Jumat, 18 Maret 2011

Menyepi di Batu (Bagian 5)



Sms yang jujur saja selalu masuk dengan tema yang sama selama aku berada di Batu. Haduh-haduh..
Hoo, jadi nggak ikhlas nih ceritanya? Bukan gitu. Abisnya ditanyaaa melulu soal praktikum. Lagi makan nasgor, di-sms. Lagi enak lihat pemandangan di jalan, di-sms. Lagi denger cerita Mas Sabrang, di-sms. Lagi mual di jalan, juga di-sms! Yang soal tujuan, daftar isi, fungsi zat, isi rencana kerja.. Nyam-nyam-nyam.. Sebenernya, nggak papa sih.. Tapi kok pada nanya aku ya, kan aku bukan asisten praktikum, hihihi..
Well, back to Batu. Alternatif jalan pulang untukku sampai Jogja ada dua. Batu-Jombang-Jogja atau Batu-Surabaya-Jogja. Opsi pertama terbilang cepat, hanya kondisi jalan yang “memualkan” saja kendalanya. Opsi kedua termasuk untung-untungan, kalau lancar ya lancar, kalau Sikomo lewat ya nggak lancar. So? We choose the first. Batu-Jombang, ­dejavu Malang-Jombang tahun 1994. Nggak, aku nggak boleh muntah. Apaan sih, itu kan masa kecil. Jadi ceritanya, walau sudah sering bolak-balik Malang-Sumobito, aku teteeep aja hoek-hoek kalau lewat jalan itu. Huft..
Kami pun keluar dari Songgoriti sekitar jam dua-an siang. Ada pergantian penumpang nih. Bulikku yang ke Jogja sama dua anaknya mampir dulu ke Sumobito. (by the way, Sumobito itu rumah Mbah Munif di Jombang) Dan paklikku yang ke Bandung dan anak perempuannya ikut rombongan bude dari Surabaya di APV. Mereka mau naik KA Pasundan dari stasiun Jombang. Jadi, mereka naik KA, aku naik bus.
Sepanjang pulang, di jalan-jalan penuh belokan, dengan ditemani semilir angin, (AC alam nih ceritanya, dinginnya Batu jadi nggak usah pake AC freon) aku berpikir lagi tentang hari yang baru saja kulalui di Kota Batu. Aku jadi lebih tahu silsilah keluargaku seperti apa. Aku jadi lebih tahu asal usulku dari mana. Hmm, tiba-tiba saja pikiran itu tebersit. Gimana ya sama anak-anak yatim piatu? Gimana mereka bisa tahu silsilah keluarga mereka… Ya Tuhan, betapa beruntung aku memiliki alur genetik yang jelas… Intinya, ayah dari ibuku alias mbah kakung aslinya dari Menturo, Jombang. Dan ibu dari ibuku alias mbah putri aslinya dari Tempurejo, Ngawi. How about my father? Maybe, Kotagede is the answer, hihihi…
Tapi sayangnya satu. Hampir semua yang berjenis kelamin laki-laki (astofir, bahasanya) sukaaa banget “nyepur”. Itu lho kayak lokomotif KA, ngeluarin asap: fiuh-fiuuhh.. S-m-o-k-i-n-g. Kebanyakan sih bapak-bapaknya. Lha Pakde Nun ae nyepur je.. Aku bukannya nggak suka, tapi ya mbok kalau mau nyepur itu pas di rumah-rumah vila saja, kalau sudah di aula ya stop. Memang sih aulanya kayak pendopo, bukan auditorium yang ber-AC. Tapi kan ya asapnya jadi ngebul di setiap sudut. Mana rokoknya merk-merk berat lagi, wuidih..
Tanpa terasa, jalan-jalan semakin memusingkan. Belok kanan, belok kiri, turunan, tikung kanan, tikung kiri, turunan tajam.. Duh, kok tiba-tiba perut serasa berputar. Dan selepas Waduk Sidorejo, bude berhenti sebentar beli cemilan dan air mineral. Lalu, kami jalan lagi. Tapi makan dan minum itu tetep nggak bisa ngilangin mual yang datang mendadak. Ya sudahlah, kutaruh satu botol mineral itu di perut. Terus, kusandarkan kepala di jendela setelah jendela mobil kututup. Bismika allahumma amuut wa ahya..
Tara!! Tau-tau udah sampai di depan Ponpes Tebuireng. Udah jam 4 sore. Ternyata udah sampai Jombang. Huft.., mualnya dah ilang, untung nggak jadi hoek. Well, kita terus berhenti di depan stasiun KA Jombang buat cari makan dulu. Kami langsung mendatangi warung makan yang ada di sana, soto ayam yang hangat dengan teh manis hangat. Alhamdulillah, enak bener rasanya di perut. Setelah ditekan terus dengan botol air karena menahan mual, rasanya nyaman ketika yang hangat-hangat masuk.
Jeng-jeng!! (ih, kok lebay sih) Saatnya mencari Mira!! Jombang-Jogja sekitar 6-7 jam. Kalau naik jam 5 sore, paling telat sampai Jogja jam 12 malam. Dan setelah berdiri menunggu beberapa menit ditemani gerimis, sebuah bus patas ekonomi AC tarip biasa muncul. Aku berpamitan kepada semuanya, pakde, bude, tiga sepupu perempuanku, juga paklik dan anaknya. Begitu pintu bus coklat-oranye itu terbuka, aku segera naik.
Jogjakarta aku, kan kembaliii… Walau apapun yang, kan terjadi… 
(selesai)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar