Sabtu, 09 Juli 2011

Rumah Simbah 3


      Bencana Alam di Tengah Malam
Hari terakhir di Sumobito. Hari itu merupakan hari terakhirku berkunjung ke rumah simbah. Hari terakhir juga bertemu dengan Ujang. Sebelum kembali ke Jogja, Bude Anik –bude yang di Sepanjang, Surabaya– mengajak kami semua “rekreasi” ke Malang. Aku, Mbah Kung, Mbah Uti, serta ketiga adik sepupu Jogja-ku. Keberadaanku di Sumobito, selain menjenguk Mbah Kung yang barusan sakit adalah menjemput tiga kurcaci perempuan itu. Namun ketika aku tiba di Sumobito, mereka sudah bertolak untuk berlibur ke Sepanjang.
Sehabis ‘ashar, Bude Anik dan rombongan tiba di kediaman simbah. Tiba dengan Kijang LSX ungu muda. Rombongan terdiri dari Pakde Husin (suami bude), Mbak Ayu (sepupu Surabaya), dan ketiga bidadari cilik. Setelah santap bakso dan es sirup degan, sekitar jam setengah 5 sore, kami semua berangkat. Menghadiri acara resepsi pernikahan salah seorang anggota keluarga Bani Lathief terlebih dahulu.
Tidak ada firasat apapun ketika melaju di jalanan berkelok tersebut…
Langit sore yang diselimuti mendung perlahan mulai gelap. Petang datang membuat hari beranjak menuju malam. Kijang yang awalnya membelah persawahan di Kabupaten Jombang mulai membelah perbukitan ketika memasuki Kabupaten Malang. Jalan yang semula lurus mulai berbelak-belok. Naik-turun. Untunglah, tidak ada satu pun dari kami yang mengeluarkan isi perut secara paksa. Ya, jalan yang berliku itu benar-benar bisa membuat siapa saja berpotensi mabuk darat. Bagi yang belum terbiasa.
Kira-kira jam tujuh, kami sampai di gedung pertemuan. Gedung yang letaknya di depan Matos (Malang Town Square). Matos yang kalau diteruskan akan sampai di BA Restu, TK-ku dulu. BA Restu yang kalau lurus lagi akan sampai di Kampus UMM Jalan Bandung. Kampus UMM yang di seberang jalan ada Jalan Batujajar. Jalan dimana kuhabiskan masa kecil dulu selama 2 tahun. Menemani bunda yang kala itu tengah studi pascasarjana di Kampus UMM.
Nostalgia singkat yang bukanlah pertanda apa-apa…
Tidak berlama-lama kami di walimah al-ursy itu. Setelah bersalam-salaman, lanjut foto bersama, dan makan malam, kami segera bertolak ke tempat lain. Tempat inti dari agenda yang direncanakan bude. Dialah tempat yang hanya ramai di malam hari. Dialah tempat yang sesuai namanya hanya buka di malam hari. Tempat yang berlokasi di Desa Oro-oro Ombo, Kota Batu.
Batu Night Spectacular (BNS). Kami sampai di sana sekitar jam sembilan. Dari kejauhan sudah terlihat mobil-mobil yang parkir mengular. Berhenti di tepi-tepi jalan karena area parkir sudah penuh. Kami segera masuk dan pergi ke gedung pertunjukan. Kata bude, akan ada pertunjukan “air terjun menari”.
Pertunjukan tersebut ada di sebuah gedung dome besar yang terdiri dari meja dan kursi berjejer. Di kanan-kiri, ada food court yang menjajakan beraneka macam makanan dan minuman. Lalu, di bagian depan gedung, ada panggung yang menyuguhkan musik-musik yang dimainkan beberapa personil band. Di depan panggung ada kolam. Nah, air terjun menari (dancing fountain) itu akan keluar dari lubang-lubang yang ada di kolam. Airnya keluar dan naik-turun sesuai irama musik yang dimainkan, namun bukan dari band.
Bahkan saat menantinya pun tidak tebersit perasaan aneh…
Setengah jam kami menunggu show. Menunggu dengan sama-sama menikmati sekoteng hangat. Karena ditunggu lama tapi tidak show juga, kami akhirnya beranjak menuju wahana lain. Wahana permainan anak bagi ketiga kurcaci. Wahana seperti yang juga ada di Dufan. Setelah puas bermain, kami pergi ke Lampion Garden (LG). Wah.., di sini juga romantis. Ada berbagai bentuk miniatur yang dipenuhi pencahayaan warna-warni. Ada tokoh-tokoh kartun, ada binatang, ada bangunan, ada rumah pohon. Aku pun mengerti kenapa BNS hanya buka di malam hari. Karena kalau siang hari, warna-warni akan kalah oleh sinar matahari. Sebab LG itu ada di tempat terbuka.
Aspek yang dijual LG adalah momen kenangan berupa foto bersama. Ada pasangan-pasangan asmara, beberapa keluarga kecil, hingga gerombolan anak muda. Ada ayah-ibu-anak, berfoto bersama dengan latar miniatur yang banyak tadi. Wuaaahh..!!! Kami juga berfoto bersama. Foto kakek-nenek dan cucu-cucunya di LG dengan latar Menara Eiffel dan Bangku Love. Kami semua senang. Terlebih Mbah Kung dan Mbah Uti. Senang karena bertamasya malam-malam bersama kelima cucunya.
Malam semakin larut, semakin dekat dengan sesuatu di belahan bukit sana…
Kami pun memutuskan pulang setelah mengetahui bahwa show of dancing fountain sudah selesai. Sudah diputar ketika kami berada di LG tadi. Yah.., agak kecewa sih… Tapi ya sudahlah, sudah malam juga ini, sudah jam setengah 12. Mungkin lain waktu bisa mampir lagi ke sini sekalian mampir juga ke Jatim Park. Kami lalu naik lagi ke Kijang ungu muda. Pulang lagi ke Sumobito. Menembus jalan berliku di tengah malam.
Baru beberapa menit lepas dari Kota Batu, bude mulai agak curiga dengan kondisi jalan. Bukan karena gelap bercampur kabut. Bukan pula karena tetes hujan yang mulai menitik. Bukan karena pekatnya jurang-jurang yang sesekali terlihat. Namun, kenapa yang dari arah berlawanan sama sekali tidak ada kendaraan? Kenapa hanya arah Batu-Jombang saja yang dilalulalangi mobil dan bus? Arah Jombang-Batu sepi…
Bencana kecil itu ada di depan, longsor total di Pujon…
Ternyata ada bencana alam, tanah longsor. Tebing itu tanahnya luruh dan menutupi seluruh permukaan jalan raya. Total menutupi jalan raya. Membuat Malang-Jombang maupun Malang-Kediri ikut terputus sementara. Menyebabkan macet yang tidak seberapa panjang. Sebab kata warga di sekitar baru terjadi beberapa menit yang lalu. Semua kendaraan terpaksa berputar balik. Pakde ikut memutar balik.
Angker? Horor? Lumayan sih.. Tengah malam buta, coba kalau tadi kami terlalu cepat pulang. Pasti ikut tertimpa longsoran. Walaupun menurut warga tidak ada korban jiwa atau materi yang terkena longsoran. Syukurlah… Kami pun memutar lewat Pasuruan, kembali lagi ke Batu. Lalu ke arah Singosari, Purwodadi, Prigen, dan tekluk..!! Aku tertidur... Bangun-bangun sudah sampai di Mojokerto jam dua dini hari. Setengah jam kemudian, kami sampai lagi di rumah simbah. Rumah Sumobito. Semua bergegas berbenah seperlunya, lalu tidur. Tidur sesempatnya sampai adzan shubuh berkumandang.
Kemudian berangkat pulang ke Jogja, pagi-pagi sekali. Dan dengan diantar pakde, bude, dan mbak, bermobil sampai Mojoagung, kami “melompat” ke dalam bus Mira. Selamat tinggal, Mbah... Suatu kali nanti, kami pasti akan kembali lagi…

Epilog
Waktu rupanya masih memberikanku kesempatan untuk jalan-jalan. Kali ini tujuh pantai di Gunungkidul: Baron, Kukup, Drini, Sundak, Krakal, Siung, dan Wediombo. Aku bersama seluruh tim sukses “Fresh Fish” bertamasya sehari penuh ke sana. Intinya sih, mau ke Pantai Sadeng melihat tempat pelelangan ikan. Khususnya ikan tuna. Ikan tuna yang merupakan andalan produksi UKMM Fresh Fish milik paklik dan bulikku. Keduanya adalah orangtua dari ketiga sepupu Jogja-ku sebelumnya.
Dan di salah satu pantai itu, sebuah puisi tiba-tiba saja masuk ke kepalaku. Kutuangkan langsung di ponselku. Kalau sedang berada di alam bebas, inspirasi ternyata lebih mudah ditemui ya... ^_^

3 komentar:

  1. waaahh..ternyata tempatnya romantis ya??? *mupeng* wkwkwk..

    BalasHapus
  2. apa yang terjadi kemudian emang selalu diluar dugaan kita...
    bisa jalan2 juga pasti sangat menyenangkan

    BalasHapus
  3. @Rabest:
    Ya begitulah, hehe.. Eh-eh, yg mana ini: BNS, tujuh pantai, atau longsor nya, wkwkwk..

    @Ibu Dini:
    Yg penting ambil senengnya aja ya, Bu, tapi masih penasaran sama air terjun menari nih.. Bener2 pengen liat..

    BalasHapus