai sejenak sebelum menonton berita dan menyapu halaman depan.
“Mraong.., mraong..,” sambil menggeliat manja di kaki simbah, kali ini pasti dia berujar: boleh aku minta tongkolku sekarang saja..
Namanya Ujang. Aku tidak tahu apa filosofi yang membuat Mbah Kakung dan Mbah Putri sepakat memberikan nama itu. Nama yang singkat dan menunjukkan jenis kelamin laki-laki. Ujang adalah seekor kucing jantan berbulu putih oranye. Bagian bawahnya berwarna putih dan bagian atas dari kepala sampai ekor dipenuhi warna oranye. Kucing yang setia tinggal di rumah simbah sejak masih kecil sampai setua sekarang. Dan selalu meminta jatah di pagi sehabis shubuh begini. Kalau tidak diberi, ia akan duduk manis lagi. Di meja yang semula tadi, keset di tangga pintu yang menghubungkan rumah dan halaman belakang, di atas mesin jahit tua sebelah ruang makan, atau pilihan terakhirnya di balai-balai kayu yang ada di dapur.
Duduk manis menikmati hari-hari tuanya.
Kalau Mbah Kakung pergi sembahyang di masjid, biasanya Ujang ikut menemani. Masjid itu terletak sekitar seratus meter dari rumah. Ujang hanya berjalan bersama sampai pintu pagar masjid. Ia tentu tidak ikut masuk ke dalam. Ia hanya menunggu di luar. Ketika Mbah Kung sudah selesai mengimami para jema’ah dan bersiap pulang dengan mengenakan bakiaknya, Ujang pun datang menghampiri. Lalu berjalan beriringan menuju rumah.
Tapi itu dulu, ketika ia masih muda, ketika belum setua sekarang.
Ada satu kebiasaan buruk Ujang yang pernah diceritakan Mbah Putri. Hobinya yang suka berkelahi. Hmm.., kucing jantan di mana-mana hobinya gelut. Kalau kucing betina di mana-mana hobinya manak. Mbah Uti bilang Ujang suka berantem dengan kucing lain yang ada di sekitar Masjid Kauman Sumobito sana. Rebutan wilayah atau berebut pacar. Pulang ke rumah tahu-tahu sudah penuh luka, hiii… Luka yang kalau infeksi menjadi borok. Borok yang kalau kelamaan bisa jadi koreng. Basah berlendir dan terasa lengket.
Bahkan bekas-bekasnya masih terbawa hingga usia senjanya.
Ujang kini semakin renta, ringkih, dan dekil. Sorot matanya saja tak lagi tajam. Langkahnya pun kian tertatih. Kuman menambah semarak kudis yang merusak bulunya. Kudis berbau amis nan menjijikkan. Seolah air liur tak lagi jadi obat mujarab. Satu yang tidak berubah adalah eongan baritonnya yang khas: mraong-mraong-mraong.. Ah, kau seakan hanya menunggu waktu untuk menghadap-Nya.
Apakah kau akan bereinkarnasi kembali, terlahir lagi ke dunia namun dalam wujud lain? Harimau misalnya…”
Tidak ada lagi kucing jantan yang suka berkelahi. Tidak ada lagi kucing jantan yang suka keluyuran. Tidak ada lagi kucing jantan yang suka pacaran. Yang ada hanya kucing jantan yang pendiam. Yang ada tikus lewat di depannya pun ia tetap diam tidak bereaksi. Yang ada cecak bersuara di dinding pun ia tidak terpancing untuk menoleh. Yang dia tahu hanyalah makan, tidur, dan buang air. Serta santai menjilati tubuh yang semakin ramai oleh kudis-kudis berbau anyir.
Kalau Mbah Kakung sudah mulai menyiapkan makan, Ujang akan naik-naik ke meja di depan ruang makan. Mengiba meminta. Sampai-sampai memanjat jendela ruang makan segala. Seraya mengeong-ngeong. Begitu selesai makan, ia akan minum dari air yang ada di ember-ember sebelah sumur. Di tempat mencuci pakaian. Setelah itu, ia mengambil posisi enak untuk tidur. Tidur, tidur, dan tidur. Nanti bangun langsung pergi keluar rumah. Mencari tanah untuk buang air. Selepas itu, ia tidur lagi. Sumpah.., pemalas benar kucing ini, pikirku. Tapi demikianlah Ujang si kucing tua. Tenaganya sudah tidak lagi muda.
Beruntung ia memiliki tuan seperti Mbah Kakung yang tidak pernah alpa memberikan nasi tongkol. Beruntung ia memiliki nyonya seperti Mbah Putri yang membiarkan saja ia tidur di balai-balai dapur. Tidur dimanapun ia suka tanpa diusir. Beruntung ia memiliki teman sepertiku. Yang bela-bela mengelus leher dan kepalanya, padahal sekitar mulut dan lehernya ada basah dari kudis. ^_^
Huft.., Ujang tua yang juga sakit-sakitan.
Bisa dibilang, mungkin waktuku malah tersita untuk Ujang daripada untuk simbah. Masya Allah, padahal tujuanku ke sini untuk bertemu orangtua bapak dan ibuku, bukan fokus kepada piaraannya. Tapi, sudahlah.. Sudah terlanjur menikmati berinteraksi dengan hewan kesayangan Rasulullah Saw. itu. Kalian tahu Abu Hurairah, salah satu ahli hadits? Bukankah beliau dijuluki “Abu Qith” yang artinya “bapak para kucing” saking sayangnya beliau dengan kucing. Aku tidak terobsesi ingin menjadi seperti beliau. Namun ada satu pertanyaanku yang cukup mendasar: Apakah Abu Hurairah juga terinfeksi virus Rubella? Wallahu a’lam bish shawwab.

4 komentar:

  1. Wah kucing jantan memang gitu sob, suka berantem dulu kucingku juga gitu ampe berlubang punggungnya di gigit kucing jantan lawannya,,,,, namanya lucu ya, Ujang kayak lagunya bang Haji judulnya Ujangan,,,, (itu mhak Bujangan yu,,,,hehehehe)

    BalasHapus
  2. Hehe..
    Aku kalo punya kucing keseringan kucing betina, jadi nggak terlalu 'ngeh' sama kelakuan si kucing jantan.. Intinya mah persamaan keduanya adalah sama2 suka pacaran, wkwkwk..

    BalasHapus
  3. heh, ada-ada aj komenmu itu.. :p

    BalasHapus
  4. Lho, pengalaman kok ya, 15 tahun mengenal makhluk2 berbulu itu, hehe..

    BalasHapus