Kamis, 16 Juni 2011

Menembus Kabut Mojosemi (Bagian 3)


Namun siapa sangka, perjalanan pulang kembali ke Jogja akan lebih penuh hambatan daripada saat berangkat..
Ketika sayup-sayup terdengar adzan maghrib di kejauhan, kami semua pergi meninggalkan Sekipan. Pergi untuk kembali pulang ke Jogja. Petang menjadi saksi pada dua belas kuda mesin dengan lampu-lampunya yang tengah menyusuri jalan berbatu, naik dan turun menuju jalan raya. Hebatnya, Smash-ku kuat-kuat saja. Padahal terakhir ke Sekipan, dia harus dituntun untuk bisa sampai ke jalan raya. Syukurlah, penggantian gear belakang itu cukup ada efeknya.
Setelah memastikan semua anggota lengkap, kami segera meluncur di jalan raya. Meluncur dengan kecepatan relatif tinggi karena jalan yang dilalui banyak turunannya. Turunan dan juga belokan. Lampu-lampu kendaraan lain berpadu dengan lampu-lampu kuda kami. Pun begitu dengan lampu-lampu rumah penduduk yang terletak di kanan-kiri jalan. Petang sudah berganti malam.
Kami terus meluncur dan meluncur. Sejauh ini, perjalanan sangat lancar. Semua kuda berpacu dengan kecepatan masing-masing, melawan angin malam pegunungan. Jaket, sarung tangan, dan sepatu yang kukenakan berhasil membuatku tidak menggigil lagi seperti saat melewati hujan kabut tadi. Sesuai kesepakatan, kami selanjutnya berhenti di sebuah SPBU yang ada di Delingan untuk beristirahat sejenak. Delingan merupakan daerah yang tidak jauh dari jalan masuk Kabupaten Karanganyar. Lepas itu, kami nantinya sampai di Solo.
Sekitar setengah jam, kami melepas penat. Ada yang memberi minum kuda-nya dengan Susu Premium (pagi minum jus, malam minum susu), ada yang menunaikan shalat berjama’ah, ada yang meneguk isi botol air mineral, ada yang asyik dengan rokoknya, ada juga yang sekadar ngobrol sambil tertawa-tawa. Setelah itu, kami kembali bergegas.
Kuda-ku sudah tidak lagi mengeluarkan suara seperti orang ngejan. Sebab jalannya sudah penuh dengan turunan. Spidometer menunjukkan kisaran laju kami antara 80-100 km/jam. Seakan melesat ingin menyamai kecepatan angin malam yang sesekali menerpa kami. Gelap di kanan-kiri jalan ketika rumah-rumah penduduk sudah digantikan lagi dengan wujud pohon-pohon dan sawah-kebun yang terhampar.
Tidak lama kemudian, kami tiba juga di Kota Solo. Kami lagi-lagi berhenti sebentar di sebuah minimarket. Dikira mau cari apa, eh taunya minuman berenergi. Itu lho, minuman dalam botol kecil yang bisa membuat mata tetap melek alias nggak bikin ngantuk.. Minuman yang kalau terlalu sering dikonsumsi berpotensi menyebabkan gagal ginjal. Jadi ingat salah satu dosen yang beberapa waktu lalu barusan anak-anak tekstil jenguk, beliau terkena gagal ginjal lantaran sudah tujuh belas tahun menderita diabetes.. Sekarang, setiap hari Selasa, beliau cuci darah dari pukul 9 pagi sampai pukul 2 siang di Sardjito.. Beliau berpesan kepada kami untuk tidak terlalu sering mengonsumsi minuman sejenis itu, hmm..
Kami berangkat lagi. Nah, di sinilah hambatan pertama dimulai. Karena Solo adalah kota yang jalannya cukup ramai, sebagian dari kami tersesat alias nyasar..! Ada beberapa kuda yang seharusnya belok kanan di sebuah pertigaan, eh.., mereka malah lurus. Aku dan Mami termasuk ke golongan orang-orang yang tersesat itu, hoho.. Tapi untungnya, kami cepat bertindak untuk putar balik, jadi tidak nyasar terlalu jauh.
Sekitar setengah jam, kami saling berkoordinasi untuk mengetahui posisi masing-masing. Setengah jam, kami saling telpon sana-sini untuk memberitahu satu sama lain. Akhirnya, setelah dipastikan lengkap dan diketahui masing-masing sedang berada di mana, kami tancap lagi. Mengegas sekencang-kencangnya di jalan pinggir Kota Solo. Hmm, lewat pinggir kota saja bisa terpisah begini, apalagi kalau lewat tengah kota, ckckck..
Di suatu sudut jalan, kami bersatu kembali. Dua belas kuda dengan namanya yang beragam, dengan lampu penerangan masing-masing. Kami kembali membelah jalan malam itu. Jalan tembus yang di kanan-kiri-nya gelap karena di sana banyak sawah dan kebun. Jalan tembus yang sesekali berlubang. Salah sedikit, bisa membuat perjalanan tidak nyaman. Salah sedikit, bisa membuat pantat yang sudah serasa seperti dicambuk makin terasa perih. Ya am..plop..
Perjalanan pulang termasuk cepat. Kami sudah masuk jalan tembus yang menghubungkan Solo dengan jalan besar menuju Klaten. Sesaat kemudian, kami pun sampai di jalan besar itu. Berpacu semakin kencang menuju Kota Klaten. Dan sesampainya di Klaten, kami semakin kencang menuju jalan besar yang menghubungkan Klaten dan Jogja.
Jalan besar itu masih saja sama dengan siang harinya. Bus-bus antar kota, truk-truk besar, dan mobil-motor pribadi masih memenuhi ruas-ruas jalan. Di jalan besar inilah, hambatan kedua dan ketiga terjadi. Selepas lampu merah keluar dari Klaten, kami semua tiba-tiba saja menepi. Kuda-ku yang ada di barisan depan tidak tahu ada apa yang membuat semua kuda sontak meminggirkan dirinya ke tepian jalan.
“Si anu tidur,” kata salah seorang temanku asal.
Apa? Tidur? Mengendarai sepeda motor kok tidur? Ooh.., ternyata matanya sakit, jadi agak menyipit begitu. Jadi dikira tidur.
“Tapi tadi hampir nyenggol truk kok,” kata yang lainnya.
Ah.., aku tidak tahu pastinya. Mereka ribut sana-sini. Semua mengerubungi si pengendara kuda yang tadi katanya tidur. Yang jelas kalau memang mengantuk, sebaiknya berhenti dulu agak lama. Daripada jalan lagi terus mata terpejam tanpa sadar? Kalau oleng, bisa-bisa wassalam kan..
“Kuncinya ada yang jatuh,” kata suara lain.
Haduh-haduh, apa lagi ini, pikirku.. Dan ternyata ada satu kuda yang karena tempat kuncinya sudah longgar alias dol, kuncinya jatuh entah di mana. Jadilah, tidak ada kunci pada kuda yang satu itu. Untung, akinya belum mati, motor matik ceritanya. Jadi masih bisa nyala mesinnya. Yang jadi masalah adalah bensinnya. Sudah tinggal setengah. Gimana kalau di jalan tiba-tiba bensinnya habis, kan kuncinya hilang, jadi nggak bisa buka jok-nya..
Setengah jam mungkin ada buat kami berdiskusi tentang bagaimana baiknya. Akhirnya, diputuskan kami berjalan lagi saja. Supaya lekas sampai Jogja lagi. Benar juga sih, yang penting sampai dulu di kota tercinta. Kami kembali memacu kuda masing-masing di jalan besar itu. Kecepatannya masih di kisaran 80-100 km/jam. Malam benar-benar membuat kami ingin segera cepat sampai di huma. Penat di badan ingin segera dilepaskan. Begitu juga pantatku yang baru saja “dicambuk” ingin segera mendarat di tempat yang empuk semacam busa. Sakit, panas, dan perih sekali; astaghfirullah..
Di jalan besar itu lagi-lagi terjadi hambatan yang keempat. Di belokan jalan tembus menuju Jalan Kaliurang, kami berbelok di tempat yang berbeda-beda. Kami kembali terpisah. Tapi, sudahlah.. Toh, ini sudah dekat juga dengan Jogja. Kami akhirnya berjalan sendiri-sendiri, sendiri-sendiri dengan jalannya masing-masing. Saat itu, kuda-ku hanya berdua saja dengan kuda lainnya. Jadilah kami berdua membelah malam jalan tikus yang sepi.
Malam semakin memuncak. Kami pun semakin kencang melaju. Tiba-tiba badanku kembali gerak-gerak sendiri. Dasar payah.. Padahal tidak ada kabut. Mungkin karena angin malam. Karena waktu itu, sudah jam sembilan lewat, sudah hampir jam setengah sepuluh. Angin malam pun membuat badanku menggigil walau tidak separah di Mojosemi tadi.
Kami sampai juga di aliran Kali Gendol. Ternyata.., kalau malam lebih mencekam! Pagi tadi selain truk yang lalu-lalang, ada juga warga yang beraktivitas. Tapi malam ini sunyi sekali. Hanya satu-dua truk yang melintas, dan juga kuda kami berdua. Ada penampakan nggak ya, hihi.. Hush! Ngaco lagi dah!!! Setelah melewati Kali Gendol, kami kembali memacu kencang laju kuda kami. Aku yakin pasti sudah jam sepuluh! Dan benar saja, ketika kami sampai dengan selamat tanpa kurang suatu apa di boulevard, layar ponselku menunjukkan angka 22.08. Setelah itu, matilah dia karena batrenya habis. Seolah ingin memberitahuku jam berapa ketika itu, kemudian dia “pergi tidur duluan”. Halah-halah, dasar ponsel payah..
Puji syukur, akhirnya satu demi satu kuda tiba di kampus. Saat kami berdua sampai, ternyata sudah ada yang sampai duluan. Kami berdua sampai tengah-tengah karena setelah kami masih ada kuda lain yang berdatangan. Touring pun selesai, menyisakan cerita beda-beda. Ada yang karburator-nya rusak, ada yang rem-nya blong, ada yang nyasar, ada yang ngantuk di jalan, ada yang kunci-nya hilang, eh.., dengar-dengar ada yang jatuh malam itu waktu melewati aliran Kali Gendol Merapi..!
Bagiku, perjalanan ini juga menyisakan cerita tersendiri. Cerita tentang Payung Awan, Bukit Terasering, dan Hujan Kabut. By the way, bukannya norak karena baru merasakan hujan kabut sekarang.. Dulu pas di Sekipan juga pernah sih, tapi kan kondisinya di alam bebas. Jadi ketika kabut turun, tinggal berlindung di tenda. Tapi yang ini lain. Yang ini kabut turun saat kami sedang melintas di jalanan, kami masuk ke hujan kabut itu, dan kurasakan sendiri sensasi magis yang membuat badanku bergerak-gerak sendiri.
Satu catatan penting, selain karya seni Tuhan di Mojosemi.
Estimasi waktu sepertinya penting dalam sebuah perjalanan. Kami berangkat jam setengah sembilan pagi dan sampai jam sepuluh malam. Dihitung dengan kendala di jalan, ada sekitar dua jam waktu terbuang. Jika tadi kami berangkat jam tujuh tepat, mungkin sampai lagi jam setengah sembilan. Kalau tidak dihitung kendalanya, syukur-syukur jam setengah tujuh-lah.. Dua jam itu bisa masuk ke safety time. Jadi, perkiraan waktu itu penting, oke..
Ah, sekarang waktunya pemulihan. Bagiku, pemulihan pantat yang sudah dibawa PP dari pagi sampai malam dengan medan yang penuh tanjakan, belokan, dan jalan berlubang. Buat Smash biru-ku: I say thank you so much for today, you have done and shown your best.. Though you couldn’t climb properly, you were so meaningful for me.. Jadi ingat kata teman perempuan-ku yang lain, tadi di warung makan dekat Cemoro Sewu. Dia memang pernah merasakan sendiri kerasnya perjuangan Smash-ku mendaki jalan ke Ketep. Katanya, “Kalau sudah gini, berarti emang motornya, Bud, yang mesti diganti..” Hahaha, kami tertawa-tawa saja.
Setiba di kamar, setelah ber-sms sebentar dengan seseorang yang masih terjaga tengah malam itu, setelah memosisikan bantal di bawah pantat, aku pergi lagi. Pergi tanpa sempat mandi, hihihi… Kali ini, berangkat menuju alam mimpi. Bermimpi tentang Payung Awan, Bukit Terasering, dan Hujan Kabut. Kali ini, tanpa ditemani Smash, karena dalam imajinasi itu, aku melayang-layang di udara. Memandang tak jemu-jemu sembari bertasbih. Mengepak sayap seorang diri, lalu menjadi seekor burung yang tengah bertengger di sebuah ranting pepohonan. Ah, namanya juga mimpi, setiap orang bebas merangkai mimpinya, bukan begitu..?
(selesai)

6 komentar:

  1. jadi ngerti kalo memperkirakan waktu perjalanan iu emang bener-bener penting. Tapi percaya apa nggak, walaupun waktunya sama tetapi perasaan kalo pulang tuh selalu "terasa" lebih cepat dibanding jalan berangkatnya. Mungkin efek karena udah pernah & gak perlu nyari jalannya lagi kali ya?

    BalasHapus
  2. ada tag buat blog ini... di sini ?? http://rumahreview.blogspot.com/2011/06/10-hal-mengenai-saya.html


    :))

    BalasHapus
  3. setuju ama mas gaphe..
    yaaahh...keduluan sama mas hudaaaa....aku juga nge tagkamu bud di sini

    http://bestaripoenya.blogspot.com/2011/06/ten-things-about-me.html

    kerjain ya tugasnya..hehhe

    BalasHapus
  4. Saya paling tidak suka melakukan perjalanan jauh...emang bikin lelah dan capek banget.
    Padahal kalau udah sampai tujuan sangat mengasikkan blm lagi waktu pulang terasa begitu cepat ketika pergi.

    BalasHapus
  5. @Gaphe & Ibu Dini:
    Iya lho, banyak yg bilang gitu kemaren.. Pas berangkat rasanya lamaaa banget, eh waktu pulang kok lebih cepet.. Tapi seru lah, hehe..

    BalasHapus
  6. @Huda & Rabest:
    Udah tak kerjain tuh, kirain aku menang undian apa gitu, hoho.. *ngarep
    Oiya Ms Huda, mau request lagu apa buat music rumah ku ini, hee..

    BalasHapus