Saya cukup teledor dengan tidak merekam ceramah semalam di
Masjid Al-Aqabah I PT. Pusri. Bahkan nama penceramahnya saja saya tidak ingat. Yang
saya sekilas tahu, beliau adalah perwakilan dari Majelis Pengajian Provinsi
Sumsel. Dan yang saya jadikan catatan, ceramahnya sebelas-dua belas dengan
ceramah Prof. Dr. Muhammad di Maskam UGM seminggu yang lalu. Sama-sama bagus!
Sama-sama “bergizi”.
______________________________________________________
Pada suatu shalat berjama’ah di masa kepemimpinan Rasulullah
Saw., ada bagian shaf terdepan yang
masih kosong. Sebagai imam shalat, Rasul pun meminta salah seorang sahabat
untuk mengisi shaf tersebut. Namun,
sahabat itu berkata bahwa shaf kosong
tadi adalah milik Sya’ban, yang tak lain adalah Abu Ubaidah bin Jarrah. Setiap kali
shalat berjama’ah, Sya’ban selalu berada di posisi shaf tersebut. Hari itu, Sya’ban tidak ke masjid karena sakit. Maka,
untuk mempersingkat waktu, Rasul pun meminta diisi dulu.
Selepas shalat, Rasul dan para sahabat pergi menjenguk Sya’ban
di rumahnya. Ketika mengucapkan salam, tidak ada jawaban dari dalam rumah. Satu
salam. Dua salam. Barulah pada salam ketiga, terdengar jawaban dari dalam
rumah. Suara parau seorang wanita yang tak lain adalah istri Sya’ban, istri Abu
Ubaidah bin Jarrah. Begitu pintu dibuka, tampak wajahnya seperti habis
menangis. Rasul pun mengutarakan maksud kedatangannya bersama rombongan. Istri Sya’ban
lalu membenarkan, “Benar suamiku sedang sakit, wahai Rasulullah, namun suamiku
baru saja meninggal dunia beberapa saat yang lalu.”
Inna lillaahi wa inna
ilaihi raaji’uun…
Setelah melihat jenazah Sya’ban dan mendo’akannya, Rasul
bertanya kepada istri Sya’ban, “Adakah pesan atau permintaan terakhir dari
suamimu?”
“Tidak ada, Yaa
Rasul. Hanya saja, suamiku mengucapkan kalimat yang tidak aku mengerti sesaat
sebelum maut menjemputnya,” jawab istri Sya’ban.
Wanita itu lalu bercerita bahwa sebelum menutup mata, Sya’ban
seakan-akan melihat sesuatu yang sangat indah. Matanya berbinar-binar, mukanya
berseri-seri senang, damai sekali, namun istrinya tidak tahu apa yang tengah dilihat
suaminya. Suaminya hanya berkata, “Cobalah lebih jauh lagi...” Setelah itu,
kejadian serupa terulang kembali. Hanya saja kali ini, kalimat yang diucapkannya
adalah, “Cobalah lebih bagus lagi...” Kejadian tersebut lagi-lagi terulang dan
pada kejadian ketiga itu, Sya’ban berujar, “Cobalah semuanya…” Setelah itu, Sya’ban
menutup mata untuk selamanya.
Rasulullah Saw. kemudian menjelaskan bahwa apa yang dilihat
oleh Sya’ban adalah pahala atas perbuatannya selama hidup di dunia. Selain
dikenal pemberani, Sya’ban atau Abu Ubaidah dikenal sebagai sosok dermawan yang
suka menolong. Rasul pun menjelaskan satu per satu makna kalimat yang diucapkan
Sya’ban.
…
“Cobalah lebih jauh lagi…”
Pada suatu ketika, Sya’ban bertemu dengan orang tua yang
berjalan tertatih-tatih di depannya. Ia lalu bertanya kepada orang tua itu. Ternyata,
orang tua itu kakinya sedang sakit. Biasanya, ia berjalan dengan menggunakan
tongkat, hanya saja saat itu ia lupa menaruh di mana tongkatnya. Karena tidak
ingin ketinggalan shalat berjama’ah di masjid, ia pun nekat berjalan tanpa
menggunakan tongkat, yang akhirnya harus tertatih-tatih. Karena tujuan Sya’ban
sama-sama ingin ke masjid, Sya’ban lantas membantu si orang tua berjalan dengan
menuntunnya pelan-pelan. Ketika itu, jarak mereka hanya tinggal beberapa ratus
meter saja dari masjid. Maka pada sakaratul
maut-nya, Sya’ban diperlihatkan pahala yang akan ia terima karena sudah
membantu si orangtua. Saking bahagianya mengetahui pahala tersebut, Sya’ban pun
berkata, “Cobalah (andaikan) lebih jauh lagi (jarak mereka berjalan)…”
“Ingin pahala seperti Sya’ban?” goda bapak penceramah, “berangkatkanlah
orang yang ingin umroh.”
…
“Cobalah lebih bagus
lagi…”
Pada suatu ketika, Sya’ban mengenakan pakaian yang sangat
bagus saat pergi ke masjid. Sesampainya di masjid, ada orang yang selalu
melihat pakaian yang dikenakan Sya’ban. Orang itu sepertinya terkesan dengan
betapa bagusnya pakaian Sya’ban. Karena begitu lamanya orang itu terus-menerus memerhatikan
Sya’ban tanpa henti, Sya’ban lalu menghampiri orang itu. Ia menawari apakah
orang itu ingin memiliki pakaian yang Sya’ban kenakan? Orang itu menjawab mau. “Jangan
khawatir,” kata Sya’ban, “aku masih memiliki pakaian yang hampir mirip dengan
ini, hanya saja sudah pernah kupakai beberapa kali.” Singkat cerita, orang itu
pun menerima pakaian bagus milik Sya’ban. Maka pada sakaratul mautnya, Sya’ban diperlihatkan pahala yang akan ia terima
karena sudah memberikan pakaian bagusnya itu. Saking bahagianya mengetahui
pahala tersebut, Sya’ban pun berujar, “Cobalah (andaikan) lebih bagus lagi (pakaiannya)…”
“Ingin pahala seperti Sya’ban?” goda bapak penceramah lagi, “kasihke lah pakaian ke panti asuhan.”
…
“Cobalah semuanya…”
Pada suatu ketika, Sya’ban baru pulang dari membeli makanan.
{kito misalke bae itu semangko} Saat itu
di depan rumahnya, ada peminta-minta yang kelaparan. Ia belum makan selama
beberapa hari. Karena kebetulan Sya’ban baru membeli makanan, dibaginyalah
separuh dari makanan itu dan diberikannya kepada si peminta-minta. {dibelahnyo semangko itu jadi duo, separuh
buat dio, separuh lagi buat wong itu} Si peminta-minta dengan senang hati
menerima pemberian Sya’ban tersebut. Maka pada sakaratul mautnya, Sya’ban diperlihatkan pahala yang akan ia terima
karena sudah memberikan separuh makanannya itu. Saking bahagianya mengetahui
pahala tersebut, Sya’ban pun berucap, “Cobalah (andaikan) semuanya (tidak
separuh)…”
“Ingin pahala seperti Sya’ban?” kembali goda bapak
penceramah, “gantungke lah semangko di
motor aku.” Hadirin pun tertawa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar