Kamis, 07 Juli 2011

Rumah Simbah 2


“Dibodohi” Tukang Sol Sepatu
Malam itu, sekitar pukul sembilan akhirnya aku tiba di Mojoagung. Setelah tujuh jam jarak Jogja-Mojoagung kutempuh dengan menjadi penumpang bus Mira. Aku yang sejak dari Jogja duduk tepat di kursi belakang sopir bergegas membawa tas ransel dan kantong plastik berisi oleh-oleh untuk simbah. Menuju pintu depan bus, duduk di lantai tangga seperti penumpang lainnya jika hendak turun. Kenek bus bertanya memastikan aku turun di mana yang kuiyakan dengan anggukan kepala.
Bus pun memperlambat lajunya. Bus belum berhenti sempurna ketika si kenek sudah menyuruhku keluar.
“Ayo Mas, cepetan.”
Dan mau tidak mau kuikuti instruksi itu.
Hap!
Aku pun meloncat. Dalam keadaan bus yang belum benar-benar berhenti, hampir saja jatuh. Agak terlompat-lompat. Lalu berjalan terseok-seok menepi ke pinggir jalan. Pintu bus pun tertutup dan langsung ia kembali tancap gas, melaju kencang menuju Surabaya. Membelah malam.
Baru beberapa langkah berjalan mencari ojek, aku merasa ada yang aneh di kakiku. Begitu kucek, ya ampun…, sandalku yang sebelah kanan ada yang lepas alias jebol! Sandalku yang sebelah kiri malah ‘mangap’ seperti orang minta makan. Wah, ini pasti gara-gara loncat dari bus yang belum betul-betul berhenti tadi.
Singkat cerita, aku sampai di rumah simbah setelah mengojek Mojoagung-Sumobito. Sepuluh ribu rupiah. Keesokan paginya, kuberitahukan perihal sandalku kepada Mbah Putri. Bertanya apakah di Pasar Sumobito ada tukang sol sepatu. Mbah Uti bilang ada tapi nanti bukanya agak siang. Nah, rupanya sambil menunggu siang itu, Mbah Kakung “berinisiatif” untuk mengelem sandalku dengan lem besi. Tanpa sepengetahuanku. Aku sama sekali tidak meminta Mbah Kung melakukannya. Aku sendiri malah tidak tahu kalau Mbah Kung melakukan hal itu. Tapi.., begitulah simbah dengan “caranya”.
Begitu aku mau ke pasar dengan Mbah Uti, tahu-tahu Mbah Kung sudah berujar, “Sandalmu sudah saya lem pakai lem besi, tapi masih perlu dijahit. Jadi nanti dibawa ke pasar, minta dijahitkan di sana.”
Sandalku pun berpindah tangan ke tukang sol sepatu. Setelah sepakat soal harga, ah.., ini Mbah Uti yang bicara dengan tukangnya dalam Bahasa Jawa, sandalku pun ditinggal. Diambil lagi besok harinya. Namun ketika mau diambil besoknya, ternyata sandalku belum jadi. Alasannya, “Kemarin darah tinggi saya kumat, jadi belum sempat dikerjakan. Nanti sejam ke sini lagi saja, ini mau saya kerjakan dulu.” Wah, Mbah Uti rada mencak-mencak sebal sama tukangnya itu. Tapi wajar sih.., soalnya kalau profesional kan tidak perlu bawa-bawa alasan pribadi segala.
Jam sepuluh hari itu saya kembali lagi ke pasar. Menggunakan sepeda biru berkeranjang punya Mbah Uti. Mbah Uti juga sudah kasih uangnya untuk membayar si tukang itu. Membayar untuk jasa jahit sandal (yang sebenarnya tidak perlu “iseng” dilem segala). Kali ini, dia menepati janjinya. Sandalku pun sudah selesai diperbaiki.
Menjelang maghrib, seperti biasa aku berjalan bersama Mbah Kung menuju Masjid Kauman Sumobito untuk shalat berjama’ah di sana. Tiba-tiba saja, Mbah Kung membuka pembicaraan dengan topik sandalku yang jebol itu.
“Tadi sandalmu sudah dibawa ke tukang di pasar. Tapi kayaknya belum dikerjakan,” kata Mbah Kung dengan nada kakek-kakek.
“Oh, tadi sudah saya ambil, Mbah. Sudah jadi dijahit kok,” sahutku agak keras di telinga simbah karena pendengaran Mbah Kakung sudah tidak sebaik dulu.
“Woo.., apanya?! Belum itu, belum dijahit! Kamu dibohongi.”
Eh..?
“Sudah kok, Mbah. Tadi memang pas sama Mbah Uti belum selesai, tapi agak siang saya ambil sudah jadi kok.”
“Belum.. Nggak dikerjakan itu, kamu dibohongi tukangnya. Dibodohi..”
Lho kok..?
“Sudah dijahit, Mbah,” kataku lagi lebih keras di telinganya.
“Belum..!” kali ini nada bicara Mbah Kung mulai meninggi. Dan sepanjang perjalanan sekian langkah itu, kami tetap mempertahankan keyakinan masing-masing. Semakin lama, semakin meninggi pula suara simbah. Semakin menyalahkan tukang sol sepatu. Semakin menyebut tukang sol sepatu itu penipu. Sampai orang-orang mulai memperhatikan kami.
Orang-orang yang ada di halaman masjid, di selasar masjid, semua menoleh ke arah kami. Mengamati kakek dan cucu yang saling adu argumen.
Ketika sudah sampai di teras masjid yang cukup terang oleh cahaya lampu, kutunjukkan sandalku ke Mbah Kung.
“Ini lho, Mbah, sudah dijahit kok ya..,” kataku sambil menunjuk ke jahitan.
“Apa itu, itu jahitan lama! Jahitan lama itu, kamu jelas-jelas dibodohi!”
“Lho, ini benang baru, Mbah. Ini lho,” jariku mengikuti alur jahitan yang baru.
“Iya, itu jahitan lama..!”
Aaarrggghhh…!!!
Benang jahitannya berwarna hitam. Mungkin penglihatan Mbah Kung juga sudah tidak sebaik dulu, jadi benang lama yang berwarna putih dikira benang hasil pekerjaan tukang sol sepatu. Padahal, benang hitam itulah benang yang baru. Benang hitam yang menyatu dengan alas sandal yang juga berwarna hitam. Akhirnya, setelah menahan malu dilihat orang-orang, kuiyakan saja pendapat simbah.
Ngalah aja deh, iyakan saja biar selesai…
Dan selesailah perdebatan itu.
Malam harinya sebelum tidur, Mbah Uti menghampiriku. Membicarakan pendapat Mbah Kung soal sandalku. Ya Tuhan.., seharian yang dibicarakan hanya masalah sandalku yang jebol. Untungnya, Mbah Uti tidak sekeras Mbah Kung (yang sudah salah masih saja ngotot). Kubilang yang sebenarnya ke Mbah Uti. Soal benang jahitnya yang berwarna hitam, yang agak menyatu warnanya dengan warna alas sandal dan warna pinggiran sandal. Mbah Uti menerima penjelasanku. Mbah Uti memahami penglihatan Mbah Kung. Berjanji meyakinkan Mbah Kung tentang argumenku. Syukurlah, esok harinya tidak ada lagi pembicaraan soal ini. Tidak ada lagi tukang sol sepatu yang “difitnah” oleh Mbah Kung, hihi.. Ada-ada saja kelakuan orang tua…
Besok kalau aku tua (atau kita semua menjadi tua), apakah kita juga akan membuat cucu kita bingung tujuh keliling? Wallahu a’lam bish shawwab.

6 komentar:

  1. Yah maklum sob kan udah sepuh usianya,,,,

    BalasHapus
  2. Sebenarnya gak ada yang salah,hanya saja tergantung dari sudut pandang kita saja melihatnya ^_^

    BalasHapus
  3. hahah, iya repot banget kalau orang tua ngotot gitu. tapi emang mending dimaklumin aja sih. kadang orang tua perilakuknya kembali kaya anak-anak ya?

    >>waah, saya sudah ketinggalan banyak cerita nih..

    BalasHapus
  4. @Bayu:
    He-eh, secara aku baru sering ke tempat mbah beberapa bulan, jadi belum begitu terbiasa dgn karakter nya yg kadang membingungkan..

    @Iwan:
    Hoho, pas diliatin orang2 itu, malu banget "adu bacot" sama orang tua, kakek-kakek pula, heu..

    @Huda:
    Kembali kayak anak2, dan kita yg muda harus sering2 ngalah seperti kita kalo ngalah sama anak2, cuape deh.. :D

    BalasHapus
  5. mudah2an sih nggak, tapi kan nggak sadar ya,,..hihihi

    BalasHapus
  6. Makanya kita cuma bisa bilang: cuape deh.. :P

    BalasHapus