Selasa, 08 Maret 2011

Menyepi di Batu (Bagian 1)



“Harta yang paling berharga adalah keluarga,
Istana yang paling indah adalah keluarga,
Puisi yang paling bermakna adalah keluarga
Mutiara tiada tara adalah keluarga.”
Ada yang masih ingat dengan Ost. Keluarga Cemara yang kala itu tayang di RCTI? Pasti tahu donk siapa penyanyinya... Yup, dialah Novia Kolopaking yang sekarang ini istri dari Emha Ainun Najib atau Cak Nun. Aku memanggilnya Bude Via dan Pakde Nun, sebab Cak Nun adalah sepupu ibuku. Dan pastinya, kalian juga tahu dengan Noe “Letto” kan? Aku sendiri memanggilnya Mas Sabrang dan memanggil istrinya, Mbak Ucie.
Well, bukan silsilah keluarga seperti itu yang akan kubahas di sini. Memang beberapa waktu lalu, aku bertemu mereka semua: Pakde Nun, Mas Sabrang, dan Mbak Ucie (juga anak pertama Mas Sabrang dan Mbak Ucie). Waktu itu, Bude Via tidak datang karena (mungkin) agak lelah setelah menggelar konser di Malang dengan Pakde Nun pada malam harinya. Jadi, belum sempat ikut ke Batu. Pakde Nun juga sempat minta maaf karena belum bisa membawa lengkap seluruh anggota keluarganya, mungkin di pertemuan yang akan datang, insya Allah.
Wait-wait.. Batu? Is that “stone”? Hmm.., please ya, Batu itu kota wisata yang terletak di Kabupaten Malang. Dingin? Pastinya. Tapi kalau dibandingkan dengan Buper Sekipan di Tawangmangu, ya masih belum seberapa. Masih lebih dingin Sekipan-lah.. Kalau di Sekipan aku jarang mandi, di Batu aku bisa mandi pagi hari, hoho.. Jalannya banyak tanjakan dan turunan? Ya iyalah.. Kalau soal ini, naik-turun dan belak-belok di Malang lebih memualkan daripada di Tawangmangu, hehe..
Aku berangkat menuju Batu pada hari Sabtu pagi dari Surabaya. Dengan APV Arena coklat keunguan (atau ungu kecoklatan, halah!), kami bersembilan melaju menuju kota kecil berhawa dingin itu sekitar pukul sembilan. Logika umumnya, Surabaya-Malang bisa ditempuh kurang lebih dua jam, dan Malang-Batu taruhlah paling lama setengah jam. Jadi, total waktu yang dianggarkan untuk perjalanan Surabaya-Batu adalah kira-kira dua setengah jam. Guess what? Ternyata, habislah enam jam untuk perjalanan dekat seperti itu! Weleh-weleh...
Rupa-rupanya ada Sikomo lewat alias macet! Macet-cet-cet..! (lebay) Kami semua juga heran, kok bisa ya.. Kami tidak ada prediksi bahwa Hari Nyepi bisa membuat banyak kendaraan merayap tersendat-sendat. Mulai dari Mojosari, Prigen, Purwodadi, Singosari, sampai di Kota Batu-nya sendiri, yang ada cuma merayap, merambat, dan melata. (lu kira reptil!) Padahal pagi pas lihat berita di tivi, suasana kota sepi tuh, bandara juga lengang. Itu Bali kalee..!! Ckckck, betapa oonnya orang yang memiliki analogi semacam ini, wkwkwk..
Jam tiga-an sore, akhirnya kami sampai juga, setelah bertanya sana-sini alias kesasar di Kota Batu. (udah macet, kesasar pula) Gapura itu bertuliskan “Kawasan Wisata Songgoriti”, sebuah area yang dipenuhi banyak vila untuk para pengunjungnya. Dari atas, tampak rumah-rumah berjejer rapi seperti kalau memiliki perumahan di permainan monopoli. Dan dari atas jalan, kami mulai meluncur ke beberapa jalan turunan. Kami pun mencari Vila Kailendra yang terletak di Jalan Songgoriti nomor 31. Well,  setiba di vila yang dimaksud, kami disambut oleh Cak Fuad atau Pakde Fuad, kakak tertua Pakde Nun.
Kami lalu bersalaman, saling bertukar sapa. Selanjutnya, kami makan siang dengan menu nasi putih, perkedel kentang, sayur asam buncis-wortel, kerupuk udang, dan.. sate yang saya tengarai itu sate kelinci, hihihi.. Minumnya teh hangat yang tidak terlalu manis. (harga gula padahal nggak bermanuver kayak cabe) Setelah itu, kami dibagikan name tag yang bertuliskan nama dan dari bani mana. Kemudian, kami digiring ke rumah nomor 8 yang diperuntukkan untuk bani kami. Vila Kailendra memiliki sekitar lima belas rumah. Rumah-rumah itu terdiri dari dua lantai dimana lantai pertama terdapat ruang tamu, ruang tengah dan sebuah televisi, dapur kecil, dan kamar mandi, serta di lantai kedua dengan dua kamar tidur dan satu kamar mandi.
Sore pun tiba. Acara pembuka yang rencananya dimulai pukul 2 siang, molor menjadi pukul 5 sore. Acara tersebut adalah perkenalan anggota keluarga dari masing-masing bani, dari yang bapak-bapak sampai adik-adik. Ada (kalau tidak salah) delapan bani, yang masing-masingnya sudah memiliki banyak kepala keluarga. Secara garis besar, hubunganku dengan Pakde Nun adalah beliau merupakan sepupu ibuku. Maksudnya, ayah Pakde Nun dan ayah ibuku adalah kakak beradik. Mbah Muhammad (alm), ayah Pakde Nun, adalah kakaknya Mbah Munif, ayah ibuku alias mbah kakungku.
Sekitar 250 orang lebih menghadiri pertemuan keluarga yang bertajuk “Shilaturrahim Bani Lathief” itu. Tajuk yang terpasang dalam bentuk spanduk di aula Vila Kailendra dan juga terpampang di papan vila itu sendiri. Jadi, kalau sudah di dalam Songgoriti, sudah tidak bakal nyasar lagi, hehe.., sudah ada petunjuk tempatnya. Mbah Lathief (alm) adalah ayah dari Mbah Muhammad (alm) dan Mbah Munif. Artinya, Mbah Lathief (alm) adalah mbah kakung Pakde Nun dan juga ibuku, alias mbah buyutku. Nama-nama bani merupakan nama dari anak-anak Mbah Lathief (alm). Aku berasal dari Bani Munif. Bani Munif sendiri dalam pertemuan itu diwakili oleh dua belas orang, termasuk Mbah Munif-nya sendiri. Ada lho satu bani yang diwakili oleh seratus orang lebih. Gilee.. Soal silsilah detilnya, duh-aduh, uakeh temen rek, ga iso nek tak iling-iling kabeh dino iku…
Acara perkenalan pun terpotong oleh waktu shalat maghrib, dan akan dilanjut esok harinya. Sebab Pakde Fuad selaku ketua panitia mengumumkan bahwa malam hari itu akan diisi dengan acara Konser Kyai Kanjeng, yang diisi oleh Pakde Nun dan Bude Via. Tempatnya? Di Kota Malang. Macet? Sepertinya. Jadi, dari sekian orang yang ada di vila, pada akhirnya hanya beberapa saja yang berangkat ke Malang. Bani Munif yang menempati rumah nomor 8 memilih untuk bersantai saja di daerah vila sambil menikmati baso malang dan nasi goreng ayam, di tengah gerimis yang mengguyur Batu di malam dingin.
Dan juga sibuk mengutak-atik keunikan (atau keanehan) televisi yang ada di ruang tengah…
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar