يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ
كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ
تَتَّقُونَ.
“Hai orang-orang yang
beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang
sebelum kamu agar kamu bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 183)
Idul Fitri kembali tiba, setelah sebulan lamanya umat muslim
berpuasa (bagi yang berpuasa). Puasa adalah bagian dari Rukun Islam, tepatnya urutan
yang ketiga. Tentunya, Allah Swt. memerintahkan umat muslim untuk berpuasa dengan
tujuan yang bermanfaat bagi manusia itu sendiri. Sebagaimana firman-Nya pada
ayat di atas, “la’allakum tattaquun”, yaitu agar manusia menjadi hamba-Nya yang
bertakwa. Apa saja yang menjadi tolak ukur (indikator) dari takwa tersebut?
Let’s check them out
below based on Ali bin Abi Thalib r.a.:
a) Al-khaufu minal
jaliil
Indikator pertama adalah semakin bertambah rasa takut kepada
Allah Swt. Rasa takut ini penting karena ia mengendalikan gerak-gerik kehidupan
manusia. Rasa takut berfungsi sebagai rem jika suatu ketika hidup manusia lepas
kendali. Rasa takut ini meyakinkan manusia bahwa gerak-geriknya selalu diawasi,
dipantau oleh Allah. Ketika manusia tidak mengindahkan “rem” tersebut, ia berhadapan
dengan ancaman yang berujung pada neraka.
Rasulullah Saw. bersabda, “Barangsiapa yang sesudah shalat
maghrib, kemudian memohon terhindar dari neraka Allah, membaca tujuh kali ‘allahumma ajjirni minan naar’, yang
artinya ‘Ya Allah, aku berhindar dari neraka-Mu’, tujuh kali dan tidak berkata
apa-apa, begitu malam harinya ia meninggal dunia, ia betul-betul diselamatkan Allah
dari api neraka. Barangsiapa yang membacanya sesudah shalat shubuh, dan ia
tidak menyela dengan perkataan-perkataan yang tidak berguna, tapi ia mohon
kepada Allah, ‘allahmumma ajjirni minan
naar’, sebanyak tujuh kali, kemudian pada siang harinya ia meninggal dunia,
ia betul-betul diselamatkan Allah dari api neraka.”
Rasa takut kepada Allah perlu dibangun karena akan mengantar
kebahagiaan manusia itu sendiri. Rasa takut ini ikut dibangun pada bulan
Ramadhan. Manusia akan menghormati dan menghargai perintah Allah, sebagai
sesuatu yang harus dikerjakan dalam hidup. Rasa takut ini akan mengantar
manusia menuju surga, sebagaimana yang Allah tegaskan dalam Al-Qur’an:
وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ
وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى. فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
“Dan adapun orang-orang
yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa
nafsunya. Maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Naazi’aat
[79]: 40-41)
b) Al-‘amalu bit
tanziil
Indikator kedua adalah beramal/berbuat sesuai dengan ketentuan
Al-Qur’an yang diturunkan oleh Allah Swt. Allah menerangkan dalam Al-Qur’an:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِيَ أُنزِلَ
فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِّلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِّنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ...
“(Beberapa hari yang
ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan
(permulaan) Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan
mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)…” (QS.
Al-Baqarah [2]: 185)
Salah satu keistimewaan bulan Ramadhan adalah diturunkannya Al-Qur’an
kepada Rasulullah Muhammad Saw. untuk jadi petunjuk bagi manusia. Manusia dalam
hidupnya dihadapkan pada pilihan haq
dan bathil. Kadang-kadang, sesuatu
dikemas begitu rapi, indah, sehingga tidak terasa bahwa ia bathil. Sementara itu, kadang-kadang kebenaran dengan berbagai
macam cara berusaha untuk ditutup-tutupi, sehingga sulit dibedakan mana yang haq dan mana yang bathil.
Selain sebagai petunjuk, Al-Qur’an juga sebagai pembeda. Segala
sesuatu yang ditimbang dengan Al-Qur’an akan dapat terlihat mana yang haq dan mana yang bathil. Manusia yang membingkai hidupnya dengan Al-Qur’an dan
menjadikan Al-Qur’an tersebut sebagai imamnya, maka Allah Swt. akan
menyelamatkannya. Di bulan Ramadhan, manusia berinteraksi dengan Al-Qur’an,
baik dengan membaca, men-tadabburi,
men-tilawah, maupun mengamalkannya. Interaksi
yang dimaksud hendaknya memberi kesan keagamaan yang mendalam, bahwa kita tidak
bisa berpisah dengan Al-Qur’an.
c) Asy-syukru ‘ala
ni’matillaah
Indikator ketiga adalah bersyukur atas tiap tetes nikmat yang
diberikan Allah Swt. Bersyukur, dengan tidak mempersoalkan banyak sedikitnya
nikmat itu, tapi menyadari dari relung hati terdalam, dari telaga nurani, bahwa
betapa sayangnya Allah kepada kita. Orang-orang yang beriman lagi bertakwa senantiasa
mengakui bahwa hidupnya tidak bisa terlaksana dengan baik, kecuali dengan
lindungan nikmat Allah. Karena itulah, Allah menyatakan dalam Al-Qur’an:
... لَئِن شَكَرْتُمْ لأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن
كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ.
“… Sesungguhnya jika
kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu
mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS.
Ibrahim [14]: 7)
Salah menempatakn nikmat justru bisa jadi malapetaka. Untuk itu,
pandai-pandailah bersyukur karena akan memberi dampak positif bagi kehidupan
manusia itu sendiri. Tidak ada ruginya sama sekali mensyukuri nikmat Allah Swt.
d) Al-isti’daad
liyaumir rahiil
Indikator berikutnya adalah selalu mempersiapkan diri untuk
menyongsong hari akhirat, melalui kualitas sikap dan perilaku. Rasulullah Saw.
menegaskan, “Orang yang cerdas, orang yang pintar, adalah orang yang sengaja
mencari bekal untuk digunakan sesudah mati.” Nasib manusia di akhirat
tergantung pada persiapan yang dilakukan di dunia. Perjalanan menuju Allah
(akhirat) amat sangat panjang, dan panjangnya mengharuskan kita memiliki bekal
yang cukup. Pepatah Arab mengatakan, “man ‘arafa bu’das safari ista’adda” yang
artinya siapa yang mengetahui jauhnya perjalanan yang ia tuju, maka semestinya
ia bersiap diri.
Dalam perjalanan tersebut, usahakan kita tidak kehabisan
bekal. Bekal yang dimaksud antara lain untuk menghadap Allah, untuk masuk ke surga-Nya.
Ada banyak pintu yang dapat digunakan untuk masuk ke surga, antara lain ada
pintu shalat, pintu puasa, pintu zakat, dan lain sebagainya. Jika ada pepatah
berkata “banyak jalan menuju Roma”, maka banyak pula jalan menuju surga. Dan tidak
ada bekal yang terbaik untuk masuk ke salah satu pintu itu, kecuali takwa. Karena
pada hari itu, kita tidak bisa mengandalkan orang lain, seperti gambaran dalam
Al-Qur’an:
يَوْمَ يَفِرُّ الْمَرْءُ مِنْ
أَخِيهِ. وَأُمِّهِ وَأَبِيهِ. وَصَاحِبَتِهِ وَبَنِيهِ. لِكُلِّ امْرِئٍ
مِّنْهُمْ يَوْمَئِذٍ شَأْنٌ يُغْنِيهِ.
“Pada hari ketika
manusia lari dari saudaranya. Dari ibu dan bapaknya. Dari istri dan
anak-anaknya. Setiap orang dari mereka pada hari itu mempunyai urusan yang
cukup menyibukkannya.” (QS. ‘Abasa [80] 34-37)
Demikianlah sejumlah indikator yang menjadi ukuran takwa
seorang hamba Allah. Mudah-mudahan ada manfaatnya. Taqabbalallaahu minna wa minkum, taqabbal yaa kariim, minal ‘aidin wal
faizin… Mohon maaf lahir dan batin.
Disarikan
dari ceramah tarawih
Oleh
Drs. H. Iqbal Romzi
Kamis,
16 Agustus 2012 di Masjid Al-Aqabah I Pusri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar