Rabu, 15 Juni 2011

Menembus Kabut Mojosemi (Bagian 2)


“Bud, ayolah kita doa dulu supaya motormu kuat naik jalan kayak gitu,” usul Mami sambil tertawa-tawa dan menunjuk-nunjuk jalan miring jauh di sana.
Haha, aku malah ikut ketawa. Oke, kudaku kembali berada di urutan depan, tapi di tanjakan pertama yang merupakan bagian dari jalanan miring tadi, wush-wush-wush.., satu demi satu kembali menyalip..!! “Ayo Bud, semangat,” semua kembali mengepalkan tangannya seolah sebagai permintaan izin untuk menyalip. Lagi-lagi berada di urutan nomor tiga dari belakang. Naik, naik, dan naik. Lagi-lagi 20-30 km/jam. Lebih ekstrem daripada sebelum-sebelumnya.
Lepas Lawu Resort, lepas Cemoro Kandang. Akhirnya, kami berhenti lagi. Sekarang berhenti-nya agak lama karena di warung makan yang terletak persis di Gapura Cemoro Sewu. Kami memutuskan untuk makan siang dulu. Oiya, Cemoro Sewu itu sendiri merupakan bagian dari Pos Pendakian Gunung Lawu. Di papannya tertulis: 3265 DPL. Dinginnyaaa…, brrr… Puncak Mahameru saja tingginya 3676 meter dpl. Dalam pikiranku terlintas, “Berarti udara di Mahameru tidak jauh beda dengan ini..”
Masing-masing memesan menu. Ada beberapa orang yang mengkoordinir. Nasi soto, nasi rames, atau nasi goreng. Minumnya kebanyakan pesan teh hangat. Sambil menunggu pesanan datang, aku dan beberapa teman memutuskan untuk menunaikan shalat zhuhur di sebuah masjid yang tidak jauh dari situ. Subhanallah… Airnya lebih dingin daripada air kulkas! Kran air untuk berwudhu aku alirkan kecil saja, percik demi percik lalu membasahi sebagian anggota badanku. Brrrrr…
Setelah shalat, sambil menunggu pesanan lagi, aku dan beberapa teman mencoba melihat-lihat ke dalam Cemoro Sewu. Sesekali angin berhembus dingin, dingiiiiinn.. Dari sini, kulihat kabut semakin tebal nun jauh di sana. Semoga tidak turun hujan. Eh, ada yang buang angin alias kentut coba.. Dia kentutnya di belakang, tapi kenapa aromanya sampai juga ke yang di depan, haha.. Udara yang aneh! Cukuplah, tidak perlu dibahas lagi sifat manusiawi yang ini.
Kami kemudian makan. Sesudah itu, berfoto sebentar, ada juga sebagian yang bertanya ke penduduk sekitar. Aku menunggu mereka selesai dengan duduk di sebelah bunga mawar yang tumbuh di depan warung.
“Bud, bunganya boleh aku petik nggak?” tanya seorang teman perempuan.
“Boleh,” jawabku sekenanya, padahal mawar itu tumbuh di area terbuka yang bisa dilihat banyak orang. Ada empat cabang kumpulan bunga yang sedang merekah.
Eh, dia langsung memetik salah satu kumpulan bunga tadi.
“Lho, emang boleh dipetik ya?” tanya teman perempuan lainnya.
“Tadi kata Budi boleh…”
Nah, mulailah rame.. Kalimat “kata Budi boleh” mulai jadi bahan pembicaraan.. Mulai pada rebutan untuk ikut metik juga.. Wah gawat, kabur ah..
Setelah naik kembali ke Smash biru, aku lalu ngeles, “Kalau hanya satu kan tidak akan merusak keseimbangan ekosistem..” Halah-halah.., ini nih tingkah anak KPTH setelah tidak lagi beraktivitas di Lab. Kuljar, jadi tidak peka lagi dengan lingkungan, hohoho..
Kami melanjutkan perjalanan. Layar ponselku menunjukkan jam dua-an. Jalan relatif stabil. Sesekali menanjak, sesekali menurun. Selepas Cemoro Sewu itulah, kabut yang dari tadi kulihat mencapai puncak ketebalannya. Kabut mulai menghampiri kami, kabut itu menyambut kami. Seolah ingin mengucapkan salam, dia turun semakin lebat, lebat dan lebat.. Semua kuda memastikan lampu sudah menyala. Jarak pandang semakin berkurang. Kabut itu memberikan sensasi yang benar-benar dingin. Dinginnya melebihi AC. Di kanan-kiri jalan pegunungan tampak batu-batu besar yang seakan-akan mau runtuh. Ada papan peringatan bebatuan runtuh kok di pinggir jalan.
Kabutnya semakin keroyokan sekitar dua kilometer-an.. Tiba-tiba, badanku bergerak-gerak sendiri. Dimulai dari betis, paha, lalu ke pundak. Haduh, kenapa pula ini…
“Budi, kamu kedinginan ya?” tanya Mami.
“Iya kali nih..”
“Mau pakai jaketku nggak?”
“Ah, nggak usah, nggak papa kok..”
Sambil fokus ke jalan, aku menyugesti diri sendiri sambil menarik dan menghembuskan nafas. Tenang, ini hanya kabut, tarik nafas, hembuskan.. Tarik nafas, hembuskan.. Tapi badanku tetap saja menggigil. Bergerak-gerak sendiri. Aku sendiri tidak pernah ingin seperti ini, aku tidak mau menggigil. Tapi kok ya ini badan masih saja gerak-gerak, hmm..
Setelah kabut mulai menipis, tampaklah keindahan itu.
Subhanallaah.. Subhanallaah.. Subhanallaah..
Di balik dinginnya kabut Mojosemi, tersibaklah lukisan Tuhan itu. Jauh di sana, pemukiman penduduk yang terlihat dari balik gunung, seperti dipayungi awan. Bagus sekali. Ada lagi yang lainnya. Jauh di sana, tampak pesawahan (atau perkebunan) yang selang-seling ada rumah-rumah, juga sama seperti sedang dipayungi awan. Indah memesona, subhanallaah..
Ah, walaupun medannya sulit, penuh tanjakan dan hujan kabut, ternyata Mojosemi punya keindahan tersendiri. Setiap penyair pasti akan menggerakkan penanya untuk berpuisi. Setiap pelukis pasti akan menyapukan kuasnya untuk menggambar keindahan itu. Setiap fotografer pasti juga akan menyimpan pemandangan itu dalam kameranya. Sungguh indah, indah sekali.. Betapa pencipta semua itu memiliki kuasa yang agung. Allaahu akbar..
Sepuluh kilometer dari Cemoro Sewu, sampailah juga kami di Wana Wisata Mojosemi. Jalan masuknya penuh dengan bebatuan, menanjak lagi jalannya. Cewek-cewek disuruh turun, diminta jalan kaki saja sejauh 500 meter. Mendaki jalan menanjak yang penuh batu-batu. Cowok-cowoknya membawa kuda masing-masing. Ngek-ngek-ngeeekkk… Lagi-lagi seperti orang ngejan..
Sesampainya di atas, rupanya sedang ada pelatihan pramuka. Kulihat layar ponselku sudah hampir pukul tiga sore. Setelah rombongan cewek sampai dengan agak misah-misuh karena disuruh jalan (hihi..), kami segera melakukan olah TKP. Ada yang bertanya kepada pengelola tempat, ada yang melihat kondisi wana wisata, dan lain-lain.
Tempatnya sih bagus, tapi nggak ada warungnya. Nggak ada warung makannya. Pemukiman warga pun terletak sekitar 700 meter dari sini. Udara di sini tidak jauh berbeda dengan Wana Wisata Sekipan. Dinginnya sih sama, hanya kalau ke Sekipan tidak lewat hujan kabut seperti tadi. Sekipan pun relatif dekat dengan pemukiman warga. Airnya juga sama, sama-sama seperti air kulkas. Ketika duduk di ubin yang ada di salah satu bangunan gedung Mojosemi, malah serasa kayak duduk di atas balok es. Pantat sudah sakit, duduk di atas es pula, hmm..
Di salah satu spanduk yang ada di sana, kubaca kalimat itu: Kabupaten Magetan, Jawa Timur. Waw.., ternyata ini sudah masuk Jatim. Sudah bukan bagian dari Karanganyar lagi. Berarti kami semua berkendara Jogja-Jatim, hebat-hebat.. (norak deh lu, Bud!!). Setelah dirasa cukup, kami pun pulang. Tapi masih mau mampir ke dua tempat dulu. Kami melewati jalan yang sama. Kalau jalan yang tadi diteruskan, akhirnya nanti malah sampai Ngawi. Ngawi-Jogja sekitar empat jam.
“Kalau lewat tadi, berarti ntar ketemu kabut lagi ya, Mi.. Ntar badanku gerak-gerak sendiri lagi donk…” haha, kami tertawa. Kali ini, ceweknya tidak jalan lagi. Kami menuruni jalan bebatuan sambil boncengan dengan penuh kehati-hatian. Batu demi batu kami lewati sampai ke bawah, sampai ke jalan raya.
Setelah lengkap sampai di bawah semua, perjalanan dilanjutkan. Kini, tujuan kami adalah Lawu Resort yang terletak tidak jauh dari Cemoro Kandang. Kuda biru-ku alhamdulillah sehat-sehat saja. Walaupun tadi sempat berkali-kali seperti orang ngejan, sekarang sudah stabil. Nah, lagi-lagi hujan kabut. Dinginnya, masya Allah.. Badanku mulai gerak-gerak lagi. Lagi dan lagi. Tarik nafas, hembuskan.. Tarik nafas, hembuskan.. Sampai keindahan itu terlihat lagi. Kali ini, di salah satu bukit yang menjulang ke atas.
Bukit terasering. Area pesawahan yang disusun menyerupai tangga. Sambil sesekali anak mataku mengintip ke sela-sela jurang di kanan-kiri jalan. Pemandangan payung awan yang tadi. Sambil mengendalikan badan yang menggigil dan sembari fokus ke jalan raya, berkali-kali kuucapkan tasbih menyaksikan karya seni Tuhan itu. Aih.., kalau kamera ponsel-ku bagus, ingin rasanya berhenti sebentar. Tiga menit saja deh buat memotret semua itu. Sayangnya, kamera ponsel-ku tidak terlalu bagus. Jadinya, keindahan itu diabadikan dalam bentuk tulisan saja..
Wah.., ternyata kuda yang baru saja “dioperasi” karburatornya tadi masih belum fit benar. Dia masih tertinggal di belakang bersama sweeper. Sedangkan mereka lainnya sudah pada duluan bersama leader. Mereka menunggu di Cemoro Sewu. Setelah hujan kabut yang menyiksa, akhirnya disiram juga dengan sinar matahari sore di Cemoro Sewu, walaupun nggak panas-panas amat. Setelah kuda lengkap semua, perjalanan lanjut lagi.
Sekarang, mulai banyak turunannya. Jadi, urutan kuda-ku tidak di belakang lagi. Turun dan turun. Turun dan terus turun. Sebentar kemudian, kami berhenti lagi. Lho? Ooh.., ternyata ada satu kuda lagi yang memerlukan bantuan. Kaki belakangnya tidak bisa berhenti alias rem belakangnya blong! Bahaya kan.. Jadi dari tadi di jalan turunan, dia mengerem dengan rem depan saja.
Istirahatlah kami di klinik atau bengkel itu. Waktu itu jam empat sore. Beberapa dari kami mengisi waktu dengan menunaikan shalat ‘ashar di masjid terdekat situ. Kembali berwudhu dengan air kulkas. Pikirku, “Kok orang-orang di sini betah ya, hidup dengan air sedingin ini…” Dan temanku menjawab, “Kalau mereka ke Jogja, malah rasanya nanti air panas buat mereka.” Ah, ada-ada saja..
Seusai shalat, ketika kembali mengenakan sepatu, aku merasa pantatku sudah sampai level “dicambuk”. Sakit sekali.. Perasaan.., bermotor dari Sepanjang sampai Sumobito atau Surabaya-Jombang saja sudah sakit. Lha ini, Jogja-Tawangmangu PP! Biasanya yang satu setengah jam saja sudah sakit, lha ini enam jam-an.. Ampun dah.., benar-benar seperti barusan dicambuk! Gilee.., tapi pantatnya nggak lepas kok, masih nyantol kok, hehe..
Akhirnya, operasi rem belakang selesai. Kami kembali berkendara menempuh turunan demi turunan. Sampai di Lawu Resort. Di sana, sinar matahari sore benar-benar dominan. Udara terasa hangat, tidak terlalu dingin lagi. Di kanan-kiri, tampak pepohonan tinggi menjulang. Setelah urusan selesai, kami kembali lanjut. Terakhir ke tempat yang sudah tidak asing lagi: Sekipan. Ke Sekipan akhirnya kami datang lagi..
Jalannya berbatu, tapi tidak se-ekstrem di Mojosemi tadi. Dalam waktu singkat, kami sampai di Sekipan, di warung Pak Pono. Nah.., kalau di sini warungnya banyak. Sama-sama dingin, tapi warungnya lebih banyak. Begitu sampai, Pak Pono langsung menyambut kami.
“Ini nanti nginap?”
“Oh nggak, Pak, kita sebentar aja,” jawab salah satu dari kami.
Bla-bla-bla-bla…. Sekipan lebih ramai daripada Mojosemi. Mungkin salah satu faktornya karena lokasi Sekipan yang lebih mudah dijangkau dari Mojosemi. Tapi kalau ke Sekipan, tidak bisa lihat “payung awan” dan “bukit terasering”.. Tidak juga bisa merasakan “hujan kabut”.. Kabut bagaikan tirai, begitu tersibak tampaklah karya seni Tuhan yang memanjakan retina. Macam teater saja ya.. Setelah urusan selesai, kami sepakat untuk pulang. Sebelum pulang, sama seperti ketika berangkat dari Jogja, kami berdoa lebih dulu.
Namun siapa sangka, perjalanan pulang kembali ke Jogja akan lebih penuh hambatan daripada saat berangkat..
(bersambung)

6 komentar:

  1. bagus banget mas....
    ditunggu yang selanjutnya..
    salam hangat pertemanan dari anak remaja sunda..
    :D

    BalasHapus
  2. cuman baca ceritanya jadi ikut bisa ngerasain gimana suasananya. dinginnya, kabutnya, ramenya pas berantem boleh-nggak boleh metik,
    hahaha..
    saluut.

    mendaki gunung lawu?.. satu impian saya yang belom kesampaian.. faktor "U" siih...

    BalasHapus
  3. emang kamu nggak pake jaket ya?

    BalasHapus
  4. @Aab:
    Makasih, udah ada kok tuh bagian terakhirnya..
    Salam pertemanan juga..

    BalasHapus
  5. @Gaphe:
    Haha, makasih..
    Touring nya nggak dlm rangka mendaki Lawu kok, cuma lihat-lihat lokasi (survei) aja..

    Faktor U apa itu, usia atau uang, wkwk..

    BalasHapus
  6. @Rabest:
    Udah pake jaket kok, malah ditambah juga sama sarung tangan dan sepatu (pake kaos kaki juga lho).. Tas ransel ku juga udah kutaruh di depan badan, tapi masih aja brrrrr...

    Interested?? Hehe..

    BalasHapus