Selasa, 17 Mei 2011

Pertemuan di Jakarta (Bagian 4)


Sebuah gedung yang terletak di kompleks Kementerian Pertanian Republik Indonesia..
Saya tidak ada pikiran apa-apa saat itu, padahal malam harinya saya dan adik bungsu saya akan berjalan sekian kilometer di tengah semburan asap knalpot, alias nyasar..!!
Begitu tiba di lobi gedung pertemuan, hujan pun berhenti. Kami semua langsung mengatur barisan. Dari depan ada pengantin pria beserta kedua orangtu dan adik-adiknya, lalu barisan keluarga di belakangnya, dan paling belakang mereka para sepupu yang membawa bingkisan untuk pengantin wanita. Bingkisan itu dibawa dengan tangan masing-masing.
Dress code-nya adalah stelan jas untuk laki-laki dan stelan kebaya untuk perempuan. Akad nikah berlangsung singkat. Jam setengah 3 dimulai dan sekitar 10 menit kemudian selesai. Selanjutnya adalah upacara adat, sebab Mbak Dian-nya Mas Andri itu orang Sunda. Ada lempar koin (sawer), pecah telur, pecah kendi, dan suap-suapan ayam. Rangkaian acara selesai jam setengah 4 dan akan dilanjutkan resepsi pada pukul 7 malam. Acara bebas.
Saya dan Titi pergi jalan-jalan di area gedung kementerian. Yoga sendiri berkumpul di dalam gedung dengan keluarga lainnya. Sementara kami berdua, asyik memotret bagian demi bagian gedung. Sesekali bagian demi bagian manusia yang memotret ikut juga memfoto dirinya, hehehe..
Tiba-tiba, ada kucing. Kucing hitam. Jinak sih, tapi.., you know what, meskipun kita suka kucing, tapi lagi belum boleh terlalu dekat dengan kucing. Kalau aturan itu dilanggar, hasilnya: hatsyi-hatsyi..!! Bersinnya bakal lama! Jadi, si pejantan kucing garong itu kami elus seperlunya, lalu hush! Kami usir sejauh-jauhnya, hohoho..
Kira-kira jam 5, kami kembali masuk ke dalam gedung. Berkumpul lagi bersama keluarga. Baru beberapa menit duduk, si Titi keluar lagi, nggak tau deh mau jalan-jalan ke mana. Saya sendiri mulai iseng memerhatikan detil sudut demi sudut gedung. Pintu masuknya diseting seperti lorong yang dindingnya dihiasi tirai-tirai dengan warna merah dan kuning. Ada meja resepsionis di dekat pintu masuk. Setiap jarak diberi hiasan bunga, kayaknya sih bunga beneran, bukan bunga boongan, ketauan kok kalau dicium baunya.. Setiap jarak juga digantung lampu di atapnya, walaupun di atas tirai tadi juga sudah ada lampunya, tapi lampu yang kecil kelap-kelip.
Di dalam gedung, suasana seperti walimah ala Jawa. Prasmanan. Kalau di Palembang kan kursinya disusun rapi di depan panggung, sementara meja makan ada sendiri tempatnya, biasanya di sisi pinggir gedung. Tapi kalau di Jawa, justru kursinya yang ditata di pinggir, di depan panggung malah diletakkan semacam kedai dengan meja-meja penuh hidangan. Ada puding, ada martabak, ada roti isi, trus makanan besarnya ada nasi minyak – nasi putih, gurami asam manis, salad, sup, mie goreng, lho.. Ini mah nggak beda jauh sama yang di rumah tadi. Buahnya juga sama, minumnya pun juga. Bedanya, di sini porsinya lebih banyak, hihihi..
Di panggung nantinya kedua mempelai akan diapit orangtua masing-masing. Karpet merah terhampar dari lorong pintu masuk sampai ke atas panggung. Oh iya, pintu keluarnya sama seperti pintu masuk.
Saya lalu berandai-andai. Kalau nikah nanti, saya mau konsepnya adalah batik. Ciri khas saya donk, ciri khas dunia tekstil. Tirainya motif batik, panggungnya motif batik, taplak meja hidangan motif batik, kursinya juga batik, dress code-nya batik, sampai kalau perlu piring dan gelasnya juga bercorak batik (ngayal atau ngimpi, heh?!). Karena batik identik dengan malam yang warnanya coklat, maka hidangannya juga temanya coklat. Nasi coklat, sayur coklat, es coklat, buah coklat, dan coklat-coklat lainnya. Pulang-pulang, semuanya dirubungi semut, wakakakaka.. Sebuah pernikahan dengan konsep konsumsi yang unik (atau aneh?). Tapi nggak ding, nggak mungkin lah ada menu makanan kayak gitu.. Ngaco aja.
Menjelang jam 6 atau menjelang maghrib, Titi minta diantar. Katanya sih mau didandani, di masjid katanya. Nah, saya ikut aja ketika dia mengajak. Kami keluar gedung. Setelah berjalan sebentar, lho, kok malah keluar area kompleks kementerian?
“Katanya di luar kantor kok, Kak..”
Ya sudah, saya ikut aja. Lima menit, sepuluh menit, lima belas menit, kok nggak sampai-sampai.. Mana Jakarta rame banget, asap-asap udah bikin keringetan. Jalan pula kita di trotoar, kalau naik motor kan mending.. Saya mulai curiga. Saya inisiatif berhenti dan menelepon ibu. Baru menekan tombol hijau, eh.., hape saya mati..! Saya baru ingat tadi ponsel saya ngedrop batrenya karena dipake foto-foto sama Titi. Gubrak! Saya bilang sama dia, minta dia nelpon ibu. Eh.., pulsanya malah habis.. Gedubrak..!!
Tapi akalnya panjang juga.
Pinjem hape kakak bae, nak ku keluarke sim nyo, gek ku pindah ke hape aku bae..,” usulnya. Dan setelah itu dilakukan, setelah dering nada sambung terjawab, ternyata….., masjidnya ada di dalam kompleks kementerian.
Tuing-tuing-GUBRAK!!!
Kami langsung balik, sambil jalan cepat. Soalnya sebentar lagi jam 7, dan kami juga belum shalat Maghrib. Jalan cepat-cepat tanpa bicara, pokoknya pikiran kita berdua harus sesegera mungkin masuk ke dalam kompleks kementerian dan menemukan masjid yang dimaksud. Di luar auranya nggak enak, nggak begitu ramai pedagang berjualan, tapi kendaraan yang lalu-lalang cukup banyak. Asapnya bener-bener bikin sesak dan gerah.
Lima belas menit kemudian, kami masuk ke dalam kompleks Kemtan. Dan sekitar lima menit kemudian, kami temukan masjid itu. Titi langsung mencari rombongan para ibu untuk ikut berdandan, sementara saya langsung shalat. Gilee.., setengah jam jalan malam dengan ditemani polusi udara.. Haha, semakin nggak mau deh hidup di Jakarta. Padahal sorenya tadi kan hujan, tapi tetep aja di jalan raya rasanya sesak.
(bersambung)

---Posting tanggal 13 Mei 2011---

Tidak ada komentar:

Posting Komentar