Kamis, 10 Maret 2011

Menyepi di Batu (Bagian 2)



Dan juga sibuk mengutak-atik keunikan (atau keanehan) televisi yang ada di ruang tengah…
Aku adalah orang pertama di rumah nomor 8 yang menyalakan tivi, sore hari saat memasuki rumah itu. Ketika itu, SCTV ada di channel 0. Begitu kuubah ke channel lain, lho? Kok ya tetep aja di 0 dan tetep aja tampilannya SCTV. Wah, ngajak ribut tivinya.. Ya sudah, kuubah-ubah saja lewat Menu, mencoba mencari stasiun dan channel lain, dan dapatlah satu stasiun, yaitu RCTI. Langsung disimpan di channel 5. Nah, begitu keluar dari Menu, lho? Kok RCTI malah jadi di channel 0 dan SCTV-nya hilang? Walah, kucoba lagi dan lagi sampai ada sekitar lima kali. Dan tetep aja pencarian channel mentok di RCTI, nggak bisa dapat yang lain. Dan tetep aja mentoknya di channel 0.
What? Jadi nih tivi cuma bisa buat satu stasiun dan cuma bisa diatur ke channel 0. Ndeso rek! Malam harinya pun sama. Diutak-atik, eh dapat Indosiar. Lha tapi kok RCTI-nya yang hilang.. Akhirnya setelah beberapa saat sotoi, channel-nya bisa diubah ke channel lain, waktu itu aku coba channel 5 dan 10. Tapi ya kok teteeep aja Indosiar..!! Lanjut. Utak-atik, ceklak-ceklik, pencet tombol ini-itu, dan.. kembali lagi ke RCTI. “Putri yang Ditukar” akhirnya terpaksa menjadi tontonan siapapun yang ada di rumah nomor 8. Lha nggak bisa diganti-ganti lagi. Satu stasiun dengan beberapa channel yang hanya bisa menampilkan satu stasiun televisi. Ckckck, cape deh..
Tapi malam itu, aku tidur di rumah nomor 14. Rumah yang khusus untuk simbah-simbah, ada tiga orang simbah, termasuk Mbah Munif. Rumah nomor 14 adalah rumah paling elit di Vila Kailendra. Begitu sampai depan rumah, terasnya ada kesetnya. Begitu masuk, wuih.., ada AC-nya. (norak) Begitu melangkah ke dalam, wuidih, ada tivi dan vcd player-nya. (kampungan) Begitu melangkah semakin dalam, ih waw, ada kulkas kecil dan dispenser. Ada lukisan macan juga dalam potret yang cukup besar, tergantung di awal tangga menuju lantai dua. (ndeso-so-so.., lebay) Oke, menanjak ke lantai atas, tara! Ada tivi juga dan sebuah beranda yang dari sana terlihat kelap-kelip lampu rumah-rumah di Kota Batu. Serasa kayak di puncak Sekipan malam hari sambil memandang ke bawah dan akan terlihat kelap-kelip lampu rumah-rumah di Kota Tawangmangu.
Kamarnya? Ada satu di bawah dan dua di atas. Jadi kan pas, untuk tiga orang simbah. Nah, karena simbah yang lainnya perempuan, jadi Mbah Munif (mungkin) nggak ada temennya, hihi.. Dua simbah putri tidur di kamar bawah, nah simbah kakung di kamar atas sendiri. Jadilah aku diminta untuk menemani simbah di kamar satunya yang kosong. Eits, ada AC-nya juga donk.. Kamar mandinya ada satu di bawah dan satu di atas, lengkap dengan toilet duduk dan shower, nggak pakai bathtub. Mewah betul rumah nomor 14 ini..
Pagi pun tiba. Dari beranda tampak di langit semburat fajar menjelang. Baguuus banget. Sayang, kamera hape-ku nggak terlalu bagus, jadi ya nggak bisa jepret-jepret. Dan lagi aku bukan 4L+4Y, jadi ya nggak papalah nggak bisa jepret-jepret, wkwk.. Padahal, view-nya bagus, kapan lagi kan lihat sunrise in Batu. Mana udaranya sejuk pula, dingin-dingin bersih gitulah, enak di paru-paru. Subhanallah..
Agenda pagi itu adalah jalan-jalan. Jalan-jalan mengelilingi seputar area Songgoriti. Lagi, aku menemani Mbah Munif jalan-jalan. (konsekuensi sebagai cucu laki-laki satu-satunya, buat seseorang yang bernama Ahmad Setia Prayoga, kapan-kapan giliran kamu yang harus jadi “pengawal” mbah kakung, okeh?) Kami melihat-lihat deretan vila-vila lain selain Kailendra. Ada banyak vila dengan rupa rumah yang beraneka ragam. Eh, di jalan-jalan itu ada juga Bunga Kecubung, seperti bunga terompet tapi berwarna jingga kekuningan. (atau kuning kejinggaan, dasar buta warna!) Bunga yang baunya nggak enak, sumpah! Bikin mabuk, soalnya di Sekipan bunga itu juga ada. Semua bunga menatap ke bawah, mungkin karena kedinginan, jadi nggak bisa tegak mahkota bunganya, hihi..
Huft.., sejuk sekali. That was so fresh. Dingin, bersih, sejuk pula, tapi masih bisa mandi lho, hehe.. Well, pasar pertama yang kami kunjungi adalah pasar bunga. Ada banyak tanaman yang ditaruh di dalam pot-pot polybag. Tanamannya nggak cuma bunga, ada tanaman obat juga lho. Istilahnya, apotek hidup-lah.
”Iki jerut purut yo..,” tanya mbah kakung. Dan dipetiklah satu kelopak daun lalu dicium oleh simbah. “Kabeh ki, jerut purut yo, iku lak jerut purut yo..”
Mulai deh perasaan nggak enak. Kayaknya mbah kung “jatuh cinta” sama jeruk purut. Semua tanaman yang ada di sana, hanya satu yang dikomat-kamitkan mbah kung: jeruk purut. Jeruk purut itu yang baunya kadang ada di pecel itu lho. Padahal ada jeruk nipis, bonsai, lidah mertua, mawar, melati, semuanya indah. (oke, ngelantur) Dan bulikku kemudian menghentikan aktivitas mbah kung “meneliti” setiap rupa yang mengarah kepada jeruk purut, “Wis yo, bali wae, isine meh kembang.”
Kayaknya sih, mbah kakung pengen beli jeruk purut. Tapi pagi itu, kami hanya berempat: aku, mbah kakung, bulikku, dan anak bulikku yang TK. Bude yang tahu seluk-beluk kehidupan mbah di Sumobito masih di vila, jadi aku nggak bisa nanya. Hmm, apakah satu di antara jeruk purut itu akan jadi berpindah tangan?
(bersambung)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar