Sabtu, 18 Agustus 2012

Indikator “La’allakum Tattaquun”



يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ.
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183)

Idul Fitri kembali tiba, setelah sebulan lamanya umat muslim berpuasa (bagi yang berpuasa). Puasa adalah bagian dari Rukun Islam, tepatnya urutan yang ketiga. Tentunya, Allah Swt. memerintahkan umat muslim untuk berpuasa dengan tujuan yang bermanfaat bagi manusia itu sendiri. Sebagaimana firman-Nya pada ayat di atas, “la’allakum tattaquun”, yaitu agar manusia menjadi hamba-Nya yang bertakwa. Apa saja yang menjadi tolak ukur (indikator) dari takwa tersebut?
Let’s check them out below based on Ali bin Abi Thalib r.a.:

a)    Al-khaufu minal jaliil
Indikator pertama adalah semakin bertambah rasa takut kepada Allah Swt. Rasa takut ini penting karena ia mengendalikan gerak-gerik kehidupan manusia. Rasa takut berfungsi sebagai rem jika suatu ketika hidup manusia lepas kendali. Rasa takut ini meyakinkan manusia bahwa gerak-geriknya selalu diawasi, dipantau oleh Allah. Ketika manusia tidak mengindahkan “rem” tersebut, ia berhadapan dengan ancaman yang berujung pada neraka.
Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang sesudah shalat maghrib, kemudian memohon terhindar dari neraka Allah, membaca tujuh kali ‘allahumma ajjirni minan naar’, yang artinya ‘Ya Allah, aku berhindar dari neraka-Mu’, tujuh kali dan tidak berkata apa-apa, begitu malam harinya ia meninggal dunia, ia betul-betul diselamatkan Allah dari api neraka. Barangsiapa yang membacanya sesudah shalat shubuh, dan ia tidak menyela dengan perkataan-perkataan yang tidak berguna, tapi ia mohon kepada Allah, ‘allahmumma ajjirni minan naar’, sebanyak tujuh kali, kemudian pada siang harinya ia meninggal dunia, ia betul-betul diselamatkan Allah dari api neraka.”
Rasa takut kepada Allah perlu dibangun karena akan mengantar kebahagiaan manusia itu sendiri. Rasa takut ini ikut dibangun pada bulan Ramadhan. Manusia akan menghormati dan menghargai perintah Allah, sebagai sesuatu yang harus dikerjakan dalam hidup. Rasa takut ini akan mengantar manusia menuju surga, sebagaimana yang Allah tegaskan dalam Al-Qur’an:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى. فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
 Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya. Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Naazi’aat [79]: 40-41)

b)    Al-‘amalu bit tanziil
Indikator kedua adalah beramal/berbuat sesuai dengan ketentuan Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah Swt. Allah menerangkan dalam Al-Qur’an:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ...
(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…” (QS. Al-Baqarah [2]: 185)
Salah satu keistimewaan bulan Ramadhan adalah diturunkannya Al-Qur’an kepada Rasulullah Muhammad Saw. untuk jadi petunjuk bagi manusia. Manusia dalam hidupnya dihadapkan pada pilihan haq dan bathil. Kadang-kadang, sesuatu dikemas begitu rapi, indah, sehingga tidak terasa bahwa ia bathil. Sementara itu, kadang-kadang kebenaran dengan berbagai macam cara berusaha untuk ditutup-tutupi, sehingga sulit dibedakan mana yang haq dan mana yang bathil.
Selain sebagai petunjuk, Al-Qur’an juga sebagai pembeda. Segala sesuatu yang ditimbang dengan Al-Qur’an akan dapat terlihat mana yang haq dan mana yang bathil. Manusia yang membingkai hidupnya dengan Al-Qur’an dan menjadikan Al-Qur’an tersebut sebagai imamnya, maka Allah Swt. akan menyelamatkannya. Di bulan Ramadhan, manusia berinteraksi dengan Al-Qur’an, baik dengan membaca, men-tadabburi, men­-tilawah, maupun mengamalkannya. Interaksi yang dimaksud hendaknya memberi kesan keagamaan yang mendalam, bahwa kita tidak bisa berpisah dengan Al-Qur’an.

c)     Asy-syukru ‘ala ni’matillaah
Indikator ketiga adalah bersyukur atas tiap tetes nikmat yang diberikan Allah Swt. Bersyukur, dengan tidak mempersoalkan banyak sedikitnya nikmat itu, tapi menyadari dari relung hati terdalam, dari telaga nurani, bahwa betapa sayangnya Allah kepada kita. Orang-orang yang beriman lagi bertakwa senantiasa mengakui bahwa hidupnya tidak bisa terlaksana dengan baik, kecuali dengan lindungan nikmat Allah. Karena itulah, Allah menyatakan dalam Al-Qur’an:
... لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ.
… Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim [14]: 7)
Salah menempatakn nikmat justru bisa jadi malapetaka. Untuk itu, pandai-pandailah bersyukur karena akan memberi dampak positif bagi kehidupan manusia itu sendiri. Tidak ada ruginya sama sekali mensyukuri nikmat Allah Swt.

d)    Al-isti’daad liyaumir rahiil
Indikator berikutnya adalah selalu mempersiapkan diri untuk menyongsong hari akhirat, melalui kualitas sikap dan perilaku. Rasulullah Saw. menegaskan, “Orang yang cerdas, orang yang pintar, adalah orang yang sengaja mencari bekal untuk digunakan sesudah mati.” Nasib manusia di akhirat tergantung pada persiapan yang dilakukan di dunia. Perjalanan menuju Allah (akhirat) amat sangat panjang, dan panjangnya mengharuskan kita memiliki bekal yang cukup. Pepatah Arab mengatakan, “man ‘arafa bu’das safari ista’adda” yang artinya siapa yang mengetahui jauhnya perjalanan yang ia tuju, maka semestinya ia bersiap diri.
Dalam perjalanan tersebut, usahakan kita tidak kehabisan bekal. Bekal yang dimaksud antara lain untuk menghadap Allah, untuk masuk ke surga-Nya. Ada banyak pintu yang dapat digunakan untuk masuk ke surga, antara lain ada pintu shalat, pintu puasa, pintu zakat, dan lain sebagainya. Jika ada pepatah berkata “banyak jalan menuju Roma”, maka banyak pula jalan menuju surga. Dan tidak ada bekal yang terbaik untuk masuk ke salah satu pintu itu, kecuali takwa. Karena pada hari itu, kita tidak bisa mengandalkan orang lain, seperti gambaran dalam Al-Qur’an:
يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ أَخِيهِ. وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ. وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ. لِكُلِّ امْرِئٍ مِّنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ.
Pada hari ketika manusia lari dari saudaranya. Dari ibu dan bapaknya. Dari istri dan anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang cukup menyibukkannya.” (QS. ‘Abasa [80] 34-37)

Demikianlah sejumlah indikator yang menjadi ukuran takwa seorang hamba Allah. Mudah-mudahan ada manfaatnya. Taqabbalallaahu minna wa minkum, taqabbal yaa kariim, minal ‘aidin wal faizin… Mohon maaf lahir dan batin.


Disarikan dari ceramah tarawih
Oleh Drs. H. Iqbal Romzi
Kamis, 16 Agustus 2012 di Masjid Al-Aqabah I Pusri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar