Agak sore menjelang petang, tau-tau ada sms masuk di ponsel saya, “Ayo temen-temen, kita udah di Ulil nih. Buruan ya!”
Deg!
Saya baru ingat, saya belum memberi tahu yang punya nomor kalau hari itu saya izin telat karena ada acara keluarga di Jakarta. Bersamaan dengan tanggal hari itu, tanggal 21 April 2011, ada acara lain yang harus saya ikuti di Jogja sana. Acara IHT atau in house training yang diadakan LPM saya. Lha, kok ya bisa barengan gitu.. Jelas nggak bisa saya cancel acara yang di Jakarta karena sudah dari awal tahun tiketnya saya pesan. Finally, saya izin nggak ikut IHT pada hari pertama dan kedua. Nanti di hari terakhir alias hari ketiga, baru saya nongol, hehe.. Dan nampaknya belum semua panitia tahu tentang hal ini sehingga ada sms tadi yang masuk dan memecah konsentrasi saya di dalam kemacetan, hohoho..
Back to the traffic jam…
Gila, merayap banget kayak ulat.. Jalan dikit, berhenti lagi. Mana polisinya udah prat-prit-prat-prit gitu. Mana udah mau maghrib pula. Paklik Kun lalu berinisiatif untuk membeli gorengan di pinggir jalan. “Biasa untuk orang Jakarta, nyambi ngemil, kalau nggak gitu ya bosen!” ujarnya. Tapi, harga satu gorengan Rp600 dengan porsi setengah gorengan di Jogja. Buseeett!! Ini mah sama aja satu gorengan harganya Rp1.200! Lha di Jogja satunya Rp500, kalau dikali dua kan jadi seribu! Sambil terus bersabar melata bak hewan reptil, kami menikmati makanan ringan itu. Minumnya teh gelas yang dibeli dari supermarket terdekat. Kata paklik lagi, “Kalau udah gini tuh, mobil matic kerasa banget fungsinya.”
Pelan tapi tidak pasti. Pakde Ar berkali-kali menelepon untuk memandu, bertanya posisi kami, memastikan paklik tidak salah arah lagi. Saat itu, kami sudah di tol menuju BSD. Sudah malam, hampir jam 7. Dan jam 7 lewat sedikit, sampailah kami di rumah tingkat dua bercat merah milik Pakde Ar setelah sekian jam menikmati macet Jakarta.
Mendapat hikmah bahwa Jakarta itu nggak gue banget..!!
Nggak-nggak, nggak kuat.. Nggak-nggak, nggak kuat.. Aku nggak kuat sama macet, macet.. Nggak-nggak, nggak level.. Nggak-nggak, nggak level.. Aku nggak level sama hidup Jakarta.. Hahaha, plesetan lagu 7 Icons..
Jadilah malam itu kami habiskan di BSD City. Para tamu wanita tidur di lantai atas, sementara para tamu pria menempati lantai bawah. Di atas, ada ibu saya, adik saya, dan bude saya yang dari Jogja. Di bawah, ada saya, ayah saya, adik saya lagi, dan pakde saya yang juga dari Jogja. Menjelang malam, ada keponakan bude lainnya yang juga menginap di BSD, sepupu jauh saya. Pakde Ar sendiri kamarnya di lantai bawah, sedangkan Mas Andri kamarnya di lantai atas.
Setelah mandi dan makan malam, kami bersantai sejenak. Sekadar berbincang tentang acara besok hari. Pakde Ar memberikan sebuah buku autobiografinya, satu kepada bapak dan satu kepada Pakde Muh. Mereka berdua itu adik kandungnya Pakde Ar. Makanya, keluarga mereka berdua diminta untuk menginap di Rumah BSD saja.
Well, kembali ke si buku. Buku itu cukup tebal, sekitar 200-an halaman (atau 300 ya?), sampulnya berwarna biru. Di bagian belakang ada testimoni dari ketiga anak pakde. Mas Andri itu anak pertama pakde, lalu disusul Mbak Nita yang udah walimah duluan sama Mas Marek, dan yang terakhir ada Mas Doni. Buku itu berisi kisah-kisah hidup pakde, dari sejak lahir, masa kecil di Kotagede, masa kuliah di Semarang, masa kerja di Makassar, sampai berkeluarga, punya anak, dan mau mantu. Bapak saya menjadi pengisi kata pengantar buku itu, sebab dalam proses pembuatannya, pakde sering menggunakan kosa kata sharfu dimana bapak adalah jagonya (katanya sih gitu..). Ah, saya ntar juga mau buat, ntar kalau mantu juga, hehe.. Masih lama cuy, wkwkwk..
Malam semakin menanjak. Satu per satu dari kami mulai beranjak ke dunia mimpi. Sebelum memejamkan mata, Titi, adik perempuan saya, menghampiri saya dan mengangsurkan bingkisan berbungkus kertas kado berwarna kuning motif bunga.
“Nih, gek lupo pule e,” ujarnya menggemaskan.
Ups!
Saya baru ingat. Tadi sebelum makan malam, saya sempat naik ke atas dulu setelah dikompori Yoga, adik laki-laki saya. Katanya, “Kak, adik ada hape baru lho, touch screen..” Dan saya pun termakan kata-katanya dan langsung menemui si bungsu di lantai atas. Ketika itu, Titi selain memberikan hapenya, juga memberikan bingkisan kado tadi.
“Nah ini, dari aku, tapi agek bae e bukanyo, tunggu aba-aba dari aku dulu,” katanya seperti mengultimatum, wuidih.. Ini pasti kado ultah, hahahay.. Karena asyik mengutak-atik hape adik, saya letakkan saja kado itu di rak buku lantai atas. Sampai pas turun ke bawah, kelupaan dibawa deh. Gubrak!
Hmm.., apa yah kira-kira isinya? Whatever that, saya ingin besok menjadi hari yang sempurna, sebab lusa saya sudah kembali ke Jogja..
(bersambung)
Jadi pensaran apakah isi dari kado tersebut...
BalasHapuspengen juga membuat sebuah buku tentang diri kita untuk anak2 kita nnati ya...
Tunggu bagian terakhir serial ini, Bu, hehe..
BalasHapusIya, blog ini jadi latihan saya nulis, nulis apa aja, dari nulis yg jelas sampai yg nggak jelas, hihi..