Sabtu, 11 Agustus 2012

“Ingin pahala seperti Sya’ban?”



Saya cukup teledor dengan tidak merekam ceramah semalam di Masjid Al-Aqabah I PT. Pusri. Bahkan nama penceramahnya saja saya tidak ingat. Yang saya sekilas tahu, beliau adalah perwakilan dari Majelis Pengajian Provinsi Sumsel. Dan yang saya jadikan catatan, ceramahnya sebelas-dua belas dengan ceramah Prof. Dr. Muhammad di Maskam UGM seminggu yang lalu. Sama-sama bagus! Sama-sama “bergizi”.
______________________________________________________
Pada suatu shalat berjama’ah di masa kepemimpinan Rasulullah Saw., ada bagian shaf terdepan yang masih kosong. Sebagai imam shalat, Rasul pun meminta salah seorang sahabat untuk mengisi shaf tersebut. Namun, sahabat itu berkata bahwa shaf kosong tadi adalah milik Sya’ban, yang tak lain adalah Abu Ubaidah bin Jarrah. Setiap kali shalat berjama’ah, Sya’ban selalu berada di posisi shaf tersebut. Hari itu, Sya’ban tidak ke masjid karena sakit. Maka, untuk mempersingkat waktu, Rasul pun meminta diisi dulu.
Selepas shalat, Rasul dan para sahabat pergi menjenguk Sya’ban di rumahnya. Ketika mengucapkan salam, tidak ada jawaban dari dalam rumah. Satu salam. Dua salam. Barulah pada salam ketiga, terdengar jawaban dari dalam rumah. Suara parau seorang wanita yang tak lain adalah istri Sya’ban, istri Abu Ubaidah bin Jarrah. Begitu pintu dibuka, tampak wajahnya seperti habis menangis. Rasul pun mengutarakan maksud kedatangannya bersama rombongan. Istri Sya’ban lalu membenarkan, “Benar suamiku sedang sakit, wahai Rasulullah, namun suamiku baru saja meninggal dunia beberapa saat yang lalu.”
Inna lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun…
Setelah melihat jenazah Sya’ban dan mendo’akannya, Rasul bertanya kepada istri Sya’ban, “Adakah pesan atau permintaan terakhir dari suamimu?”
“Tidak ada, Yaa Rasul. Hanya saja, suamiku mengucapkan kalimat yang tidak aku mengerti sesaat sebelum maut menjemputnya,” jawab istri Sya’ban.
Wanita itu lalu bercerita bahwa sebelum menutup mata, Sya’ban seakan-akan melihat sesuatu yang sangat indah. Matanya berbinar-binar, mukanya berseri-seri senang, damai sekali, namun istrinya tidak tahu apa yang tengah dilihat suaminya. Suaminya hanya berkata, “Cobalah lebih jauh lagi...” Setelah itu, kejadian serupa terulang kembali. Hanya saja kali ini, kalimat yang diucapkannya adalah, “Cobalah lebih bagus lagi...” Kejadian tersebut lagi-lagi terulang dan pada kejadian ketiga itu, Sya’ban berujar, “Cobalah semuanya…” Setelah itu, Sya’ban menutup mata untuk selamanya.
Rasulullah Saw. kemudian menjelaskan bahwa apa yang dilihat oleh Sya’ban adalah pahala atas perbuatannya selama hidup di dunia. Selain dikenal pemberani, Sya’ban atau Abu Ubaidah dikenal sebagai sosok dermawan yang suka menolong. Rasul pun menjelaskan satu per satu makna kalimat yang diucapkan Sya’ban.
“Cobalah lebih jauh lagi…”
Pada suatu ketika, Sya’ban bertemu dengan orang tua yang berjalan tertatih-tatih di depannya. Ia lalu bertanya kepada orang tua itu. Ternyata, orang tua itu kakinya sedang sakit. Biasanya, ia berjalan dengan menggunakan tongkat, hanya saja saat itu ia lupa menaruh di mana tongkatnya. Karena tidak ingin ketinggalan shalat berjama’ah di masjid, ia pun nekat berjalan tanpa menggunakan tongkat, yang akhirnya harus tertatih-tatih. Karena tujuan Sya’ban sama-sama ingin ke masjid, Sya’ban lantas membantu si orang tua berjalan dengan menuntunnya pelan-pelan. Ketika itu, jarak mereka hanya tinggal beberapa ratus meter saja dari masjid. Maka pada sakaratul maut-nya, Sya’ban diperlihatkan pahala yang akan ia terima karena sudah membantu si orangtua. Saking bahagianya mengetahui pahala tersebut, Sya’ban pun berkata, “Cobalah (andaikan) lebih jauh lagi (jarak mereka berjalan)…”
“Ingin pahala seperti Sya’ban?” goda bapak penceramah, “berangkatkanlah orang yang ingin umroh.”
“Cobalah lebih bagus lagi…”
Pada suatu ketika, Sya’ban mengenakan pakaian yang sangat bagus saat pergi ke masjid. Sesampainya di masjid, ada orang yang selalu melihat pakaian yang dikenakan Sya’ban. Orang itu sepertinya terkesan dengan betapa bagusnya pakaian Sya’ban. Karena begitu lamanya orang itu terus-menerus memerhatikan Sya’ban tanpa henti, Sya’ban lalu menghampiri orang itu. Ia menawari apakah orang itu ingin memiliki pakaian yang Sya’ban kenakan? Orang itu menjawab mau. “Jangan khawatir,” kata Sya’ban, “aku masih memiliki pakaian yang hampir mirip dengan ini, hanya saja sudah pernah kupakai beberapa kali.” Singkat cerita, orang itu pun menerima pakaian bagus milik Sya’ban. Maka pada sakaratul mautnya, Sya’ban diperlihatkan pahala yang akan ia terima karena sudah memberikan pakaian bagusnya itu. Saking bahagianya mengetahui pahala tersebut, Sya’ban pun berujar, “Cobalah (andaikan) lebih bagus lagi (pakaiannya)…”
“Ingin pahala seperti Sya’ban?” goda bapak penceramah lagi, “kasihke lah pakaian ke panti asuhan.”
“Cobalah semuanya…”
Pada suatu ketika, Sya’ban baru pulang dari membeli makanan. {kito misalke bae itu semangko} Saat itu di depan rumahnya, ada peminta-minta yang kelaparan. Ia belum makan selama beberapa hari. Karena kebetulan Sya’ban baru membeli makanan, dibaginyalah separuh dari makanan itu dan diberikannya kepada si peminta-minta. {dibelahnyo semangko itu jadi duo, separuh buat dio, separuh lagi buat wong itu} Si peminta-minta dengan senang hati menerima pemberian Sya’ban tersebut. Maka pada sakaratul mautnya, Sya’ban diperlihatkan pahala yang akan ia terima karena sudah memberikan separuh makanannya itu. Saking bahagianya mengetahui pahala tersebut, Sya’ban pun berucap, “Cobalah (andaikan) semuanya (tidak separuh)…”
“Ingin pahala seperti Sya’ban?” kembali goda bapak penceramah, “gantungke lah semangko di motor aku.” Hadirin pun tertawa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar